Kolom Pembaca

Mengubur Istilah Cebong dan Kampret Dari Pentas Politik

Dalam mengamatai pentas politik untuk menuju perhelatan penggung kontestasi politik tahun 2019 mendatang adalah sebuah kajian yang menarik bagi para akademisi dan mahasiswa. Selain untuk membaca suhu politiknya kita juga bisa melihat apakah perhelatan politik sudah membaik, atau masih dalam tahap pendewasaan. Suatu hal yang mengasyikkan menurut penulis untuk mengamati perkombangan politik pada tahun ini. Karena memang setiap dekade perhelatan pesta politik secara demokrasi seperti ini, adalah bagian dari substansi dari negara demokrasi.

Setelah selesai pengundian nomor urut calon presiden dan wakil calon presiden untuk priode 2019-2024 di tetapkan. Maka suhu politik di tanah air makin hari makin memanas, dan makin memprihatinkan. Pasalnya kebisingan di dalam media sosial dapat kita saksikan bahwa isu-isu tentang para kandidat calon presiden bebas berselancar setiap hari. Yang menarik perhatian publik terhadap kebisingan di dalam media sosial tersebut adalah penyebutan kepada pendukung salah satu calon kandidat, pun dalam kandidat lainnya.

Siapa yang tidak mengetahui istilah Cebong dan Kampret? Kemungkinan besar setiap pengguna media sosial di tanah air pasti mengetahui dari kedua istilah tersebut. Memang istilah itu bukanlah istilah baru, kedua istilah tersebut sudah eksis pada tahun 2014 silam saat pertarungan politik antara Ir. Joko widodo VS Prabowo Subianto. Alih-alih ingin berharap kedua istilah tersebut hilang dari peredaran konteks politik, namun kedua istilah itu pada saat ini semakin eksis dan hampir terlihat berselancar di media sosial setiap hari.

Istilah Cobong ditujukan pada pendukungnya Ir. Joko widodo, sementara pendukung Prabowo Kerap juga di sapa dengan sebuatan Kampret. Penulis melihat bahwa kedua istilah itu hadir dan menjadi trend di media sosial adalah untuk membedakan penyebutan akibat perbedaan pilihan sikap dan pilihan politik. Tentunya daampak yang terjadi daripada munculnya kedua istilah tersebut tidak hanya untuk membedakan antara pendukung Joko Widodo dengan Prabowo. Akan tetapi dampaknya akan menyerempet kepada pengkotak-kotakan yang mengakibatkan rentannya terjadinya konflik dan permusuhan.

Melihat phenomena-phenomena seperti ini dalam hemat penulis. Bahwa,ini menandakan pemahaman substansi perpolitikan di tanah air masih sangat minim dan miskin dari yang namanya rasional. Artinya politik ditanah air belum masuk pada priode pase pendewasaan, masih sangat awam terhadap politik. Karena ketika kita memahami substansi politik secara rasional, maka pelabelan atau pelabelisasian seperti ini tidak mungkin ada. Dan gesekan tidak akan terjadi hanya akaibat berbeda pilihan dan pandangan politik. Namun faktanya sering terjadi ketegangan dan suasana yang sangat horor ketika para masing-masing pendukung di satukan di dalam satu forum ataupun di dalam sebuah diskusi publik yang sering tampil di layar kaca, memang tidak sampai pada adu tinju tetapi sering terjadi pertengkaran urat leher.

Tentunya dalam melihat situasi yang hingar bingar seperti ini kita melihat bahwa kesalehan-kesalehan di dalam tatanan sosial semakin hari semakin berkurang. Belum lagi ketika kita melihat perdebatan antara pendukung kandidat di dalam media sosial. Terkadang tidak hanya sekedar mengeleuarkan istilah Kampret dan Cebong, tetapi juga keluar dari itu dan menyerempet pula pada percakapan penghinaa kepada suku, ras bahkan pada kepercayaan. Ketika hal Ini terus menerus menjadi trend, lama-kelamaan maka akan membumi dan melekat. Hingga akhirnya nanti akan menimbulkan masalah yang sangat beesar, dan pendewasaan demokrasi tidak bisa direalisasikan.

Karena negara demokrasi yang sehat di dalam konteks pentas politik biasanya akan menghadirkan debat gagasan, wawasan, ide, kreatifitas, masalah dan solusi, juga akan membahas program dari visi dan misi para kandidat calon penguasa. Kita lihat di negara Australia misalnya salah satu negara demokrasi yang pada ketika memasuki perhelatan pentas politik, mereka lebih fokus pada pematangan program dan visi misi dari kandidat untuk di hantar ke dalam forum perdebatan intelektual untuk mengkaji dan membaca realisasinya. Melihat hal seperti ini maka perpolitikan di tanah air masih dalam tahap menuju level dewasa sehingga ucapan dan lontaran yang sering terdengar di dalam pentas politik masih dalam proses pendewasaan atau mungkin saja masih dalam tahapan kekanak-kanakan, analoginya seperti itu.

Untuk itulah maka di dalam penyelenggaraan pentas politik seperti ini harus ada kebijakan yang relevan dari KPU sebagai fasilitator yang akan menjembatani pemilihan calon presiden dan wakil calon presiden priode mendatang. Kita tidak mau pentas politik kita hanya di hiasi dengan debat kusir, dan juga perang opini atau mungkin juga perang hoax. Ini merugikan bagi negara, karena dalam penyelenggaraan pentas politik seperti ini negara mengeluarkan uang yang sangat banyak. Tentunya kita tidak mau jika yang dihasilkan dari pentas politik ini sebuah hasil yang salah. Artinya tidak berkualitas dan juga tidak seperti yang diharapkan oleh mayoritas masyarakat.

Maka solusi untuk menguburkan kedua istilah terkutuk itu KPU harus melakukan sebuah inisasi atau kebijakan yang relevan untuk menguburkan kedua istilah itu dari perut demokrasi di tanah air. Karena istilah itu tentunya tidak tepat jika dilabelkan kepada manusia. Kita ketahui bahwa manusia adalah salah satu ciptaan tuhan yang amat sempurna. Tidak mungkin kita akan menghinakan ciptaan tuhan yang begitu sempurna. Karena tidak ada paedah sedikitpun yang menjadi kontribusi bagi kesehatan politik di negara demokrasi, melainkan kedua istilah itu akan menjadi momok yang sangat menakutkan bagi negara ini, karena kedua istilah tersebut mungkin sengaja diciptakan untuk memunculkan pengkotak-kotakan di tengah-tengah masyarakat kita dan tentunya kita tidak menginginkan hal tersebut terjadi.

 

Ditulis Oleh: Irwansyah (Wakil Ketua Mahasiswa Ilmu Pemerintahan STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang)

Show More
Kepriwebsite

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close