Uncategorized
Pandangan Hukum Kasus Dugaan KDRT Oleh Salah Satu Anggota DPRD Kota
Maraknya hujatan dan bully’an yang diberikan oleh segelintir orang terkait kasus yang menimpa salah satu anggota DPRD Kota Tanjugpinang MA dituduh melakukan KDRT.
Namun tuduhan tersebut telah dibantah secara tegas oleh MA melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), hal ini tentunya dapat dilihat ada kontradiktif baik dari keterangan pelapor maupun terlapor dalam kasus ini, Lalu bagaimana pandangan hukum terkait kasus dugaan KDRT dalam hal ini penulis mencoba memberikan pandangan hukum secara tataran teoritik maupun praktik dalam kasus dugaan KDRT tersebut
Pertama, jika kita belajar hukum di semester 4 mata Kuliah Hukum acara maka kita di ajari suatu asas yakni Actori incumbut probatio (siapa yang mendalilkan maka dia wajib untuk membuktikan).
Dalam hal ini pelapor wajib membuktikan telah terjadi KDRT namun apabila tidak bisa dibuktikan maka kelanjutan asas tersebut Actore Non probante Reus Absolvitur ( jika tidak dapat dibuktikan maka terduga wajib dibebaskan dari tuduhan tersebut) dan bukan itu saja apabila pelapor tidak dapat membuktikan maka bisa tersandung dengan pasal 311 KUHP tentang Fitnah dan Laporan palsu dan dapat di ancam 4 Tahun penjara,
Secara hukum laporan didefinisikan sebagai pemberitahuan yang disampaian oleh seseorang karena hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga terjadi perbuatan pidana (pasal 1 ayat 24 KUHAP).
Namun dalam hal ini status dari pelaku yang diduga melakukan kekersaan dalam rumah tangga masih terlapor maka dalam hal ini perlu adanya proses lanjutan untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, tentu hasil laporan yang diajukan oleh korban menjadi dasar untuk pihak kepolisan selaku geetkeepers of criminal justice system ( polisi sebagai penjaga gerbang proses peradilan pidana ) untuk melakukan proses lanjutan yakni penyeledikan tanpa harus mengesampingkan Asas Praduga Tidak Bersalah.
Dalam hal ini melapor tentu dibenarkan secara hukum karena setiap orang memilki hak untuk melaporkan sesuatu terkait dugaan tidak pidana, dikarenakan untuk menghindari seseorang melakukan main hakim sendiri atau eugenrichting
Hal itu tertuang didalam pasal 1 angka 24 KUHAP, namun dalam praktik bahwa perbuatan yang mendapatkan reaksi keras dikalangan masyarakat yang paling diutamakan adalah memberikan klarifikasi terkait dugaan kasus tersebut lalu mengadakan Pertemuan dengan kedua belah pihak keluarga untuk menyelesaiakan permasalahan yang menjadi konsumsi publik ,bila perlu dugaan kasus ini diselesaikan secara kekeluarggaan, hal tersebut jauh lebih baik dan bersifat kekeluargaan yang mana dalam kasus dugaan KDRT ini sejatinya merupakan Urusan Privat/Pribadi kedua belah pihak.
Kedua, dalam hal untuk pihak kepolisian melakukan proses lanjutan yakni penyelidikann maupun penyidikan tanpa harus menempuh prosedural izin terlebih dahulu dari gubenur sebagaimana yang tertuang dalam UU 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 53 dan UU NO 27 tahun 2009 tentang UUMD3 391 (1) apabila mengacu terhadap UU lama tersebut tentu tidak sesuai dengan Asas Hukum Lex posterior Derogat Legi Priori yang artinya aturan yang lebih baru mengesasmpingkan aturan yang lama, maka dalam hal ini tentu pihak kepolisian akan lebih mudah dalam pemanggilan pelaku kekerasan tersebut untuk diminta keteranganya.
Ketiga , dalam hal kekerasan dalam rumah tangga terkait yang berhak melaporkan dapat kita temui pengaturannya dalam UU NO.23 tahun 2004 Pasal 26 Ayat 1 tentang Pengahupsan Kekerassan Dalam Rumah Tangga dalam hal kasus dugaan kekerasan ini secara expressiv veribis yang berhak melaporkan secara langsung adanya KDRT kepada Pihak Kepolisian adalah korban kekerasan tersebut namun tidak menutup kemungkinan pihak keluarga korban dapat melaporkan dalam hal mendapatkan kuasa dari korban sebagaimana yang tertuang dalam pasal 26 Ayat 2 UU KDRT
Keempat, untuk mengatakan seseorang melanggar hukum pidana maka kembali kepada objek hukum pidana itu sendiri yaitu aturan – aturan hukum pidana positif ( ius consititutun ) yang berlaku di suatu Negara dalam konteks ini yakni UU NO 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 1 Angka 1 berbunyi : Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga jika dihubungkan secara teori terkait kualifikasi jenis jenis delik maka undang-undang aquo secara kumululatif dikualifikasikan sebagai delik aduan sebagaimana yang tertuang dalam pasal 51,52 dan 53.
Sejatinya delik aduan secara doktrin hukum terbagi menjadi dua yakni delik aduan relatif dan absolute yang pada intinya terhadap pelaku delik aduan hanya bisa dilakukan proses hukum pidananya atas persetujuan korban sebagaimana dalam 75 KUHP.
