Kolom Pembaca

Pakan Ekonomis: Bisakah Bersaing?

Saat ini, semangat untuk melakukan produksi pakan ikan/udang ekonomis, baik di Indonesia maupun di tingkat global, utamanya untuk meningkatkan efisiensi dan profitabilitas produksi, sangat tinggi. Semangat ini terlihat dari peningkatan jumlah riset yang cukup signifikan untuk mendukung optimalisasi produksi perikanan budidaya (baca: akuakultur) di bidang pakan, sebagai komponen produksi paling tinggi, dalam dua dekade terakhir yang fokus kepada: upaya pengurangan level penggunaan tepung ikan, sebagai komponen protein paling mahal, hingga kepada pencarian bahan-bahan alternatif yang dapat mendukung daya cerna, nutrisi spesifik, laju pertumbuhan dan kesehatan ikan. Beberapa protein alternatif, utamanya protein nabati seperti: tepung kedelai, tepung jagung dan by-product jagung seperti regular dan high protein Regular Distillers Dried Grains with Solubles (RDDGs) tepung gandum, dedak padi dan banyak lainnya sudah mulai banyak digunakan sebagai bahan subtitusi tepung ikan. Namun, permasalahan mulai terlihat pada laju pertumbuhan dan status kesehatan ikan ketika level penggunaan protein nabati untuk mensubtitusi tepung ikan/hewan semakin ditingkatkan, utamanya karna densitas energi pakan, terkait dengan level karbohidrat yang sangat tinggi, isu polisakarida non pati (non-starch polysaccarides atau NSP), keberadaan faktor anti-nutrisi, palatability dan profil asam amino yang tidak dapat memenuhi kebutuhan spesifik ikan yang dibudidayakan.

Untuk melihat dampak dari pengurangan level tepung ikan dalam pakan dan disubtitusi dengan protein nabati, dibawah ini disajikan data laju pertumbuhan ikan pompano Trachinotus carolinus dengan level tepung ikan yang dikurangi dari 12 % hingga 0 % dan disubtitusi oleh protein kedelai. Berdasarkan data yang disajikan di Gambar 1. terlihat bahwa laju pertumbuhan ikan pompano mengalami penurunan ketika level tepung ikan juga diturunkan secara parsial dan secara keseluruhan dalam formulasi pakan. Dari hasil publikasi yang penulis lakukan untuk percobaan yang sama, kondisi histomorfologi saluran pencernaan ikan juga mengalami perubahan ketika protein nabati dalam pakan ditingkatkan. Hal ini utamanya karna “kerja” saluran pencernaan menjadi sedikit lebih berat ketika mencerna protein dengan keberadaan faktor anti-nutrisi yang cukup tinggi dalam pakan. Solusi yang dapat dilakukan adalah dengan mencampur bahan baku pakan dengan suplemen yang tepat dan dengan jumlah yang sesuai untuk memenuhi kualifikasi daya cerna, profil asam amino, pemanfaatan nutrisi dan attractability untuk pakan yang berbasiskan protein nabati ini. Beberapa diantaranya adalah dengan menggunakan asam amino yang ketersediannya terbatas (first/second limiting amino acids) dalam pakan hingga kepada penggunaan protein hydrolysates atau bahan lain yang memiliki daya attractability cukup tinggi sebagai suplemen pakan.

 

Tabel 1. Formulasi pakan dengan pengurangan level tepung ikan yang disubtitusi dengan protein kedelai.

Ingredients (g kg-1, as is)Jenis pakan
12% FM6% FM3% FM0% FM
Tepung ikan120.060.030.00.0
Tepung kedelai466.0466.0466.0466.0
Tepung kedelai enzim28.989.8120.1150.5
Konsentrat protein jagung80.080.080.080.0
Minyak Ikan50.254.757.059.3
Corn Starch36.023.817.311.3
Whole wheat180.0180.0180.0180.0
Mineral premix2.52.52.52.5
Vitamin premix5.05.05.05.0
Choline chloride52.02.02.02.0
Stay C 35%81.01.01.01.0
CaP-dibasic518.024.027.530.5
Lecithin5.05.05.05.0
Proximate analyses (g kg-1, as is)    
Phosphorus11.010.810.810.9
Crude Protein417.2418.8431.6425.0
Moisture75.977.860.763.9
Crude Fat96.380.887.387.4
Crude Fiber28.228.229.731.8
Ash71.867.367.065.0

Gambar 1. Grafik pertumbuhan ikan pompano (gram) dengan jumlah tepung ikan yang berbeda

Protein dan asam amino

Dalam pakan, keberadaan protein dan asam amino sangat penting karna perannya cukup vital dalam pembentukan struktur dan metabolisme seluruh makhluk hidup. Khusus ikan dan udang, dikarenakan ketidak-mampuan organisme ini untuk mensintesa asam amino, maka kebutuhan asam amino hanya didapat dari asupan pakan. Untuk pakan dengan protein utama berasal dari nabati, keseimbangan nutrisi asam amino menjadi sangat penting karna beberapa asam amino esensial seperti Lysine, Methionine dan Phenylalanine berada dalam jumlah yang terbatas.

