Kolom Pembaca

PEMILIH ADALAH SUBJEK DALAM PEMILU

Ketika berbicara tentang Pemilu, tentunya kita tidak pernah lepas dari pembahasan tentang demokrasi. Dan pada prinsipnya tidak semua negara dapat dikatakan sebagai negara demokratis. Negara yang demokratis wajib memiliki ciri tertentu. Yang pertama, ada kebebasan. Sebagai warga negara, kita boleh mengekspresikan diri, pandangan, dan kepentingan karena kebebasan adalah hak dasar kita sebagai warga negara. Ciri yang kedua dari negara yang demokratis adalah negara membuka ruang untuk berpartisipasi bagi masyarakat. Demonstrasi, dialog publik, seni, tulisan adalah bentuk-bentuk dari cara berpartisipasi. Tetapi, yang paling nyata di dalam negara demokratis tentunya adanya pelaksanaan Pemilu.

Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang bertumpu pada kedaulatan rakyat. Yaitu sistem pemerintahan yang mengakui peran senyatanya rakyat sebagai pemilik sah kekuasaan tertinggi dalam negara, untuk menentukan pilihan-pilihan atau “jalan” yang hendak ditempuh untuk mencapai tujuan negara.

Hasil amandemen UUD 1945 sebagai konstitusi dasar negara indonesia, pada dasarnya telah mencerminkan penguatan prinsip-prinsip demokrasi, diantaranya : a) Kedaulatan Rakyat (Pasal 1 ayat (2)); b) Supremasi Hukum (Pasal 1 ayat (3)); c) Persamaan kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan bagi semua warga negara (Pasal 27 ayat (1)); d) Hak Asasi Manusia (Pasal 27, Pasal 28, Pasal 28 butir A-J, Pasal 29, Pasal 31, Pasal 32 dan Pasal 34); e) Pemilihan umum yang jujur dan adil dan dilaksanakan secara berkala (Pasal 22E); dan f) Lembaga Perwakilan Rakyat (Pasal 19-22D).

Pelaksanaan amanat pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 tentang pemilihan umum adalah bukti nyata bahwa Indonesia merupakan negara demokratis. Karena pelaksanaan pemilu dalam sebuah negara adalah merupakan wujud nyata dari pengakuan terhadap kedaulatan rakyat. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan dapat secara langsung menentukan pilihan terhadap orang-orang yang dipercaya untuk mewakili kepentingannya. Mekanisme penyerahan kedaulatan rakyat melalui wakilnya adalah melalui mekanisme pemilu. Jadi, pemilu adalah salah satu sarana melaksanakan demokrasi. Arti penting dengan pelaksananaan pemilu, maka akan tersedia peluang rekrutmen politik yang terbuka dan adil, karena seluruh warga negara memiliki peluang yang sama untuk dipilih dan memilih. Maka dari itu, pemilu disebut juga sebagai jembatan politik. Pemilu akan bermakna bagi demokrasi, bila prinsip-prinsip demokrasi diterapkan dalam pelaksanaan pemilu. Prinsip-prinsip demokrasi seperti, partisipasi semua warga negara, kesetaraan, toleransi dan pengakuan terhadap keberagaman, transparansi dan akuntabilitas, penerimaan hasil pemilu (legitimasi pemerintahan), perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) serta supremasi hukum.

Partisipasi semua warga negara merupakan faktor penentu utama keberhasilan pemilu. Pemilu sebagai sebuah proses politik ditentukan oleh keputusan politik pemilih, keputusan politik pemilih dalam hal menentukan arah politik dan pembangunan yang akan terjadi setelah pemilu. Demikian pula dengan keputusan politik pemilih untuk menggunakan atau tidak hak pilihnya yang akan berakibat pada tinggi atau rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilu. Kualitas partisipasi politik rakyat, juga menentukan kualitas demokrasi. Artinya, rakyat yang berpartisipasi berdasarkan kesadaran kritis, pengetahuan dan kemerdekaan rakyat dalam menggunakan hak politiknya, seperti: rakyat paham mengapa ada pemilu, mengerti pengaruh partisipasi rakyat terhadap pemilu tata pemerintahan kedepan, dan adanya informasi yang memadai untuk menentukan pilihan terhadap salah satu calon.

