Kolom Pembaca

Toleransi Atas Perbedaan Sebagai Upaya Menciptakan Kerukunan

Indonesia merupakan suatu negara yang di dalam nya terdapat beberapa jenis agama yang berbeda-beda. Agama yang berbeda-beda ini juga termasuk salah satu kekayaan yang dimiliki oleh Negeri ini, di mana para penganut agama memiliki hak untuk di hargai/dihormati terkait hal-hal yang bersangkutan dengan agama mereka masing-masing. Adapun hal-hal ini dapat berupa rutinitas ibadah, belajar, serta memperkaya dan memperkuat nilai-nilai keagamaan dan keimanannya masing masing.

Sejak lahir semua agama membawa pesan yang mirip secara seimbang seperti ketuhanan (tauhid), kemanusiaan, dan lingkungan. Sayangnya, dimensi ketuhanan sering kali menjadi dimensi yang paling besar. Kajian dan sikap tauhid sangatlah penting, akan tetapi tauhid yang hanya menghasilkan kesalehan ritual (vertikal) tanpa kesalehan sosial (horisontal) hanya akan membuat agama cacat secara konsepsi. Dan jika ini dibiarkan, kita akan mendapatkan prestasi-prestasi buruk dalam beragama yang akan berdampak pada prestasi buruk dalam berbangsa dan bernegara.

Hari ini kita sedang menyaksikan prestasi-prestasi buruk dalam keagamaan, kenegaraan dan kebangsaan yang menghasilkan beberapa dosa sosial: 1) agama tanpa substansi (iklan), 2) kekayaan tanpa kerja keras (korupsi), 3) perdagangan tanpa moralitas (kolusi), 4) kekuasaan tanpa nurani (nepotisme), 5) pendidikan tanpa karakter (instan), 6) tekhnologi tanpa humanitas (dehumanisasi) 7), peribadatan tanpa pengorbanan (ritual), dan 8) perjuangan tanpa pemihakan pada si miskin (kemubadziran). Sudah saatnya kita kaum beragama bergerak lebih cepat, bukan sekedar menjalankan ritual, akan tetapi meralitaskan pesan dasarnya di lapangan. Mari jadi penerjemah iman dan pelaksana agama substansi. Sebab, Indonesia hari ini lebih membutuhkan perealisasian substansi iman dari pada sekedar iklanisasi agama.

Perbedaan merupakan hal yang tidak perlu di pertentangkan. Kaum beriman dan penganut agama yang berbeda-beda semestinya bisa hidup bersama dan damai selalu, bisa bersatu, saling menghargai, saling membantu dan saling mengasihi. Namun di dalam kehidupan umat yang mempunyai perbedaan agama, perbedaan keagamaan dan keimanan ini sering kali dijadikan pemicu pertentangan dan perpecahan, yang seharusnya dipandang dan dijadikan sebagai penunjang perdamaian dan persatuan.

Konflik atas nama agama sesungguhnya telah menciderai keunikan jiwa manusia, salah satunya pengabaian terhadap sikap terbaik manusia yaitu toleransi atas perbedaan. Sesungguhnya agama bukanlah upaya manusia mempertahankan hidupnya yang selalu dibayang-bayangi penderitaan dan kesedihan. Karena asumsi agama sebagai asumsi mempertahankan hidup adalah pandangan pesimistik. Ketika agama menjadi monster yang membanjiri bumi dengan lautan darah, maka esensi agama sebagai pembawa kebaikan bagi manusia menjadi kontradiktif. Maka dari itu, sudah saatnya bagi pemeluk masing-masing agama untuk merubah cara pandang “melegalkan pertumpahan darah atas nama Tuhan dan agama”. Karena akal sehat orang awam pun akan mengatakan bahwa, tidak mungkin Tuhan memfirmankan hal-hal yang melegalkan penindasan dan pembunuhan antara sesama makhluknya. Oleh karena itu, sangatlah tidak bijak bila mendasarkan perbuatan nista kepada Tuhan.

Namun pada kenyataanya, ketika dunia makin bergeser ke arah modernisasi, konflik atas nama Tuhan dan agama masih saja terjadi. Atas nama agama bom meledak di mana-mana, yang akrab kita kenal dengan sebutan terorisme atau jihad dengan mengatasnamakan agama. Hal ini merupakan aksi kekerasan untuk memberikan peringatan atau untuk melumpuhkan mereka yang dianggap sebagai ancaman dan musuh bagi suatu kelompok tertentu. Seperti yang kita ketahui, terorisme dalam beberapa tahun terakhir ini telah menjadi kata yang sering muncul di media cetak maupun elektronik. Jauh sebelum teror mengguncang Indonesia, peristiwa -peristiwa teror tersebut juga sudah di alami oleh berbagai negara di dunia.

Dalam hal ini, tentu saja agama tidak salah. Sebab agama selalu mengajarkan hal yang baik. Masalahnya justru terletak dalam masyarakat pemeluk agama itu sendiri. Agama memang memiliki aturan dalam memberikan pilihan bagaimana memperbaiki kerusakan moral dalam masyarakat. Akan tetapi, tentu saja ketika dilakukan dengan tingkat ekstrem dan dalam bentuk tindakan kekerasan dan menyimpang, hal ini tidak sesuai lagi dengan moralitas yang di ajarkan agama. Singkatnya, agama telah di hinakan dibalik aksi-aksi kekerasan dan menyimpang tersebut.

Sebagaimana disebutkan di dalam pembukaan UUD 1945 pasal 29 ayat 2, bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya sendiri-sendiri dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya”. Sehingga kita sebagai warga Negara sudah sewajarnya saling menghormati antar hak dan kewajiban yang ada di antara kita.

Dalam menjalani kehidupan sosial tidak bisa dipungkiri akan adanya gesekan-gesekan yang dapat terjadi antar kelompk masyarakat, khususnya berkaitan dengan agama. Dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan dalam masyarakat maka diperlukan sikap saling menghargai, saling menghormati, saling percaya, saling membantu dan saling mengasihi antar umat beragama. Agar tidak terjadi gesekan-gesekan yang dapat menimbulkan pertikaian. Demi menjaga keutuhan Negara dan menjunjung tinggi sikap saling toleransi antar umat beragama, guna menciptakan kerukunan umat beragama di negeri kita tercinta ini (Indonsia).

 

Oleh: Hendri (Sekretaris Umum HMI Komisariat STISIPOL RAJA HAJI)

Show More
Kepriwebsite

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close