Opini

Peningkatan Partisipasi Pemilih Pada Pemilu Menjadi Tanggung Jawab Bersama

Penyelenggara Pemilihan Umum pada Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Terkait hal ini, Prof. Jimly Asshiddiqie memberikan komentar dalam bukunya bahwa “komisi dimaksud hanya dirumuskan dengan huruf kecil yaitu, ‘suatu komisi pemilihan umum’, pasal ini tidak menentukan secara ekplisit apa nama komisi itu, sehingga terserah kepada DPR bersama Pemerintah untuk menentukannya dalam Undang-undang. Misalnya, Undang-undang dapat saja memberi nama kepada komisi ini dengan nama ‘Komisi Pemilihan Nasional’, ‘Komisi Pemilihan Pusat’, ‘Komisi Pemilihan Daerah Provinsi’ dan sebagainya”. Perwujudan dari Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 tersebut ternyata diaplikasikan didalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dan lembaga penyelenggara pemilu tersebut ditetapkan dengan sebutan Komisi Pemilihan Umum, sebagai lembaga negara yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri (independen). Namun di sisi lain, ternyata di dalam Undang-undang tersebut, bahwa penyelenggara pemilu tidak hanya Komisi Pemilihan Umum tetapi Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang juga merupakan penyelenggara pemilu yang berdiri sendiri dan merupakan satu kesatuan.

Secara awam, dalam melihat tinggi atau rendahnya tingkat partisipasi pemilih pada setiap pemilihan umum, selalu mata kita akan tertuju kepada sejauh mana kinerja lembaga yang disebut dengan Komisi Pemilihan Umum. Padahal tinggi atau rendahnya partisipasi pemilih pada setiap pemilihan umum tidak semata-mata mesti dan harus dibebankan kepada Komisi Pemilihan Umum. Ukuran terhadap capaian agar banyaknya masyarakat berpartisipasi pada setiap pemilihan umum mesti menjadi tugas, tanggung jawab serta kewajiban kita bersama, baik oleh peserta pemilu itu sendiri seperti partai politik, calon anggota legislatif, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dan lainnya. Juga pada pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah, terkhusus untuk pemerintah daerah juga memiliki kewajiban dan tanggung jawab secara moral menjalankan amanat konstitusi dalam mendukung penyelenggaraan pemilu di daerahnya masing-masing terutama demi peningkatan partisipasi pemilih. Contoh sederhananya, kepala daerah dapat menginstruksikan kepada misalnya kepala dinas pendidikan agar dapat membantu untuk melakukan sosialisasi kepada siswa SMA sebagai pemilih pemula untuk tidak Golput. Kemudian pada dinas perdagangan, agar dinas tersebut membantu melakukan sosialisasi anti Golput kepada pedagang, juga dapat pula pada Badan Kesbangpol untuk melakukan sosialisasi kepada berbagai Ormas, Organisasi Kepemudaan, Organisasi Paguyuban dan lainnya untuk tidak Golput pada saat pelaksaaan pemungutan suara pada pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan anggota legislatif.

Pada dasarnya, tujuan penyelenggaraan pemilu menurut Prof. Jimly Asshiddiqie terbagi menjadi 4 (empat), yaitu : 1) untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai; 2) untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan; 3) untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan 4) untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.

Berkaitan dengan pelaksanaan prinsip hak-hak asasi warga negara dalam hal hak politik untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum sudah dijamin di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM pasal 23 ayat (1) yaitu : “setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik” dan kemudian pada pasal 43 ayat (1) yaitu : “setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Hak politik warga negara yang mencakup hak untuk memilih dan dipilih sebenarnya sudah dinyatakan secara tersirat di dalam UUD 1945, yang mana jaminan hak pilih secara tersirat dapat ditemukan di dalam UUD 1945 pada pasal 27 ayat (1) dan (2); pasal 28; pasal 28D ayat (3); dan pasal 28E ayat (3), sementara untuk hak memilih secara tersirat dapat ditemukan di dalam pasal 1 ayat (2); pasal 2 ayat (1); pasal 6A ayat (1); pasal 19 ayat (1); dan pasal 22C ayat (1).

Dengan adanya jaminan akan hak memilih maupun hak dipilih di dalam setiap pemilihan umum, namun masih saja ditemukan rendahnya tingkat partisipasi pemilih di berbagai daerah sebagai contoh pada pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah maupun pada pemilihan anggota legislatif tinggat daerah. Rendahnya partisipasi pemilih sehingga munculnya yang dikenal dengan sebutan golongan putih atau “golput” tentunya memiliki berbagai macam sebab.

Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan golput atas empat golongan. Pertama, golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah. Kedua, golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu). Ketiga, golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Keempat, golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain (dalam Hery M.N. Fathah).

