Kolom Pembaca

Netralitas ASN dan Modus Keterlibatannya Dalam Politik Praktis Pilkada

Aparatur Sipil Negara atau disingkat ASN harus benar-benar memposisikan eksistensinya atau keberadaannya dalam pemilihan pilkada didaerah harus netral. Netralitas para apparatur sipil negara di disiplinkan dengan regulasi yang sudah cukup jelas dalam UU No.5 Tahum 2014 tentang aparatur sipil negara dan peraturan pemerintah (PP No.53 Tahun 2010) dua aturan tersebut secara tegas mengatur posisi aparatur sipil negara untuk tidak terlibat dalam politik praktis.

Tentu saja ini merupakan sebuah struktur yang mengikat aparatur sipil negara untuk tidak indisipliner dan patuh pada UU dan PP tersebut. walaupun dalam konteks sosiologis sering kali terlihat atau adanya bukti petunjuk dalam prakteknya para aparatur sipil negara melakukan politik praktis. Secara struktur fungsional peran dan tugas serta tanggung jawab aparatur sipil negara harus benar-benar komitmen dan loyal dengan perintah aturan tersebut. sanksi aparatur sipil negara yang terlibat dalam politik praktis cukup tegas dalam aturan tersebut, hanya dalam prakteknya seringkali tidak begitu tegas, pemerintah dalam menegur bawahannya sampai pada level yang berat.

Seharusnya indikasi-indikasi yang cenderung untuk terlibat dalam politik praktis, pemerintah harus tegas memberikan samksinya biar tidak menjadi preseden buruk dalam system birokrasi didaerah. secara strukturasi dua aturan tersebut yaitu Undang-Undang No.5 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah No. 53 idealnya memperkuat system birokrasi, tetapi dalam prakteknya seringkali diperlemah oleh agen atau oknum birokrasi yang sering kali diseret-seret dalam dunia politik praktis oleh calon-calon penguasa dengan tim suksesnya. Secara general biasanya para oknum aparatur sipil negara dalam prakteknya di pilkada-pilkada daerah bisa saja berbentuk pemikiran atau mereka dipanggung belakang sebagai konsultan dalam memberikan ide-ide atau saran kepada calon kandidat yang akan maju.

Keterlibatan oknum aparatur sipil negara biasanya juga terlihat dalam memberikan petunjuk tentang strategi-strategi dan taktik-taktik dalam memobilisasi massa di daerah. Yang tidak kalah pentingnya para oknum tersebut seringkali terlibat secara intens dalam merumuskan visi-misi kandidat yang akan maju. Jelas sekali ini merupakan bentuk indispliner para oknum aparatur sipil negara dalam memperkuat system birokrasi yang seharusnya menjaga netralitasnya. Kemudian juga dalam praktek politik praktis seringkali terlihat para aparatur sipil negara menjadi calo atau centeng dalam memburu suara masyarakat dan juga suara para aparatur sipil negara dengan cara sembunyi-sembunyi dilakukan demi untuk memenangkan tuannya sebagai penguasa dengan kontrak politik secara ekonomi dan politik tentunya.

Karena didesak syahwat politik ingin mendapatkan jabatan di birokrasi, seringkali para oknum aparatur sipil negara melacurkan dirinya menjadi hamba sahaya demi patronnya untuk berkuasa. Kemudian bisa dilihat dalam kaca mata realitas dilapangan secara sosiologis keterlibatan para oknum aparatur sipil negara (ASN) dalam hal pembiayaan dana kampanye untuk para kandidat calon gubernur, calon bupati dan calon walikota di daerah.

Bentuk pembiayaan dana kampanye oleh oknum birokrat tentu saja tidak bersifat gratis atau sukarela. Deal-deal secara politik dan ekonomi memberikan jaminan kepastian jika di menangkan oleh sang kandidat yang didukungnya dalam politik electoral dalam pilihan kepala daerah. Secara ekonomi tentu saja para oknum birokrasi akan mendapatkan proyek-proyek yang nantinya akan direkayasa oleh para oknum kontraktor yang berafiliasi kepada dirinya dan itu realistis sekali terjadi didunia birokrasi.

Kemudian secara politik oknum birokrasi atau aparatur sipil negara akan mendapatkan posisi atau jabatan-jabatan strategis dalam kabinetnya, sehingga memacu para oknum birokrasi untuk terlibat secara praktis dalam setiap pemilihan kepala daerah di daerah. Ini terjadi akibat dari jenjang karier yang tidak sesuai dengan alur yang sudah diatur dalam regulasi, tetapi karier justru ditentukan oleh factor kedekatan dan adanya kolusi dan nepotisme kepala daerah dalam mengangkat para birokrasi dalam system eselonisasi di kekusaannya.

Padahal dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 bahwa negara telah menjamin kebijakan dan manajemen aparatur sipil negara yang diwujudkan dengan system merit. System merit itu berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar tanpa tanpa diskriminatif. Yang paling urgensi dalam pilkada serentak ini dalam menjaga netralitas birokrasi juga harus ada statement atau pernyataan dari pasangan calon pemimpin disetiap daerah untuk memberikan himbauan kepada aparatur sipil negara untuk tetap bersikap menjaga netralitas dalam momentum politik pilkada tersebut. kepada pihak penyelenggara pilihan kepala daerah juga untuk tetap tegas dalam koridor aturannya mengawasi jika kedapatan terlibat dalam politik praktik harus segera ditindak tanpa pandang bulu.

 

Ditulis Oleh : Suyito,S.Sos, M.Si Dosen Sosiologi Stisipol Raja Haji.

Tags
Show More
Kepriwebsite

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close