Kolom Pembaca

Habil dan Qabil (Revolusi Agrikultur), Penindasan Manusia oleh Manusia

Pertarungan Dualistik Manusia

Tak dapat lagi dielakkan, bahwa sejarah panjang umat manusia tidak pernah terlepas dari dialektika antar kutub. Sepanjang sejarahnya, manusia kiranya memang diciptakan untuk saling memukul antar sesama makhluk. Kita bisa melihat bagaimana Sapiens mengusir dalam arti genosida Neanderthal.

Sejarah adalah catatan harian panjang umat manusia, yang dilukiskan sebagai tempat untuk melihat kembali, apa yang sudah terjadi, kebaikan keburukan apa yang perlu di ambil dan di hindari.

Kemudian, manusia-manusia yang baru saja turun dari tempat-Nya, seakan mengafirmasi kekhawatiran malaikat pada saat penciptaan manusia. Kita dapat menelisik substansi kisah Habil dan Qabil.

Habil dan Qabil adalah putra-putra pertama Adam, dengan gen, lingkungan serta asuhan keluarga yang sama, bagaimana bisa seorang saudara membunuh saudara lainnya. Tidak, keduanya tidak tumbuh dalam lingkungan berbeda, sehingga logika seharusnya mengatakan itu tidak pernah terjadi.

Kisah Habil dan Qabil bagi Ali Syariati memiliki makna mendalam, ia bukanlah kisah sederhana tentang pembunuhan manusia dengan manusia, bukanlah sekedar bukti empiris kekhawatiran malaikat. Dia adalah tanda sejarah umat manusia, bahwa kehidupan diawali dengan terjadinya pertentangan kelas, antar penindas dengan yang ditindas.

Selanjutnya Ali Syariati dalam bukunya Sosiologi Islam, menegaskan, bahwa peradaban baru telah tercipta, pertentangan antara pemburu-penjelajah dengan domestikasi gandum, kepemilikan bersama vis a vis dengan kepemilikan individu.

Umat manusia dalam catatan perjalanannya, menceritakan bagaimana sebuah revolusi agrikultur terjadi, kehidupan manusia yang pada awalnya hanya berburu dan berjelajah, bergeser secara drastis menuju domestikasi gandum. Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Sapiens, menerangkan bahwa pada awalnya manusia dengan jumlah yang tidak banyak memiliki kecukupan dalam hal konsumsi pangan, tidak hanya berkecukupan, juga penuh gizi dan beragam makanan yang dapat memasok tubuhnya. 180° terbalik ketika revolusi agrikultur terlepas.

Manusia lebih sedikit memiliki ragam makanan, domestikasi gandum menyebabkan manusia hidup dalam satu kawasan tetap dengan menunggu hasil panen. Era manusia berubah, selanjutnya manusia melakukan serangkaian penebangan lahan besar-besaran, ragam tumbuhan hilang dan punah satu persatu, diganti dengan jenis makanan terbatas. Dan ya, manusia hidup dalam jeratan monopoli kepemilikan kolektif menjadi pribadi, tanah-tanah yang tak bertuan menjadi punya majikan.

Disinilah bagi penulis awal terjadinya keserakahan, kelicikan, penindasan, perbudakan pembantaian umat manusia oleh manusia. Semuanya dilakukan hanya untuk 1% orang yang melimpah sumberdaya, dan 99% orang yang menderita akibat kemiskinan atau sumberdaya terbatas.

Sejarah Habil dan Qabil pulak memiliki ketertautan filosofis dengan sejarah objektif. Bahwa ketika Habil mempersembahkan unta merah terbaik (pemburu-penjelajah), sedangkan Qabil, mempersembahkan gandum kering menguning (domestikasi sumberdaya) kepada-Nya. Yang selanjutnya terjadi Qabil membunuh Habil. Artinya, era kepemilikan kolektif (pemburu dan penjelajah) diganti dengan kepemilikan pribadi (domestikasi gandum). Era sosialisme primitif ditukar dengan era penindasan tak berkesudahan.

