Kolom Pembaca

Membumikan Literasi ; Ibu Peletak Dasar Peradaban

Suasana dunia saat ini ditandai dengan keberagaman budaya sebagai akibat kemajuan teknologi yang mempermudah proses globalisasi dan membuat manusia diajak berfikir mengenai tema keseluruhan untuk keseragaman melalui pandang global. Cara pandang satu ini memiliki dua mata yang berlawanan, yang satu dituntut tetap eksis atau diakui, tapi sisi lain saling mengancam akibat ego sektoral dengan dalih mendominasi.

Membaca situasi globalisasi di dunia tidak tepat bila tidak memahami dampak arus globalisasi di Indonesia terlebih dahulu. Ketika tidak mengikuti arus yang amat laju hingga tidak terbendung tersebut maka kita akan semakin ketinggalan informasi dan sekaligus fatal bila salah memperlakukan sebuah informasi secara parsial. Maka ada istilah paradigma terkait globalisasi dikalangan mahasiswa senior kepada calon mahasiswa.

Menjadi apatis atau mengikuti arus ? Di era milinenium ke tiga ini, manusia telah berada dalam siklus kritis. Sebuah situasi krisis dari pemikiran modern, yakni ketika kemampuan akal budi manusia direduksi sehingga bersifat memahami hanya yang empiris, eksternal atau dangkal, instrumental, utilitarian dan eksploitatif, karenanya manusia menjadi penafsir kehidupan yang sempit dan terbatas. Tidak kurang, imbasnya kini telah banyak merasuk ke sanubari anak-anak nusantara.

Dalam hal ini perlu kesadaran bersama masyarakat dunia tak terkecuali bangsa ini terlebih generasi, generasi daerah sendiri paling tidak. Sekurang-kurangnya berfikir apa yang dibutuhkan dan wajib penuhi untuk menghadapi kehidupan keras di abad ke 21 ini ? Sudah pasti kemampuan Hard Skill dan Soft Skill. Kita sepakat di awal tadi tepatnya di judul bahwa literasi yang dianggap asing oleh awam adalah ibu dari dasar ilmu pengetahuan -peradaban. Karena ianya bersentuhan langsung dengan kedua skill tersebut. Seperti kita ketahui, kemampuan memahami, menganalisa, membaca, menulis bahkan yang tak jauh lebih penting berfikir secara mendalam. Sangatlah lemah dari masyarakat indonesia ketimbang negara ASEAN lainnya.

Cakupan luasnya lagi masyarakat Asia yang pola berfikirnya hanya dengan perasaan yang melihat segala sesuatu dengan emosional- bila diukur kemampuannya dengan masyarakat belahan dunia lain, contohnya eropa yang memandang masalah dengan irasional. Padahal, sebagaimana dalam tulisan Harun Yahya di bukunya yang berjudul ‘Bagaimana Muslim Berfikir?’ Terletak pada pendahuluan. “Allah mewajibkan manusia untuk berpikir secara mendalam atau merenung”.

Banyak yang beranggapan bahwa untuk “berpikir secara mendalam”, seseorang perlu memegang kepala dengan kedua telapak tangannya, dan menyendiri di sebuah ruangan yang sunyi, jauh dari keramaian dan segala urusan yang ada. Sungguh, mereka telah menganggap “berpikir secara mendalam” sebagai sesuatu yang memberatkan dan menyusahkan.

Para pendukung pendapatan ini bahkan berkesimpulan, bahwa pekerjaan ini hanyalah untuk kalangan “filosof”. Padahal sebaliknya, orang-orang yang tidak mau berusaha untuk berpikir mendalam akan terus-menerus hidup dalam kelalaian yang sangat. Masalah inilah yang menghambat kemajuan bangsa Indonesia yang dipandang secara internal, yang korelasinya dengan apatisme pemuda di tengah era majunya teknologi dunia, yang tidak mampu bersaing akibat minimnya pengetahuan dengan beragam alasan. Apalagi dikaitkan dengan masalah konspirasi elite-elite dunia serta para koloninya yang secara perlahan ingin menghancurkan generasi bangsa melalui peredaran narkoba, seks bebas, korupsi massif serta pornografi.

Memang pada dasarnya masalah eksternal semacam ini tidak akan mampu kita kaji ke akar hingga tuntas, namun kita masih ada harapan untuk mengimbangi dan membentengi hal ini. Tetapi bagaimana bila internal sendiri belum mapan ? SARA masih diperdebatkan, korupsi masih merajai media massa, kekerasan tidak hilang dari tajuk koran dan Iklan televisi masih saja menyisakan kesan profit non mendidik. Walau sulit untuk berfikir secara mendalam, hal mendasar yang dapat dilakukan paling mudah ialah membaca. Selalu membaca dan terus di lakukan, lakukan rutin walau itu 5 menit, itulah awal dari sumber pergerakan untuk memulai sebuah babak baru dalam kehidupan.

