
Pendidikan
Respon MK Mengenai Gugatan Rakyat Terhadap UU Cipta Kerja
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Mirah Sumirat meminta agar pemerintah tidak memaksakan kehendak untuk tetap menerapkan peraturan turunan dari UU Cipta Kerja. Mirah mengatakan bahwasannya MK secara gamblang telah melarang penerbitan peraturan pelaksana baru UU Cipta Kerja. Dalam persoalan tersebut, Mirah menuntut agar pemerintah dapat menghormati keputusan Mkyang meminta penangguhan terhadap tindakan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Yang artinya, terkait dengan keberadaan Peraturan Pemerintah (PP) yang terlanjur diterbitkan dan berkaitan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja harus dibatalkan.
Sidang putusan MK pada Rabu (25/11), menolak sebagian gugatan buruh soal UU Omnibus Law Cipta Kerja. Namun, MK memerintahkan pemerintah dan DPR untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dalam waktu dua tahun kedepan. Bila dalam ketentuan waktu itu tidak menyelesaikan perbaikan, UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen. Mengenai putusan MK tersebut, anggota Badan
Legislasi DPR RI dari Fraksi Partai Golkar yakni Cristhina Aryani menyatakan bahwasannya revisi UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) merupakan jalan terbaik untuk mengadopsi metode penyususnan regulasi dengan model Omnibus Law. Hal tersebut disampaikan oleh Cristhina dalam merespon putusan MK yang meminta agar pemerintah dan DPR untuk memperbaiki UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang UU Cipta Kerja dalam jangka 2 tahun kedepan. Ia menghargai putusan MK terkait UU Cipta Kerja dan memastikan akan menindaklanjuti putusan tersebut sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
Dalam putusan MK mengenai UU Cipta Kerja, kini status UU Cipta Kerja ditetapkan sebagai inkonstitusional secara bersyarat, sehingga UU Cipta Kerja masih berlaku sembari perancang Undang-undang tersebut melakukan perbaikan. Dalam putusan yang sama, MK juga mengatakan bahwasannya UU Cipta Kerja cacat formil secara prosedural pembentukannya. MK juga akan menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula untuk pembuat UU menerbitkan peraturan pelaksanaan baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Feri Amsari, mengutarakan bahwasannya keputusan MK tersebut terkesan setengah-setengah. Feri menilai ketika MK memutuskan bahwa UU Cipta Kerja ini cacat formil, maka seharusnya MK secara tegas dapat memutuskan untuk menolak secara keseluruhan eksistensi beleid ini. Sementara putusan MK pada saat ini membuat bingung masyarakat terkait penafsirannya dan juga membuat bingung bagi pembuat UU.
Feri meyakini bahwa putusan MK akan menimbulkan perdebatan panjang yang cukup tajam. Apalagi pada saat MK memutuskan status UU Cipta Kerja adalah inkonstitusional bersyarat namun masih berjalan selama proses perbaikan UU Cipta Kerja dengan batas waktu dua tahun. Feri menilai bahwa maksud putusan tersebut sudah jelas, frasa inkonstitusional tersebut diartikan sebagai ketentuan UU atau UU itu tidak konstitusional artinya dibatalkan. Dengan penambahan secara bersyarat, maka perancang UU harus memperbaiki dengan tenggat waktu yang ditentukan atau jika tidak maka akan dibatalkan secara total. Dengan pemahaman itu,
Feri menyebut dalam dua tahun masa perbaikan atau sebelum revisi UU Cipta Kerja kembali diundangkan, berarti untuk saat ini Indonesia kembali menggunakan UU sebelumnya. Feri juga mengingatkan publik tak perlu khawatir karena tidak akan ada kondisi kekosongan hukum (rechts vacuum). Karena MK dalam putusannya juga sudah menyebut, apabila UU Cipta Kerja ini dinyatakan tidak memenuhi ketentuan pembentukan undangundang berdasarkan UUD 1945, tidak akan terjadi kekosongan hukum. Hal itu terjadi selama oleh MK dalam pertimbangan hukumnya menyatakan terhadap pasal-pasal yang telah diubah dalam UU Cipta Kerja berlaku kembali jika MK mengabulkan permohonan tersebut.
Feri juga menyoroti peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja pasca putusan ini, lantaran perbedaan tafsir sudah mulai muncul di lingkar pemerintah. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto baru-baru ini memastikan aturan pelaksana UU Cipta Kerja tetap berlaku. Airlangga menyebut, sesuai putusan MK, UU Ciptaker masih berlaku secara konstitusional selama dilakukan perbaikan UU Cipta Kerja tersebut. Yang dalam hal ini, MK mengamanatkan pemerintah memperbaiki beleid dengan tenggat waktu maksimal dua tahun dari sejak ditetapkan.
Dalam amar putusan, MK memang tidak gamblang menyebutkan status turunan aturan pelaksana UU Cipta Kerja ini. MK hanya memutuskan untuk menangguhkan pembuatan peraturan pelaksana baru dalam UU Cipta Kerja. Oleh karena itu, Feri berharap pemerintah kembali kepada ketetapan awal bahwa UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Dengan begitu, seharusnya tidak ada lagi ketentuan soal aturan turunan lantaran pasti mengikuti induknya, yaitu UU. Apalagi ditambah peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja ini juga sudah bermasalah dari segi teknis pembuatan, lantaran menurut Feri dalam UU Cipta Kerja disebutkan lama pembuatan tiga bulan, namun malah molor menjadi empat bulan. Pada akhirnya, Feri menilai putusan MK ini bakal menimbulkan beda penafsiran yang sangat potensial terjadi. Kendati demikian, Feri mengapresiasi langkah MK yang kemudian membuka terobosan baru. Ia menyebut, belum pernah sekalipun MK mengabulkan permohonan dalam uji formil, sehingga ini baru pertama kalinya.
Oleh :
EFA AMANDA AGUSFINA
Mahasiswa Program Studi Administrasi Publik Stisipol Raja Haji