Opini
Pelayanan Adaptif di Era Represif
Dalam situasi pandemi hari ini, pasca penerapan segala macam aturan dalam rangka penanganan persebaran virus corona atau covid-19 berupa pembatasan sosial berskala besar (PSBB), pemerintah mengeluarkan kebijakan pemberlakukan new normal atau normal baru. Hal ini dilakukan sebagai jalan keluar dari kungkungan covid-19 sekaligus mengaktifkan kembali segala aktivitas masyarakat khususnya di bidang ekonomi yang mengalami krisis secara drastis.
Namun disisi lain, kebijakan ini disinyalir sebagai upaya pemerintah menerapkan heard immunity (kekebalan kolompok). Heard immunity adalah upaya menghentikan laju penyebaran virus dengan cara membiarkan imunitas alami tubuh. Sehingga, daya tahan atau imunitas diharapkan akan muncul dan virus akan reda dengan sendirinya. Hal ini dilakukan atas rasionalisasi bahwa pemerintah tidak mampu menghentikan laju persebaran virus corona yang begitu cepat. Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah melalui gugus tugas dan lembaga terkait tidak mampu membendung ganasnya serangan virus corona.
Namun kecurigaan apapun dan atas alasan apapun, kebijakan normal baru harus sama-sama kita jalankan secara disiplin agar tujuan yang sedikit imajinatif tadi dapat terealisasi secara cepat. Karena harapan masyarakat tidaklah susah dan tidak pula banyak, yaitu hanya ingin secepatnya keluar dari pandemi yang mengikat mobilitasnya diberbagai sektor. Harapan pun diletakkan di ujung tinta rumusan kebijakan yang ditulis oleh pemerintah bersama wakilnya. Oleh karenanya, normal baru yang tampaknya bagus namun agak sedikit mencekik harus diimplementasikan secara dinamis mengikuti gelombang pergerakan masyarakat. Dengan begitu harmonisasi antara kebijakan, masyarakat dan virus corona dapat dilantunkan seirama demi tercapainya kenormalan yang benar-benar normal.
Katanya, normal baru merupakan langkah percepatan penanganan Covid-19 dalam bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi. Skenario new normal dijalankan dengan mempertimbangkan kesiapan daerah dan hasil riset epidemiologis di wilayah terkait. Sampai dengan hari ini, rencana new normal hanya diterapkan di 102 kabupaten/kota yang berada di zona hijau pandemi. Selebihnya, di zona kuning dan merah harus menunggu sembari tetap melaksanakan PSBB sampai tidak ditemukannya kasus positif baru dan kondisi benar-benar membaik. Ataupun jika tidak begitu, tergantung lobi-lobi politik dari jembatan ke jembatan dan dari korporasi ke korporasi.
Jika pemerintah menyebutnya era normal baru, maka saya menyebutnya era represif. Pasalnya, setiap aktivitas masyarakat diatur sedemikian rupa dan diawasi secara represif. Hal ini dilakukan untuk menekan angka persebaran virus corona dan mengayun gelombang pembangkangan yang akan terjadi sebagai respon dari kebijakan yang tidak pro rakyat. Dari fase pertama hingga kelima, dirumuskan secara regulatif agar tujuan penyelesaian dampak pandemi di bidang kesehatan dan ekonomi dapat tercapai. Terhitung sejak 1 juni hingga 27 juli dilakukan secara bertahap mulai dari pemulihan aktivitas ekonomi hingga penerbangan ke luar negeri. Meskipun menuai berbagai kritikan dari banyak pihak, pemerintah yang sedikit otoriter tidak mengindahkannya dan tetap melanjutkan kemauannya yang dianggap sudah benar. Maksudnya benar-benar menguntungkan orang dan pihak tertentu.
Di era represif ini, pemerintah harus menyiapkan aturan dan pengawasan masyarakat di setiap lini termasuk pelayanan publik. Pelayanan harus dilakukan secara adaptif guna mengikuti alur skenario era represif. Berikan masyarakat dengan pelayanan yang cepat dan tepat agar kepuasan mereka dapat mengurangi potensi pembangkangan. Misalnya, aktivitas belajar mengajar yang harus menerapkan protokol kesehatan. Ada pula aktivitas pendidikan yang tidak boleh mengganggu proses pemerintahan seperti yang baru saja terjadi yaitu diskusi online terkait pemakzulan presiden yang terpaksa harus dibubarkan karena mendapat serangan represif dari tangan kanan oligarki. Begitukah watak penguasa hari ini, apapun akan dilakukan atas alasan pembenaran apapun.
Di lain sisi, pelaksanaan pelayanan publik harus dilakukan secara disiplin kesehatan. Maka tidak asing lagi rasanya jika berbicara tentang pelayanan, selalu berhadapan dengan pembaharuan berupa pelayanan berbasis digital sebagai salah satu bentuk adaptasi terhadap perkembangan teknologi. Dimana setiap pelayanan yang diminta dan diberikan, dapat dilakukan melalui jarak jauh dan secepat kilat. Namun maksud adaptif disini bukan hanya sekedar itu, tapi bagaimana pemerintah berserta birokrat mampu beradaptasi dengan perkembangan situasi dan perubahan pola pikir masyarakat yang dinamis. Dengan begitu, era represif benar-benar melahirkan situasi dan kondisi kemasyarakatan yang disiplin dan berkemajuan.
Sebagai bagian dari proses implementasi kebijakan, maka setiap lapisan masyarakat akan terkena dampak dari pemberlakuan era represif. Untuk itu, demi kemaslahatan bersama, mari mendisiplinkan diri secara kolektif. Bukan atas dasar patuh terhadap kebijakan penguasa yang sedikit plin-plan, namun atas rasa kemanusiaan yang beradab. Dengan begitu, pelayanan publik dapat dilakukan secara adapatif meskipun di era represif.