Penindasan pasca Revolusi Agrikultur

Pertanyaan selanjutnya, apa gunanya determinisme-historis di atas ? Apakah penting, bagi kita yang sudah terlanjur hidup bersama dengan kapitalisme dan budaya konsumerisme? Bagi penulis penting sekali, bahwa sejarah membuka mata kita yang sayup untuk melihat bagaimana kebobrokan ini semua terjadi. Bagaimana umat manusia hidup berkelindan dengan penindasan. Tak naif, untuk merubah itu semula (seperti cita-cita Marx tentang masyarakat tanpa kelas) adalah utopis. Namun dapatlah kita lihat, sejarah umat manusia tak ubahnya adalah dialektika antar kehinaan, kemunafikan, kekerasan, ketamakan melawan persaudaraan kokoh, kesetaraan, kebebasan.

Sekarang, kita ada di pihak mana ? Bukankah sebuah kemunafikan mengatakan untuk berada ditengah, itu tak lebih sebuah pengelakkan manusia atas keruwetan hidupnya. Tak mau ambil peduli dan menjadi individualistik sejati secara tidak sadar. Saya katakan tidak sadar karna sudah terpaksa berendam dikolam hipokritis milik mereka yang gila sembah bagai Firaun, gila harta seperti Qarun dan pelacur intelektual seperti bal’am.

Marx, dalam teorinya tentang basestructure dan superstructure bagaimana basis dalam hal ini sumber produksi, alat produksi dan kekuatan produksi untuk masyarakat mempengaruhi bagaimana supra terbentuk, seperti lembaga sosial, negara dan pemerintahan dan begitu sebaliknya. Bahwa masyarakat yang sudah keburu hidup dalam basic need economies rendah memasrahkan itu semua kepada Supra. Sehingga tanpa sadar mereka terus terendam dalam kolam yang penulis sebut di atas.

Untuk Indonesia, world inequality report pada tahun 2022 menujukan bahwa 50% orang Indonesia memiliki kurang dari 5% kekayaan rumah tangga nasional, dan 10% yang lain memiliki 60% kekayaan tersebut dan kesenjangan ekonomi di Indonesia Itu 1 banding 19. Artinya kaum borjuasi memilki 19 kali lipat lebih banyak dari masyarakat menengah. Bahkan Amerika negara kapitalis-serakah itu memiliki rasio 1 banding 17, lebih sedikit dari kita yang kapitalismenya pinggiran bukan pusat.

Kesadaran Masyarakat

Dari data di atas, pertumbuhan kekayaan di Indonesia bertambah setiap tahunnya, tapi untuk siapa ? Tentu sesuai data kekayaan itu milik mereka yang menguasai alat dan kekuatan produksi. Milik mereka yang rakus dan tak kenyal kata kenyang.

Kita, yang setiap hari ditindas tanpa sadar, sudah sepatutnya naik dari dalam kolam itu, keluar dengan penuh kesadaran, bahwa setiap harinya kaum proletar diinjak untuk memakmurkan mereka yang bertengger di atas. Tidak cukup untuk dilakukan sekelompok kecil orang, massa (masyarakat) harus bahu membahu melawan penindasan seperti itu, mengakui bahwa kita tak ubahnya seperti sapi perah, yang setiap hari di eksploitasi tanpa sadar oleh kemerosotan hidup yang seperti itu.

Penulis realistis, bahwa modus produksi di hampir setiap negara adalah kapitalis, termasuk kita indonesia. Namun, apakah mereka yang memiliki alat produksi itu berhak mengambil semua akses kita, kesempatan kita, peluang kita. Dengan penuh kesadaran diri, masyarakat harus terus berjuang diatas kehidupan yang penuh kelicikan ini. Seperti yang Ali Syariati katakan, bahwa hidup tak lebih tak kurang adalah keyakinan dan perjuangan.

Daftar Rujukan :

  1. Yuval Noah Harari, Homo Sapiens : A Brief History of Humankind
  2. Ali Syariati, on the sociology of Islam
  3. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/06/30/kesenjangan-ekonomi-di-ri-tidak-banyak-berubah-sejak-20-tahun-lalu
  4. https://www.marxists.org › erolPDF Base and Superstructure
Tags
Show More
Kepriwebsite

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close