Jika kita melihat pada pemilihan umum di Provinsi Kepulauan Riau terkhusus pada daerah Kota Tanjungpinang, baik pada pemilihan kepala daerah (pilkada) Kota Tanjungpinang maupun pemilihan anggota DPRD Kota Tanjungpinang (pileg) telah mengalami proses peningkatan di setiap periode pemilihan. Tingkat partisipasi Pilkada Kota Tanjungpinang tahun 2007 : daftar pemilih sebanyak 124.075, pengguna hak suara sebanyak 67.159 (54.13 %) dan yang tidak menggunakan hak suara sebanyak 56.916 (45.87 %) lalu tingkat partisipasi Pilkada Kota Tanjungpinang tahun 2012  : daftar pemilih sebanyak 153.481, pengguna hak suara sebanyak 87.290 (56.87 %) dan yang tidak menggunakan hak suara sebanyak 66.191 (43.13 %). Artinya persentase partisipasi Pilkada Kota Tanjungpinang pada tahun 2007 sejumlah 54.13 % mengalami peningkatan pada Pilkada Kota Tanjungpinang pada tahun 2012 sejumlah 56.87 %.

Kemudian tingkat partisipasi Pileg Kota Tanjungpinang tahun 2009 : daftar pemilih sebanyak 133.465, pengguna hak suara sebanyak 81.316 (60,93 %) dan yang tidak menggunakan hak suara sebanyak 52.149 (39,07 %) lalu tingkat partisipasi Pileg Kota Tanjungpinang tahun 2014 : daftar pemilih sebanyak 150.315, pengguna hak suara sebanyak 102.026 (67.87 %) dan yang tidak menggunakan hak suara sebanyak 48.289 (32,13 %). Dengan ini, persentase partisipasi Pileg Kota Tanjungpinang tahun 2009 sejumlah 60,93 % mengalami peningkatan pada Pileg Kota Tanjungpinang tahun 2014 sejumlah 67.87 %.

Melihat program prioritas nasional pembentukan Rumah Pintar Pemilu yang dicanangkan oleh KPU RI pada tahun 2017 ini kepada seluruh KPU di daerah baik tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota merupakan perwujudan konsistensi KPU sebagai penyelenggara pemilu untuk melakukan pendidikan pemilih kepada masyarakat secara luas. Pembentukan Rumah Pintar Pemilu ini dibentuk pada 15 (lima belas) KPU Provinsi/KIP Aceh dan 273 (dua ratus tujuh puluh tiga) KPU/KIP Kabupaten/Kota dengan total keseluruhan pembentukan Rumah Pintar Pemilu adalah sebanyak 288 (dua ratus delapan puluh delapan) se-Indonesia. Dan untuk KPU wilayah Provinsi Kepulauan Riau hanya dibentuk 5 (lima) Rumah Pintar Pemilu yaitu pada KPU Provinsi Kepulauan Riau, KPU Kota Tanjungpinang, KPU Kota Batam, KPU Kabupaten Bintan dan KPU Kabupaten Daik Lingga.

Dengan dibentuknya Rumah Pintar Pemilu di 5 (lima) KPU di wilayah Provinsi Kepulauan Riau, tentunya besar harapan kita agar masyarakat semakin cerdas dalam berdemokrasi sehingga partispasi pemilih pada setiap pemilu mengalami peningkatan, terkhusus di Kota Tanjungpinang, yang mana KPU Kota Tanjungpinang merupakan satu-satunya lembaga penyelenggara pemilu di Provinsi Kepulauan Riau yang akan melaksanakan Pilkada serentak gelombang ketiga pada Juni 2018.

Maka dengan ini, untuk mengantisipasi rendahnya partisipasi pemilih atau solusi mengatasi golput : 1) Selain peningkatan kinerja KPU daerah sebagai penyelenggara pemilu beserta Bawaslu/Panwaslu, pemerintah daerah dapat membantu dalam hal melakukan sosialisasi atau memfasilitasi pelaksanaan sosialiasi setiap pelaksanaan pemilihan umum kepada masyarakat; 2) Seluruh elemen masyarakat agar memiliki kepedulian dalam konteks berpartisipasi pada setiap pesta demokrasi; dan 3) Berkaitan dengan aturan pada konstitusi tentang hak asasi memilih, agar ditambah pengaturan terkait dengan kewajiban asasi memilih dalam setiap pemilihan umum, sebagaimana diterapkan di beberapa negara dan bahkan disertai dengan sanksi.

 

Oleh :

William Hendri, SH.,MH. (Ketua PW Gerakan Alam Pikir Indonesia – Kota Tanjungpinang)

Tags
Show More
Kepriwebsite

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close