Pendidikan

Backing-an Kuat, Masalah Lewat : Mengejar Keadilan di Antara Ketimpangan

Indonesia dikenal dengan sebutan negara hukum, karena semua yang terjadi di dalam negara ini diatur oleh hukum. Namun, bagaimana jika hukum yang seharusnya menjadi tumpuan negara ini justru berlaku tidak adil? Padahal pada pasal 27 ayat (1) UUD 1945 sudah ditegaskan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, atau yang biasa disebut dengan Equality before the law.

Di Indonesia yang adalah negara hukum, masih sering terjadi ketimpangan hukum yang dirasakan oleh masyarakat. Hal ini sama halnya dengan permasalahan yang sedang terjadi di Pekalongan, Jawa Tengah sekarang.

Seorang warga Desa Watusalam, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, mencurigai bahwa aparat penegak hukum menjadi backingan pabrik PT. Panggung Jaya Indah Tekstil (Pajitex). Dia merasa ada perilaku “tebang pilih” oleh aparat penegak hukum dalam pelaksanaan tugasnya. Permasalahan yang dibicarakan ini adalah tentang kasis pencemaran limbah.

Warga tersebut akhirnya mengadukan kepada beberapa anggota DPR dan Wakil Ketua MPR, Arsul Sani, saat kunjungan mereka di Desa Watusalam, Pekalongan pada hari Selasa (21/12). Kemudian, warga menceritakan dua kasus yang sudah mengganjal di hari mereka, dalam permasalahan ini ikut menyeret nama salah satu manager perusahaan PT. Pajitex, Agung Triyanto sebagai terlapor kasus pencemaran limbah. Dan satu kasus lagi, yaitu yang melibatkan dua orang warga setempat, yakni Abdul Afif dan Kurohman sebagai terlapor kasus perusakan.

Agung Triyanto yang dilaporkan oleh warga atas kasus pencemaran limbah, hanya mendapat tuntutan pasal 103 & 104 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang jumlah ancaman hukumannya adalah 3 tahun penjara. Namun, setelah sudah disidang pun tidak ada penahanan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum kepada oknum ini.

Akan tetapi, dua orang warga setempat mereka yang akhirnya mengakui perbuatan mereka akibat merusak pabrik, malah diberikan hukuman yang lebih berat. Kerugiannya tidak sampai 500 ribu rupiah, namun dikenakan pasal 170 KUHP dan mendapat ancaman hukuman 5 tahun penjara.

Dari pemaparan di atas, dapat terlihat kesenjangan keadilan yang bahkan hanya dengan mata tertutup pun kita dapat melihatnya. Bukannya membenarkan perilaku warga yang merusak pabrik karena kemarahan mereka, tapi mengapa hukumannya tidak seimbang? Seharusnya apabila memang hukum itu ada dan adil, hukum tidak akan hanya menekan yang tidak bisa melawan, namun juga menekan semua orang sama rata.

Lalu bagaimana dengan pencemaran limbah pabrik yang akan berakibat fatal bagi semua warga di situ? Bukankah limbah pabrik bisa merusak ekosistem wilayah tersebut? dan juga limbah pabrik bisa menimbulkan banyak penyakit parah yang akan menyerang warga setempat. Apakah hukum hanya akan menganggap hal ini sepele, hanya karena mereka bukanlah orang penting dan hanya rakyat biasa?

Hal yang membuat kedua warga tersebut berani untuk mengakui kesalahannya adalah, saat polisi pada awalnya menawarkan kesepakatan penyelesaian masalah pencemaran limbah dengan metode Restorative Justice (RJ). Namun, ternyata metode RJ ini “istimewa” tidak diperuntukkan kepada warga biasa yang tak punya kekuatan apapun.

Salah seorang dari warga Desa Watusalam mengungkapkan kepada Arsul Sani yang adalah Anggota Komisi III DPR RI, “Di sini realitanya sudah kebalik-balik kok pak. Kami ini rakyat kecil yang dirugikan karena pencemaran limbah hanya diproses dengan pelanggaran kecil tanpa ditahan polisi. Padahalm warga sudah dari lama ngadu adanya pencemaran limbah yang menggangu ke Pemkab dan polisi, sampai saat ini tidak ada hasil. Sampai sekarang itu bapak bila melihat bagaimana kondisinya itu pencemarannya. Apa yang aparat mungkin jadi backing itu pabrik?”

Melihat aduan dari salah satu warga di atas, bukankah sangat miris? Aparat penegak hukum, yang seharusnya mengayomi semua warga dan berlaku adil dalam tugasnya, malah menjadi oknum tebang pilih? Apakah setakut itu para “oknum polisi” itu pada orang yang memiliki jabatan? Ataukah karena desakan ekonomi yang disebabkan gaji tak cukup, yang mendorong mereka menjadi timpang? Ironi. Sungguh ironi.

