Kolom Pembaca

Menatap Masa Depan Pancasila Di Usianya Yang Ke 75

Dari awal berdirinya negara Indonesia (1945) seluruh komponen suku dan bangsa yang ada, dari sabang samapi maraoke telah sepakat untuk menjadikan pancasila sebagai asas dan juga dasar penyelenggaraan negara Indonesia. Pilihan terhadap Pancasila juga diselaraskan dengan asas penyelenggaraan seluruh organisasi-organisasi kemasyarakatan dan juga partai politik yang ada di negara kita hingga saat ini.

Negara Indonesia adalah negara kepulauan dengan berbagai keragaman yang dimilikinya. Oleh karena itu Indonesia membutuhkan dasar negara yang dapat mengikat dan mempersatukan bangsa Indonesia. Indonesia membutuhkan perekat  bangsa agar bangsa Indonesia tidak bercerai berai. Akhirnya para pendiri bangsa melalui sidang BPUPKI menyusun dan merumuskan sebuah dasar pemikiran atas berdirinya Indonesia yaitu pancasila. (Suryana Dkk, 2018: 19)

Sederhananya pancasila merupakan asas tunggal yang sampai saat ini masih kita amini bersama sebagai dasar negara kita. Pancasila bukan hanya sekedar susunan narasi dan diksi atau konsep tekstual yang sekedar hanya untuk dihafal, tetapi pancasila juga berfungsi sebagai seperangkat pandangan hidup kebangsaan atau yang akrab disebut way of life. Dan kita yakin bahwa pancasila akan menjadi kompas sebagai penunjuk arah untuk menjalankan Indonesia menuju muara cita-citanya; keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, keamanan, ketertiban, kebudayaan dan lain sebagainya.

Pemilihan pancasila sebagi dasar dan asas penyelenggaraan negara yang kita namai Indonesia bukanlah secara kebetulan. Jika ditelisik kebelakang sejarah perumusan pancasila, maka kita akan menemukan nama-nama aktor penting yang merumuskannya antara lain, Mr M Yamin, Ir Soekarno dan Mr Soepomo. Ketiga nama tersebut merupakan Founding Father yang memiliki segudang kekayaan pengalaman dan kedisiplinan ilmu pengetahuan yang menggunung. Dengan segudang ilmu dan pengalaman yang menggunung itu, maka lahirlah pancasila sebagai landasan negara yang begitu mengkristal, sehingga sangat relevan untuk menghantarakan Indoenesia berlabuh menjadi sebuah bangsa yang besar.

Segudang pengalaman yang dikoherensikan dengan kekayaan kedisiplinan pengetahuan yang dimiliki founding father dan para tokoh yang ada kala itu telah berhasil membidani lahirnya nilai-nilai pancasila melalui proses penggalian yang syarat akan makna serta diiringi dengan penghayatan yang kamil (sempurna) dalam setiap tempo-temponya. Nilai-nilai pancasila tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan secara formal oleh para pendiri negara untuk dijadikan sebagai dasar filsafat negara Indonesia (Kalean, 2013:5)

Berangkat dari situ maka kehadiran pancasila dapat diselaraskan kepada konteks keIndonesia-an. Dan tidak mengherankan kalau kehadiran pancasila benar-benar mempunyai ruh kekuatan yang tidak kalah dengan zaman dan tidak lekang dengan hantaman dan cobaan yang datang silih berganti. Baik dari internal maupun eksternal, baik yang bertahan lama ataupun yang hanya mampir sementara.

Dan hal itu benar-benar terbukti sampai saat ini, 74 tahun sudah Indonesai merdeka dan selama itu pula Pancasila tetap menjadi kompas setia menunjukkan rute dan arah perjalanan negara kita. Menjalankan Indonesia dengan kurun waktu yang tidak sedikit, telah membuktikan bahwa pancasila benar-benar mempunyai ruh yang cukup “sakti” menghadapi segala tantangan dan ancaman yang begitu kompleks dan berpariasi.

