Opini
RUU CIPTAKER: ELITIS DAN OLIGARKIS
Beberapa hari ini, meski masih gelap akan mendung virus dan pandemi COVID 19, Indonesia dilanda kegalauan lagi. Bagaimana tidak, sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diberi nama Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan nantinya akan segera menjadi Undang-Undang yang isinya tentu berpengaruh kepada seluruh bangsa Indonesia yang terkena subtansi dari RUU tersebut. Konon katanya RUU ini dikecam banyak pihak termasuk buruh di dalamnya. Subtansi yang banyak disoroti LBH Jakarta yang dikutip di dalam salah satu sumber yaitu Tirto.id (2020) menjelaskan hal-hal seperti pengorbanan hak-hak pekerja demi akumulasi kapital, penghilangan hak-hak pekerja perempuan, menghapus hak-hak cuti pekerja, mendukung politik upah murah, membuka ruang PHK massal, dan penghapusan pidana perburuhan. Meski tujuan utama RUU ini seyogyanya adalah untuk meningkatkan kinerja investasi, reformasi birokrasi, dan harmonisasi regulasi yang kini tumpang tindih (bisnis.com, 2020).
Di dalam tulisan singkat ini, penulis tidak terlalu dalam menyoroti subtansi RUU Cipta Kerja tersebut dalam pendekatan hukum, namun lebih kepada melihat hiruk pikuk proses formulasi kebijakan ini di tangan para anggota DPR. RUU Ciptaker ini dilihat dari subtansinya adalah kebijakan yang sifatnya deliberitatif. Dimana banyak pihak atau stakeholder yang harus mengetahui terlebih dahulu subtansi kebijakan publik ini melalui sebuah instrumen yang disebut dengan uji publik dan itu harus dilakukan secara komprehensif degan pendekatan sosiologis dan pendekatan partisipatif yang optimal. Pendekatan deliberatif dalam kebijakan ini juga bertujuan agar kebijakan publik lebih publicness. Namun apa yang terjadi dengan RUU Ciptaker, sampai detik menjelang kelahirannya hanya melahirkan ambiguitas politik dalam konteks formulasi kebijakan ini, dan juga ambiguitas hukum secara subtanstif. Sehingga di dalam proses pembahasan menuju pengesahanya, hanya dua partai politik yang menolak RUU ini untuk disahkan yaitu Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sementara tujuh fraksi lainnya yaitu Fraksi PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PPP, dan PAN, menerima RUU Cipta Kerja.
Dalam konteks pengesahan kebijakan ini, Pemerintah bersama DPR-RI sepertinya terlalu memaksakan penyelesaian RUU Ciptaker tersebut sesuai target waktu, bukannya membicarakan substansi dan materinya, agar bisa diterima oleh semua pihak, khususnya kaum buruh yang merupakan salah satu entitas masyarakat yang menolak subtansi RUU Ciptaker ini. Proses demi proses dalam pengesahan RUU ini tampak jelas yang dapat diakses masyarakat di berbagai media baik cetak maupun online. Sehingga fenomena pengesahan RUU ini secara dramatis pun dapat dinilai oleh banyak pihak seperti apa prosesnya.
Tempo.co (2020) mencatat setidaknya ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian di dalam pengesahan RUU ini yaitu, pertama, Fraksi Partai Demokrat sempat meminta pengesahan RUU ini ditunda, karena banyak penolakan banyak berbagai pihak dan rakyat, namun permintaan Fraksi Demokrat ini ditolak dan berakhir pada walkout-nya Fraksi Partai Demokrat dalam rapat paripurna. Kedua. Anggota DPR tidak menerima salinan fisik RUU Ciptaker sebelum pembahasan. Ketiga. Disahkan meski banyak penolakan. Bagaimana sebuah RUU yang akan ditetapkan menjadi Undang-Undang (UU) dan akan dilaksanakan kepada seluruh masyarakat Indonesia namun pada saat pengesahannya banyak penolakan berbagai pihak termasuk buruh salah satu entitasnya. Namun ada catatan yang perlu menjadi perhatian bahwa ketika pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) di dalam pembahasan RUU ini, DPR tidak menginventarisasi pasal-pasal yang seharusnya melalui mekanisme inilah tampak bahwa pasal-pasal di dalam sebuah RUU akan mengundang kontroversi dan masalah di kemudian hari. Namun proses ini tampak tidak menjadi perhatian, sehingga banyak masalah di dalam RUU ini tidak teridentifikasi dan menjadi masalah hingga saat ini. Penolakan oleh Fraksi Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dianggap sebuah keterlambatan, sehingga dianggap percuma dilakukan saat ini, semantara hampir semua pasal diterima oleh Fraksi lainnya.
