Uncategorized
Janji Politik (Jangan) Hanya Sekadar Janji
Setelah masa pesta demokrasi serentak pada 2019 lalu, kita bakal menyambut pesta demokrasi selanjutnya yang akan hadir dalam hitungan hari. Pemilihan Umum kepala daerah tahun ini diselenggarakan di beberapa daerah dan oleh Pemerintah menetapkan PILKADA serentak pada 9 Desember 2020 sebagai Hari Libur Nasional.
Menjelang Pemilihan, kegiatan kampanye pasti sudah tidak asing bahkan menjadi agenda rutin yang dilakukan oleh partai politik ataupun calon yang bersaing. Arti dari kampanye sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kampanye ialah kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan dalam parlemen dan sebagainya untuk mendapat dukungan massa pemilih dalam suatu pemungutan suara. Dalam kampanye-kampanye yang dilakukan, para partai politik ataupun “calon yang dipilih”, berusaha menarik sebanyak-banyak nya dukungan agar dapat menang pada pemilihan, dan salah satu bentuk usaha menarik dukungan adalah dengan memberikan janji (-janji).
Janji politik setidak nya memiliki dua arti ; pertama, mencerminkan visi dan misi calon politisi yang akan memberikan arah dan panduan yang jelas bagi dirinya dalam mencapai sasaran yang hendak diraih bila kelak diberi amanah menduduki jabatan. Kedua, janji politik adalah dasar bagi pertanggungjawaban kekuasaan yang demokratis.
Namun, janji-janji yang disampaikan kini dianggap hanya sebagai pemanis bibir semata agar pemilih merasa tertarik untuk memilihnya, serta hanya bagian pelengkap rutin dalam agenda lima tahunan ini. Maka tidak heran jika sebagian besar masyarakat menganggap bahwa janji politik identik dengan kebohongan. Pemilu di mata rakyat tidak lebih dari sekadar sebuah ajang tempat orang memberikan janji-janji untuk diingkari. Bahkan penggalan kata-kata terkenal berbunyi “janji tinggal janji. Kalau gak janji ngga menang”. Serta seringkali janji kampanye yang diucapkan itu malah tidak direalisasikan, karena banyak calon yang melempar janji terkadang tak masuk akal.
Pun jika mencoba menelusuri lebih jauh, ketika pemerintahan yang baru mulai beroperasi, mengajukan proposal anggaran dan rencana lain yang serupa dengan yang dimuat dalam kampanye. Masalah dalam mengubah janji-janji menjadi kebijakan program-program itu dirancang untuk persepsi politis, bukan efek optimal. Agenda kampanye hanyalah rencana yang dibuat secara terburu-buru, berdasarkan kondisi yang ada; jadi hal itu tidak bisa dijadikan kebijakan yang belum bisa diterima untuk mengoperasikan pemerintahan. Kekuatan lain dalam pemerintahan, biasanya menguji dan menyesuaikan rencana itu.
Walaupun begitu, banyaknya janji-janji palsu dalam kampanye tidak berarti janji politik menjadi tidak penting. Dalam sebuah negara demokrasi, janji politik adalah hal yang niscaya. Politik tanpa janji adalah politik yang buruk (Paul B. Kleden: 2013)
Jika dilihat dari sisi lain, hal-hal janji politik yang indah masih di “santap” oleh banyak masyarakat, yang menjadi salah satu “watak” dari masyarakat Indonesia. Ini menjadi salah satu “kecerdasan” dari para calon dalam menganalisa watak dari masyarakat Indonesia sendiri yang permisif pada hal tersebut, selagi tidak menyinggung agama, ras dan hal-hal sensitif.
Bentuk permisif lanjutan, bahwa seringkali kepala daerah yang gagal dalam memenuhi janjinya, masih sangat bisa terpilih kembali. Biasanya janji politik para kepala daerah terpilih hanya akan di kawal selama 100 hari. Setelah 1 tahun masyarakat bahkan sudah lupa apa janji mereka. Dan setelah 4 tahun 9 bulan, para kepala daerah yang akan mencalonkan diri kembali ini bebas membuat janji-janji manis lainnya. Seperti yang pernah dikatakan oleh Yusril Ihza Mahendra, memori masyarakat Indonesia sangat pendek.
Pemilu sebagai kontrak sosial tentulah menjamin hak dan kewajiban pemilih di satu pihak dan hak serta kewajiban para pemimpin di pihak lainnya (Arbi Sanit: 2004). Dalam Pemilu, hak pemilih ialah berdaulat dalam menentukan pilihan. Dan sebaliknya, para kandidat pemilu berhak mendapatkan suara sebanyak mungkin. Ketika para kandidat itu terpilih, konsekuensi nya adalah mempertanggungjawabkan segala upayanya dalam mendapatkan suara pemilih, dan berupaya untuk memenuhi janjinya Ketika Pemilu.
Secara moral, janji adalah sesuatu yang harus dipenuhi, bukan hanya sekedar instrument pencitraan diri untuk memperoleh suara rakyat saja. Komitmen terhadap pemenuhan janji-janji pun diharapak dimiliki oleh para kandidat terpilih.
Janji politik sangat abstrak dari segi isi dan tidak memenuhi asas-asas dalam perjanjian. Janji kampanye bukan perjanjian yang sah secara hukum, sehingga tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atau pemenuhannya secara hukum. Bintan Saragih dalam Kuliah Sejarah Hukum pada Magister Hukum Trisakti, menyatakan bahwa Janji Cinta dan Janji Politik tidak dapat digugat secara perdata.
Salah satu bentuk Langkah dalam pemenuhan janji lainnya ialah menuangkan janji politik ke dalam bentuk janji hukum. Melegalkan janji politik menjadi dimensi hukum menjadi sangat penting untuk menutup salah satu kelemahan pemilu langsung yang memiliki kecenderungan melahirkan pemimpin yang populer di mata masyarakat walaupun mungkin tidak memiliki kemampuan sebagai pemimpin.
Sudah saatnya para pemimpin baru, bahkan para calon kandidat pun, memiliki komitmen atau upaya dalam memenuhi janji-janji manis kampanye nya. Dan diharapkan para politisi untuk membuat janji yang realistis sesuai dengan kemampuannya untuk merealisasikan dan tidak lagi mengobral janji yang sebenarnya sulit bahkan tidak akan mampu diwujudkan.
Penulis
M. Ilham Muttaqin