Mungkin saja, apabila tidak ada kunjungan dari Arsul Sani ke daerah itu, maka masalah ini akan selamanya terpendam dan hilang begitu saja. Karena, warga biasa tidak akan bisa menang apabila sudah melawan orang yang memiliki “sayap pelindung” di belakangnya. Miris, namun itulah kenyataan yang sudah ada sejak lama. Tanpa berani speak-up, maka akan terus diinjak sampai lemah dan akhirnya menyerah.

Direktur Eksekutif YLBHI-LBH Semarang, Eti Oktaviani yang melakukan pendampingan membenarkan semua yang diadukan warga Desa Watusalam kepada Arsul Sani. “Dalam kasus ini, tidak hanya polisi yang kami anggap tebang pilih, namun juga pemerintahnya. Bayangkan saja, warga yang di sini menderita atas pencemaran malah diminta berbaikan dengan pelaku pencemaran. Sudah nggak ada nalarnya,” kata Eti.

Pernyataan dari Eti di atas memperkuat bahwa kejadian tersebut memang benar adanya dan bukan settingan semata agar mendapat simpati dari pemerintah. Mengacu pada statement Eti, ada benarnya juga, bahwa ini bukan hanya dari “oknum polisi” saja yang bersalah, akan tetapi juga “oknum pemerintahnya” yang ikut andil dalam perilaku timpangnya hukum ini.

Secara logika, polisi sangat kecil kemungkinannya untuk melakukan hal yang ada di luar perintah dari pemerintah atau atasannya. Kemudian, hal ini diperkuat dengan klaim Eti lagi yang menambahkan bahwa memang pihaknya melihat bahwa beberapa pejabat termasuk Staf Ahli Bupati Pekalonganlah yang meminta warga untuk tidak melakukan demo dan berbaikan dengan PT. Pajitex.

Berbaikan? Bagaimana bisa kata-kata itu keluar dari orang-orang yang diangkat menjadi pejabat agar bisa melayani rakyat dengan seluruh hidupnya? Bagaimana bisa? Pencemaran limbah pabrik bukanlah hal yang biasa. Bukan hal yang bisa dibiarkan berlalu begitu saja. Dampak paling buruknya adalah kematian. Atau mungkin, nyawa seorang warga biasa tidak begitu berharga, apabila dibandingkan dengan hubungan relasi mereka? Ironis sekali hidup ini, semakin terlihat bentuk nyata dari perkataan “Yang kuat semakin kuat, dan yang lemah semakin lemah,” tidak ada perubahan, sama saja seperti manusia jaman purba. Saling bertengkar, bukannya yang kuat membantu yang lemah, ini malah merekalah yang semakin menekan dan membuat “si lemah” menderita.

Untunglah di saat yang seperti ini masih ada perwakilan dari rakyat yang memang menggunakan telinganya untuk mendengar keluhan dari masyarakatnya. Arsul Sani, yang telah mendengarkan keluhan tersebut berjanji untuk mendukung warga Desa Watusalam untuk memperjuangkan apa yang mereka berhak dapatkan.

“Kami di sini akan membantu waga Desa Watusalam untuk mendapatkan hak lingkungan yang sehat. Kami akan fasilitasi warga bertemu dengan Dirjen Gakkum KLHK terkait kasus pencemaran, pihak LBH silahkan ikut mendampingi. Untuk dugaan adanya Backing-an atau oknum polisi yang nakal, akan kami terusk ke Pak Kapolri. Mohon warga bisa terus beri laporan langsung ke nomor pribadi saya,” kata Arsul.

Namun, alangkah lebih baiknya apabila jangan berekspektasi terlalu tinggi terhadap janji yang diucapkan seseorang, karena pada akhirnya itu hanya akan lebih sakit saat ekspektasi kita dihancurkan dengan brutal. Ya, mari kita berharap bahwa perkataan satu ini bukan hanya janji belaka seperti apa yang sering diucapkan oleh wakil rakyat lainnya. Berharap bahwa pada akhirnya, negara Indonesia, yang terkenal dengan sebutan negara hukum, bisa benar-benar menjunjung tinggi keadilan hukum yang sebenar-benarnya. Malu dengan negara lain, apabila sebutan dengan kenyataan tidak sesuai. Apalagi timbangan hukum yang berat sebelah, tidak akan pernah memberikan hasil yang baik di dalam kehidupan ini.

Penulis

[ Bintang Fahrezy Ardadhan ]

Tags
Show More
Kepriwebsite

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close