Opini
Mengapa New Normal?
Dalam beberapa waktu terakhir marak diperbincangkan istilah New Normal terutama setelah pemerintah melihat ada indikasi penyebaran virus corona atau Covid-19 di Indonesia mulai stabil dan bisa dikendalikan. Disebabkan istilah ini dianggap baru maka tidak mengherankan kalau masih banyak yang bertanya-tanya, apa itu New Normal? Mengapa setelah penyebaran Covid-19 mulai stabil dan bisa dikendalikan harus New Normal?
Istilah New Normal pada mulanya adalah sebagai jargon dalam ekonomi dan bisnis. Istilah tersebut muncul dalam konteks mengingatkan kepercayaan para ekonom dan pembuat kebijakan dunia bahwa ekonomi industri akan kembali tetapi dengan “cara baru” setelah dihantam krisis keuangan pada 2007-2008. Sejak saat itu, istilah New Normal telah digunakan dalam berbagai konteks lain, tidak hanya ekonomi dan bisnis, untuk menyiratkan bahwa sesuatu yang sebelumnya dianggap tidak normal telah menjadi hal yang biasa.
Istilah New Normal atau di Indonesia dikenal dengan Kenormalan Baru, pertama kali diperkenalkan oleh Roger McNamee, dalam sebuah artikel yang berjudul “The New Normal” di majalah Fast Company pada tanggal 30 April 2003. Menurut Roger McNamee, istilah New Normal mengacu pada suatu situasi dan atau perilaku baru pada suatu komunitas atau bahkan seseorang yang dibawanya dari perilaku yang menjadi kebiasaannya ketika ada fenomena yang memaksa yang bersangkutan untuk menyesuaikan diri dengan aturan baru dalam kurun waktu tertentu. Dalam masa New Normal atau Kenormalan Baru, lebih utama untuk melakukan hal-hal yang benar daripada menyerah pada hal-hal yang urgensi.
Sejak pandemi Covid-19 melanda dunia, istilah New Normal kembali ramai disuarakan. Dalam konteks Covid-19, istilah New Normal pertama kali disuarakan oleh tim dokter di University of Kansas. Mereka menyatakan pandemi yang sudah menewaskan lebih dari 350.000 jiwa di seluruh dunia per 27 Mei 2020 akan mengubah tatanan hidup keseharian manusia. Kondisi New Normal akan membatasi kontak fisik manusia yang sebelumnya adalah aktivitas biasa seperti berjabat tangan dan berpelukan.
Selanjutnya, di Indonesia, melihat kenyataan bahwa Covid-19 belum dapat ditaklukkan membuat pemerintah ingin “berdamai”. Pernyataan Presiden Joko Widodo pada 7 Mei lalu, menegaskan keinginan untuk hidup “berdampingan” dengan Coronavirus. Untuk itu, Presiden Joko Widodo saat memimpin Rapat Kabinet Terbatas lewat video conference, Rabu (27/05/20200) sudah meminta jajarannya untuk menyosialisasikan New Normal ini secara besar-besaran. Beliau bahkan meninjau secara langsung persiapan menjalani New Normal dengan mengunjungi sarana publik seperti Stasiun MRT Bundaran HI di Jakarta, Mall Summarecon di Bekasi, dan terakhir mengunjungi Mesjid Istiqlal di Jakarta.
Pemerintah Indonesia memilih untuk menerapkan tatanan Kenormalan Baru atau New Normal ini demi memulihkan kondisi ekonomi. Meskipun keputusan ini masih menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.
Perekonomian Indonesia hampir lumpuh oleh pandemi Corona ini. Berhentinya aktivitas sosial telah membuat roda perekonomian terhambat. Kondisi ini bila terus dibiarkan akan memicu badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) makin menjadi-jadi. Hal itu tentu harus segera dicegah, dan tak perlu menunggu vaksin Covid-19 ditemukan.
Pemberlakuan New Normal inipun disambut baik oleh pemerintah daerah. Guna mendukung kesiapan daerah tersebut, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan izin kepada 102 kabupaten/kota yang berada di zona hijau untuk melaksanakan aktivitas kembali. Namun tentunya dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan yang ketat.
Sementara itu dalam kehidupan keseharian individu dan masyarakat, sebagaimana diungkapkan tim dokter University of Kansas, New Normal akan berdampak signifikan pada aktivitas, perilaku, dan kebiasaan individu terutama di tempat umum dan yang melibatkan kerumunan.
Bila pada masa sebelum pandemi berjabat tangan dan berpelukan merupakan hal yang lazim, maka sekarang hal tersebut harus dihindari. Sebelumnya di tempat umum tidak perlu menggunakan masker, akan tetapi sekarang justeru diharuskan menggunakan masker. Dulu tak harus cuci tangan dengan sabun atau menggunakan hand sanitizer, sekarang justeru dianjurkan sesering mungkin. Demikian, kita juga diharuskan menghindari kerumunan dan berkumpul dalam jumlah yang sangat terbatas.Semua aktivitas yang melibatkan orang ramai dihimbau tidak bertemu secara fisik tetapi secara virtual dengan memanfaatkan fasilitas teknologi internet.
Semua kita “dipaksa” merubah kebiasaan dari sebelum pandemi ke kebiasaan baru guna untuk mengurangi risiko tertular atau menularkan. Harus, tidak ada pilihan lain. Demikian, kalau kita ingin memutus penyebaran Covid-19 dan hidup dengan normal tapi dengan normal yang baru.
Oleh :
Rianto
Sosiolog STISIPOL Raja Haji