Kelima, hukum pidana dalam konteks teori maupun praktek telah memisahkan antara kejahatan dan pelaku. Analisis terhadap suatu kejahatan akan menghasilkan kualitas dari kejahatan itu sendiri, sedangkan analisis terhadap pelaku menunjuk pada karakter pelakuknya. Kejahatan bertalian dengan actus reus, sedangkan pelaku berkaitan dengan mens rea, disini yang dimaksud dengan Mens rea (sikap batin Pelaku pada saat melakukan perbuatan)dalam hal ini tenntu keduanya harus benar benar terwujud dan hal ini perlu dibuktikan motif dugaan KDRT .
Keenam , bahwa persoalan ini sesungguhnya masih ditangani oleh pihak kepolisian yang mana polisi merupakan Gatekeeper in the process criminal jutice system atau penjaga pintu dalam sistem peradilan pidana, dalam hal ini Kepolisian masih tahap mencari apakah perbuatan terlapor perbuatan pidana atau bukan perbuatan pidana.
Sejatinya jika pun perbuatan terlapor perbuatan pidana pihak penyidik mempunyai hak dan kebijksanaan untuk melanjutkan ke proses hukum apa tidak, hal ini didasarkan pada undang undang nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian pasal 18 ayat 1 “ untuk kepentingan umum pejabat kepolisian Negara republic Indonesia dalam melaksankan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilainya sendiri”. dalam konteks teori pasal ini disebut dengan Diskresi.
Dengan adanya pengaturan diskresi kepolisian ini sebenarnya telah memberikan pijakan Yuridis polri untuk menerapkan Filosofis Restorativ Justice dalam penangan perkara pidana, karena dengan adanya diskresi penyidik polri dapat memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan perkara pidana yang ditanganinya salah satunya tindakan yang dapat di ambil dalam mengimplementasikan Restorative Justice adalah dalam kasuss dugaan keresan dalam rumah tangga.
Ketujuh, mengingat dalam hal kasus dugaan KDRT ini masih dalam proses pihak kepolisian alangkah baiknya seluruh masyarakat kota Tanjungpinang dan sekitanya menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah terkait kasus dugaan KDRT kan kita percayakan kepada pihak kepolisian dan tentunya tidak mengesampingkan asas praduga tidak bersalahn sebagaimana yang termaktub dalam hukum yang berlaku di negara kita dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 8 ayat (1) yang berbunyi: Setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut dana tau dihadapan dimuka siding pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sejatinya tujuan dari asas praduga tidak bersalah Pertama, untuk memberikan perlindungan dan jaminan terhadap seorang manusia yang telah dituduh melakukan suatu tindak pidana dalam proses pemeriksaan perkara agar jangan sampai diperkosa hak asasinya.
Kedua, memberikan pedoman pada petugas agar membatasi tindakannya dalam melakukan pemeriksaan karena yang diperiksanya itu adalah manusia yang mempunyai harkat dan martabat yang sama dengan yang melakukan pemeriksaan.
Dengan demikian, asas praduga tak bersalah berkaitan erat dengan proses peradilan pidana yaitu suatu proses dimana seseorang menjadi tersangka dengan dikenakannya penangkapan sampai adanya putusan hakim yang menyatakan kesalahannya.
Kedelapan, Maka oleh karena itu demi melindungi kepentingan hukum baik kepentingan hukum individu, kepentingan hukum masyarakat dan kepentingan hukum Negara , kiranya penulis merekomendasikan agar aparat penegak hukum tidak melanjutkan kasus ini dan lebih mengutamakan sisi kemanfaatan hukum dan mengupayakan dalam kasus dugaan KDRT menjadkan hukum pidana menjadi upaya terakahir (ultimumum remedium) dalam penegakan hukum, artinya apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain sebagi misal menyelesaikan secara kekeluargaan/ mediasi maka hendaklah jalur tersebut didahulu sebagaiamana juga dalam agama Islam menganjurkan untuk mencari solusi apabila terjadi konflik demi terciptanya sebuah kedamaian sebagai contoh upaya mediasi adalah salah satu upaya meresolusi konflik untuk menciptakan perdamaian dalam surat An-Nisa ayat 35 yang menyatakan : Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan.
Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu, sejatinya dalam urusan privat/rumah tangga pidana sama sekali tidak memiliki nilai pembenaran apapun bila semata – mata dijatuhkan untuk sekedar menambah lebih banyak penderitaan keluarga atau kerugian pada masyarakat, artinya apabila pelaku Yang berinisial MA selaku DPRD Kota Tanjungpinang terpilih tersandung Kasus KDRT yang mana seharusnya dapat diselesaikan secara kekeluargaan, sejatinya tentu hal merugikan masyarakat karena aspirasi-aspirasi yang dititipkan masyarakt yang harus beliau realisasikan.
Sebagai penutup penulis mengutip suatu adagium hukum lex semper dabit remedium ( hukum selalu memberi obat ) dan Le Salut du People Est La Supleme Loi (hukum tertinggi adalah Perlindungan Masyarakat) .
Penulis :
Ade Mudhofar ( OPANG )
Mahasiswa Ilmu Hukum Umrah.