Tabel 2. Perbandingan profil asam amino pada tepung ikan dan bungkil kedelai komersial (Auburn University, 2016)

Asam amino (%)Tepung ikanTepung bungkil kedelai
Taurine0,710,11
Hydroxyproline1,120,01
Aspartic Acid5,135,33
Threonine2,361,79
Serine2,20  2,00
Glutamic Acid7,588,53
Proline2,742,40
Glycine4,991,98
Alanine3,92,03
Cysteine0,460,63
Valine2,812,39
Methionine1,570,68
Isoleucine2,472,19
Leucine4,173,60
Tyrosine1,771,59
Phenylalanine2,332,37
Hydroxylysine0,240,03
Ornithine0,060,03
Lysine4,62,94
Histidine1,611,23
Arginine3,573,39
Tryptophan0,650,69

Tabel 3. Rekomendasi jumlah minimum asam amino pada pakan untuk ikan nila, mas dan Channel catfish (Sumber Allen Davis, 2020)

Asam amino (%)Ikan NilaIkan MasChannel catfish
Arginin 4.2 4.3 4.3
Histidin1.7 2.1 1.5
Isoleucine3.12.5 3.1
Leucine3.43.33.4
Lysine5.15.7 5.1
Methionine dan cystin3.03.12.3
Phenylalanine dan tyrosine5.7 6.5 5.0
Threonine3.7 3.9 2.0
Tryptophan1.0 0.8 0.5
Valine 2.83.6 3.0

Untuk melihat efektivitas pakan dengan protein nabati sebagai sumber protein utama terhadap laju pertumbuhan ikan, Salze et al. (2017) melakukan pengamatan terhadap laju pertumbuhan benih ikan White seabass, Atractoscion nobilis yang diberi pakan dengan penambahan methionine dengan jumlah berada pada kisaran 0,72 – 0,98% pada percobaan 1, dan dikisaran 0,64 hingga 1,28% pada percobaan kedua. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa benih ikan White seabass, Atractoscion nobilis membutuhkan methionine untuk mendukung laju pertumbuhan optimal di level 0,88% [0.80-1.08%, 95% CI]. Bila merujuk pada Tabel 2, keberadaan methionine pada protein kedelai hanya berada di kisaran 0,60 – 0,68. Hal ini tentu tentu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan spesifik ikan White seabass. Identifikasi jenis asam amino yang tepat dapat membantu mengoptimalkan laju pertumbuhan ikan dimaksud. Namun, walaupun begitu, penggunaan asam amino tertentu harus selalu berdasarkan kepada hasil riset dan bukan estimasi. Penggunaan methionine melebih batas optimum justru dapat menyebabkan efek toksik tersendiri terhadap laju pertumbuhan ikan. Bila kita perhatikan grafik yang disajikan pada Gambar 2, terlihat bahwa penambahan methionine melebihi batas optimum justru memberikan efek negative terhadap laju pertumbuhan ikan

Gambar 2. Grafik deposisi protein pada benih ikan White seabass, Atractoscion nobilis dengan penambahan level methionine yang berbeda.

Untuk produksi pakan ikan ekonomis, hasil ini tentu menjadi peluang tersendiri dengan melakukan produksi pakan yang fokus kepada kebutuhan nutrisi spesifik dan tidak lagi berpatokan pada level protein. Kelebihan protein dalam pakan hanya akan menjadi limbah organic dalam sistem produksi.

Penggunaan attraktan

Palatability pakan menjadi isu yang cukup penting ketika  formulasi pakan disusun oleh protein nabati sebagai sumber protein utama, utamanya berkaitan dengan sensor penciuman pakan. Penambahan atraktan baik yang berupa internal coating maupun external coating dalam sistem produksi pakan dapat menjadi solusi. Hasil penelitian yang penulis lakukan dengan menggunakan Squid hydrolysates yang diperoleh melalui proses pasteurisasi dengan menggunakan bahan baku cumi yang tidak termanfaatkan dengan level 4% mampu meningkatkan daya tarik pakan dan memiliki laju pertumbuhan yang tidak jauh berbeda dengan ikan yang diberi pakan dengan komposisi tepung ikan 15-20%. Bila dilihat dari status morfologi saluran pencernaan, keberadaan peptide dengan berat molekul yang lebih rendah dapat meringankan “beban” kerja saluran pencernaan sehingga tidak menimbulkan perubahan nyata dibandingkan dengan kondisi morfologi pakan yang memiliki level tepung ikan 15 – 20%.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian diatas, pakan mandiri dapat bersaing dengan pakan yang sifatnya komersial bila mulai fokus kepada kualitas nutrisi spesifik yang dihasilkan. Kelebihan level protein dalam pakan justru hanya menjadikan kualitas lingkungan terdegradasi dan biaya produksi semakin meningkat. Perlu dilakukan peningkatan formulasi pakan, khususnya untuk pakan mandiri, dengan mulai menggunakan bahan-bahan baku alternatif yang dapat meningkatkan daya cerna, profil dan density nutrisi yang ada. Semoga tulisan ini dapat menjadi rujukan untuk perbaikan program pakan mandiri nasional.***

 

Oleh:

Dr. ROMI NOVRIADI, M.Sc1
(Pengendali Hama Penyakit Ikan Muda dan Wakil Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia)

Tags
Show More
Kepriwebsite

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close