Sebaliknya pemilu yang dilakukan sekedar memobilisasi rakyat untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), mencoblos partai atau nama calon, tanpa mengetahui apa tujuan dan akibat dari pilihannya, berakibat pada rentannya rakyat sebagai pemilih mengalami pembodohan dan menjadi korban politik uang. Pemilu yang dilakukan dengan cara memobilisasi rakyat akan menjadikan pemilu dilaksanakan sekedar sebagai ritual politik tanpa makna, dan tidak memberikan sumbangan pada penguatan demokrasi dalam suatu negara. Pemilu sekedar ritual politik adalah demokrasi manipulatif.

Demokrasi sering kali dilihat sebagai parameter penting ada tidaknya pembangunan politik di suatu negara, karena dari demokrasi itulah peran rakyat dalam menentukan nasibnya dapat diukur. Hanya saja, tidak sedikit kasus yang menunjukan bahwa demokrasi belum dapat memenuhi jargon utama: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Di tengah masyarakat yang baru belajar berdemokrasi, hubungan antara partai politik dengan pemilih cenderung didominasi oleh yang pertama. Pemilih hanya dijadikan sebagai objek politik. Pemilih diperlukan dan diperlakukan dengan baik saat partai memerlukan dukungan suara mereka dan dilupakan saat partai politik sudah mengantongi kemenangnannya. Pada posisi demikian, dapat dipahami adanya kecendrungan rakyat untuk memilih “golput” pada saat pesta demokrasi, karena bukan hajat mereka, tetapi hajat para politisi.

Pilihan untuk menjadi “golput” jelas memiliki konsekuensi-konsekuensi tertentu. Meskipun ada manfaatnya, untuk kasus Indonesia yang sedang belajar menata kehidupan bernegara dengan menerapkan demokrasi, pilihan golput tidak banyak memberikan keuntungan, justru lebih banyak mudaratnya. Tetapi fakta menunjukkan jumlah golput dari pemilu ke pemilu selanjutnya meningkat. Meningkatnya angka golput, yang berarti juga menurunnya angka partisipasi masyarakat dalam pemilu, membuat pemerintah dan mereka yang peduli pada proses demokratisasi negara menjadi khawatir. Berbagai upaya terus dilakukan dengan berbagai pendekatan, dari aspek sosial, politik, hingga agama, dari iklan layanan masyarakat, pendidikan pemilih, hingga fatwa tentang hukum keharaman golput yang dikeluarkan oleh MUI. Langkah-langkah ini akan lebih efektif dan berdampak luas di masyarakat jika masyarakat sebagai pemilih dapat merasakan manfaat langsung dari partisipasinya.

Rakyat harus merasakan bahwa pengorbanan–waktu, tenaga, biaya, pikiran—yang mereka berikan untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi dapat terbayarkan dengan umpan balik positif dari pelaku para pemimpin dan wakil rakyat yang mereka pilih. Ini hanya bisa terwujud jika rakyat mempunyai kecerdasan, kebebasan dan kemandirian dalam memilih. Rakyat harus cerdas, bebas, dan mandiri dalam menentukan pemimpin dan wakil rakyat pilihan mereka. Pemilih harus benar-benar menjadi subjek yang independen dalam setiap pemilihan umum, bukan semata objek politik untuk sekedar mendulang suara, baik pada pemilihan anggota legislatif, pemilihan presiden dan wakil presiden maupun pada pemilihan kepala daerah. Rakyat harus sadar bahwa merekalah yang memberikan tiket bagi para politisi untuk duduk di kursi kekuasaan. Tak ada tiket yang gratis. Para politisi itu harus memberikan imbalan berupa komitmen untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.

Rakyat adalah subjek utama dalam pemilu, subjek yang menentukan berhasil tidaknya suatu pemilu diselenggarakan, melalui partisipasi yang diberikannya dalam pemilu. Subjek yang menentukan hasil pemilu, seperti apakah wujud pemerintahan yang akan datang. Subjek yang menentukan akankah pemilu berdampak pada kesejahteraan dan keadilan, di masa mendatang.

Oleh : Anuar Nasution, S.IP
Ketua IKAR (Ikatan Keluarga Anak Rantau) Kota Tanjungpinang

Show More
Kepriwebsite

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close