Tepatnya pada 1 Juni 2020 yang lalu usia pancasila telah bertengger di angka 75 tahun, segala hiruk pikuk dan dinamika sudah dilalui dan eksistensinya masih terjaga dengan baik. Namun eksistensi bukanlah sebuah dimensi penilaian bahwa internalisasi dan realisasi nilai-nilai pancasila sudah mengakar dengan kokoh di negeri ini. Karena ketika melihat dinamika di tanah air saat ini, seakan pancasila hanya tinggal sebagai slogan dan jargon. Pengamalan terhadap pancasila seakan tergerus dan mulai pudar, akibatnya seonggok masalah kebangsaan mulai menggunung.

Hal itu bisa dilihat dari fotret permasalahan yang ada mulai dari sendi ideologi, politik, sosial, dan budaya. Dalam bidang idologi Indonesia diancam dengan gerakan dan faham yang bertentangan dengan pancasila. Di bidang politik dihantui pula oleh prilaku arogansi, skandal korupsi, nepotisme, dan ketidak jujuran sehingga label politik di tanah air tidak lagi sesuci dari hakikat filosofis khasanah politik pada idealnya.

Tatanan sosial juga mulai ditumbuhi oleh embrio-embrio penyakit sosial. Dampaknya nilai-nilai persatuan dan kesatuan mulai memudar, peristiwa pembunuhan kerap menjadi pemberitaan utama di media online dan media cetak, belum lagi perampokan dan pemerkosaan sering tampil di layar kaca. Dan sifat apatis “elu-elu gue-gue” mulai tumbuh secara perlahan. Ini merupakan bagian kecil fotret permasalahan dan dinamika yang terjadi di tanah air saat ini.

Apakah begini cara menginternalisasikan dan mengamalkan nilai-nilai pancasila? Tentu tidak, karena perilaku tersebut selain terkesan bodoh juga terlihat norak dan tidak mengerti dengan esensi pancasila yang sebenarnya. Karena pada hakikatnya orang yang paham dengan pancasila adalah orang yang telah mampu menginternalisasikan substansi yang terkandung di dalam butir-butir dan nilai-nilai pancasila tersebut.

Orang yang paham dengan pancasila akan memperlihatkan perbuatan dan perkataan yang religius selaras dengan sila yang pertama. Ia akan sanggup memanusiakan manusia dan menghargai hak-hak orang lain, menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan serta merepresentasikan dirinya sebagai orang yang mempesona dengan keindahan adabnya yang mulia, hali tu senada pula dengan sila yang kedua.

Selanjutnya ia akan merawat persatuan dan kesatuan seperti yang disebutkan di dalam sila ketiga. Ucapannya tidak mempropokasi, kebijakannya tidak memicu keretakan persatuan dan orientasinya tetap menguatkan persatuan demi terwujudnya harapan dan cita-cita kemerdekaan. Memimpin Negara dengan hikmat dan bijaksana, melestarikan musyawarat dan mengedepankan mufakat. Serta berlaku adil terhadap seluruh rakyat, tanpa memilah satu suku atau golongan dan memilih untuk menganak emaskan satu daerah dan menganak tirikan daerah yang lain. Hal itu sangat sejalan dengan sila ke empat dan ke lima yang termaktub di dalam pancasila yang kita miliki.

Melihat begitu pentingnya pengaruh pancasil terhadap sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka pancasila tidak bisa dianggap sederhana, sosialisasi nilai-nilai pancasila dan termasuk empat pilar kebangsaan harus di jalankan dengan gencar dan di tularkan keseluruh plosok. Karena ini merupakan modal utama untuk menghidupkan keharmonisan bernegara dan sebagai penguat simpul-simpul persatuan dan kesatuan bangsa.

Dan para petinggi penyelenggara negara juga dituntut untuk memahami keempat pilar tersebut hingga keakar-akarnya. Sehingga dalam setiap ucapannya tidak menjadi kontropersi dan kontradisi dari apa yang di inginkan oleh masyarakat. Pemilihan dan pengambilan kebijakannya tidak bertentangan dengan sila-sila yang ada di dalam pancasila. Dan kepemimpinannya akan benar-benar berkualitas serta mengedepankan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penulis:

(Irwansyah, S.IP)
Pegiat Literasi

Tags
Show More
Kepriwebsite

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close