Melihat dari fenomena perumusan atau formulasi kebijakan yang teraktualisasi di dalam RUU Ciptaker ini, tampak bahwa kebijakan ini diputuskan dengan pendekatan elitis dan oligarkis. Mengapa demikian, pertama, secara hitung-hitungan politik, sebagian besar fraksi di DPR-RI menerima dan menyetujui RUU Ciptaker ini disahkan dalam sebuah proses yang boleh dikatakan “prematur”. Fraksi-Fraksi yang menerima adalah partai-partai yang merupakan pendukung koalisi pemerintah saat ini, hanya Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS yang menolak RUU ini. Elit-elit yang menjadi bagian fraksi yang menerima RUU ini tampak belum secara komprehensif melihat semua pendekatan dan masukan dari berbagai pihak sehingga pada saat proses pengesahan RUU ini menjadi UU menuai banyak kritik. Kedua, pola elitis tersebut menurut pendapat Winters (2011) di dalam tulisannya tentang Oligarki menjelaskan pengertian baru tentang Oligarki yaitu “penguasa yang mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang terus digunakan untuk mempertahankan kekuasannya secara ekslusif”. Definisi dari Winters ini terlihat dari beberapa fenomena yang dicatat dan dijelaskan oleh Tempo.co di atas, bahwa dalam hal pengesahan RUU ini telah terjadi praktik oligarki dimana sebagian elit mengiring isu publik yang sumber daya material mereka kendalikan. Dari subtansi RUU Ciptaker ini, kedepan akan tampak kepada siapa kebijakan ini berpihak.
Tantangan bagi Pemerintah secara luas, ketika RUU ini telah disahkan menjadi UU paling tidak adalah pertama, menyusun Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden serta kebijakan turunan lainnya yang lebih publicness dan persuasif sebagai regulasi teknis di bawah UU ini untuk melaksanakan amanat kebijakan ini. Dengan kondisi penolakan seperti saat ini, jika Pemerintah pun terkesan memaksa kebijakan ini untuk disahkan, maka jika kebijakan turunannya tidak mampu menerjemahkan UU ini dengan pendekatan yang lebih persuasif dan publicness, maka pasti dalam tataran implementasinya akan menuai masalah baru. Ketidakpatuhan berbagai pihak akan menjadi salah satu isu yang dihadapi oleh pemerintah. Kedua. Dalam pendekatan kebijakan publik, kepatuhan pelaksana kebijakan dan kelompok sasaran akan menentukan apakah kebijakan publik diimplementasikan dengan baik atau tidak. Termasuk apakah tujuan kebijakan akan tercapai atau tidak. Kepatuhan ini juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sosial, ekonomi dan politik. Meski ada pendapat yang menyampaikan bahwa RUU Ciptaker ini ketika menjadi UU adalah untuk mengatur setelah kondisi pandemi COVID 19 ini mereda dan berakhir. Namun sikap penolakan di awal pengesahan RUU menjadi UU ini merupakan titik tolak apakah kelompok sasaran atas kebijakan ini akan mampu mengikuti semua subtansi kebijakan sebagaimana diatur di dalam RUU Ciptaker ini. Ketiga. Perlu proses penyesuaian dengan produk hukum lainnya yang terkena imbas oleh RUU ini termasuk kepada kewenangan pemerintah di daerah, karena dalam konteks perizinan juga menjadi bagian dalam RUU ini dan kewenangan ini menjadi salah satu urusan pemerintah di daerah. Sehingga perlu penyesuaian yang tepat, terarah dan sistematis agar tata kelola pemerintah di daerah tidak turbulance akibat dampak dari RUU Ciptaker ini.
Oleh:
RENDRA SETYADIHARJA
Akademisi Stisipol Raja Haji Tanjungpinang