Lalu, lain halnya jika menulis melalui sebuah karya tulis, tentu memerlukan intelekual yang cukup dan keseringan membaca hingga larut malam. Keseringan membaca buku, ataupun media lain yang dapat dipadukan dengan menulis di atas kertas/media lain yang bisa dikatakan dengan mem-budayakan literasi. Sebagaimana pengertian di KBBI, literasi merupakan kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat. Tetapi perspektif maknanya luas bukan saja menguasai pengetahuan membaca dan menulis dan sebagainya, bahkan lebih.

Sehingga tidak salah dikatakan kemampuan literasi adalah ibu peletak dasar peradaban. Budaya literasipun tidak akan mampu meningkat bila penghambatnya tetap berada di puncak. Apalagi berbagai penjajahan yang dilakukan koloni beserta sekutunya melalui, SARA, Narkoba, Pornografi dan sekali lagi tayangan iklan yang tidak mendidik. Ada contoh menarik yang ingin saya ulas terkait perkembangan budaya literasi di Indonesia yang berhubungan dengan iklan di TV, Media online, Web/Blog. Misalnya, ketika Pemerintahan Jokowi mengadakan lomba menulis karya ilmiah/fiksi tingkat pelajar. Sudah pasti para pelajar tersebut mencari referensi, entah itu di pustaka melalui media buku maupun internet dengan memanfaatkan wifi pustaka. Menjadi titik fokusnya terkait masalah ini adalah medianya itu sendiri, yakni media internet.

Seperti kita ketahui sampai hari ini masih banyak situs-situs yang menawarkan referensi untuk menulis, namun tidak menutupkemungkinan alih-alih ingin menulis demi mengikuti lomba karya ilmiah para pelajar sudah berang dengan bebasnya berselancar di internet, membuka situs yang terlarang untuk ditonton oleh seusia mereka. Dimana kejaminan negara terhadap perlindungan generasi ? Apakah kemeninfo tidak mampu dalam mengatasi situs porno yang sangat mudah di akses oleh anak-anak, akibat maraknya situs-situs tersebut yang perlu satu persatu di blokir.

Nah inilah salah satu puncak masalah minimnya budaya literasi di Indonesia. Meski permasalahan ini tidak dapat dilepaskan dari faktor pribadi masing-masing beserta indikatornya. Jika tidak bisa diatasai maka kita akan merasakan titik nadir bangsa indonesia dalam menghadapi guncangan dunia untuk yang kesekian kalian setelah masa ORBA. Ada sepercik harapan secara pribadi bila ini memang direalisasikan oleh para penguasa negeri.

Bukan sekedar menggurui namun hanya memberikan sedikit warna dari inovasi yang telah digencarkan oleh pemerintah, agar kita mampu keluar dari zona aman menuju keterpurukan yang telah di bentuk oleh penguasa dunia saat ini, yang memang dinikmati kalangan atas lokal yang tunduk akan tatanan dunia. Kembali ke permasalahan Iklan tadi yang sempat terlupakan untuk di ulas.

Dengan memberikan apresiasi terhadap pegiat literasi di tanah air tentunya ada angin segar bagi penikmat literasi, sistem yang ditawarkan menarik dan dapat membantu masyarakat itu sendiri. Seandainya saja dalam menulis blog/web, iklan yang berbayar sengaja ditampilkan sebagai bentuk prestasi bagi sesiapa yang rajin menulis di blog/webnya dan tidak terlepas pantauan dari ke dua intansi Kemendikbud dan Kominfo, atau boleh lebih.

Bukan tidak mungkin trafik situs gelap seperti situs porno, judi, dan sebagainya menurun seiring dengan peningkatan terjadi dengan munculnya penulis-penulis baru di indonesia. Contoh kasus ini adalah salah satu dari penghambatnya budaya literasi di Indonesia. Jika kita tidak enggan merenung dan berfikir secara mendalam dengan konsisten mengenai akan pentingnya literasi bagi diri sendiri maka wujudnya sebuah peradaban bangsa indonesia adalah sebuah keniscayaan.

Sadar atau tidak situs pornografi lebih menggiurkan untuk dikelola dari pada situs-situs lainnya. Bukan terhadap keuntungan google play yang tidak seberapa itu namun lagi lagi pada iklannya yang bertebaran, sampai-sampai kita kesulitan untuk mengeluarkan iklan tersebut. Bila ini menjadi kendala pemerintah lewat kemendikbud maka kemendikbud harus bersinergi dengan kemenkoinfo dalam hal membangun budaya literasi secara online dengan metode bisnis periklanan.

Walau dari dulu memang sudah ada google adsense, tetapi ketatnya peraturan dan relatif keuntungan yang di dapatkan. Sehingga semangat menulis didorongkan oleh mood dan hanya ingin meluangkan waktu kosong saja.

Ditulis Oleh : Rudi Saputra (Sekretaris Umum PC PMII Kabupaten Karimun)

Show More
Kepriwebsite

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close