Kolom Pembaca

Didi Kempot dan Literasi

Beberapa waktu lalu indonesia kembali berduka, setelah mendiang Glen Fredly musisi sekaligus aktivis sosial dari tanah Maluku berpulang kepangkuan sang Pencipta, kini kita kembali mendapatkan kabar perpisahan untuk selama-lamanya dari sang maestro tanah air, seorang legenda di kalangan penikmat music campursari yang kini akrab dengan sebutan “The Godfather of broken heart” di kalangan anak-anak millennial.

Sosok Dionisius Prasetyo atau yang di kenal sebagai Didi kempot sejatinya bukanlah seorang musisi kemarin sore yang terkenal lewat penampilan fisik atau karena relasi pertemanan sesama musisi, atau seorang musisi yang terkenal karena berita sensasional yang kerap ditujukan kepada sosos pribadinya, sosok Didi merupakan seorang maestro Campursari yang terbang tinggi melebarkan sayap-sayang cintanya melalui proses perjalanan yang sangat panjang dan tidak semua orang mengetahui persis seperti apa perjalanan kareir sang legenda hidup campursari yang kini memilih dimensi dunia lain untuk kembali dari ketiadaannya.

Bicara-bicara soal sobat ambyar, generasi muda hari ini tentu tidak akan mengenal dengan sang maestro jikalau tembang lagu yang diciptakan oleh beliau menjadi terkenal dan viral didunia maya, seperti cuplikan-cuplikan video lagu pamer bojo, banyu langit, dan beberapa lagu lainnya  yang menghiasi beranda media sosial para netizen indonesia, namun pada dassarnya kita sebagai anak muda patut berbangga atas apa yang dilakukan oleh sang maestro sebagai wujud pelestarian budaya dalam dunia seni musik dan juga sebagai bentuk dedikasi yang tinggi dari seorang manusia yang terlahir dari rahim ibu pertiwi.

Kembali menyoal tentang anak muda, angkatan muda indonesia hari ini nampaknya cukup mendapatkan kesempatan dan ruang yang besar didalam berbagai lini kehidupan, lihat saja dari sisi pemerintahan hari ini, seluruh staff khusus pakde hari ini mayoritas dalam kriteria usia relatife muda, walau jika kita merujuk dalam Undang-Undang kepemudaan no 40 tahun 2009 wilayahnya berada pada usia 16-30 tahun, akan tetapi hal ini masih dapat diterima karena mereka-mereka masih dalam usia produktif dan cukup memiliki kompetensi diberbagai bidang, walaupun beberapa diantara mereka terlibat dalam konflik kepentingan, itu bukanlah bahasan yang menjadi pokok tulisan kali ini.

Sebagai anak muda yang kebetulan masuk dalam kategori kelompok millennial, ada kebanggaan tersendiri jika kita melihat perkembangan dinamika sosial yang terjadi hari ini, ada banyak anak muda yang memiliki posisi strategis dan memiliki daya saing yang sangat kompetitif baik dalam dunia professional maupun dalam tingkat antar pelajar, dan hal itu dapat kita lihat dari beragamnya prestasi anak indonesia hari ini dan beberapa waktu sebelumnya.

Namun kebanggaan dan kekecewaan merupakan dua sisi yang takkan mampu untuk dihilangkan, seperti adanya hitam dan putih sebagai ukuran tentang baik dan buruknya sebuah nilai yang disematkan bagi sesama manusia, hal ini jugalah yang tentunya menjadi ungkapan sebuah perasaan tentang fenomena hari ini, kebanggaan tentang sebuah prestasi sekaligus kekecewaan karena hilangnya sebuah budaya membaca dikalangan anak muda yang berimbas pada merosotnya daya saing dan menurunnya kompetensi yang dimiliki angkatan muda.

Bayangkan jika beberapa tahun lalu kita melihat ricuhnya rapat pemilihan pimpinan DPR RI periode 2014-2019 yang sempat ramai dalam pemberitaan tanah air,  dan itu terjadi dikarenakan adanya kemerosotan kualitas sumber daya manusia dari sisi pengetahuan dan moralitas, tentu kita sebagai generasi pelurus, sebuah kata yang kerap menjadi doktrinasi dari senior kampus pada saat menjadi mahasiswa baru harus memiliki sebuah konsepsi untuk merubah arah bangsa kedepan untuk menjadi lebih baik.

Menurut UNESCO pada tahun 2016 saja Indonesia berada pada posisi kedua dari bawah dalam ururtan 61 Negara dengan tingkat minat membaca buku di dunia, hal ini menjadi sebuah ironi ditengah pesatnya perkembangan dunia internasional dalam persoalan ilmu pengetahuan dan teeknologi, dan hal ini juga sangat kontras dengan posisi Indonesia sebagai urutan kelima di dunia dalam urusan kepemilikan gadget atau pengguna ponsel smartphone aktif pada tahun 2016.

Kualitas pendidikan kita juga kembali menuai kritik dan persoalan lantaran banyaknya murid atau peserta didik yang kerap melakukan tindakan-tindakan yang mencerminkan merosotnya moralitas anak bangsa, banyaknya kasus pembunuhan guru yang dilakukan oleh sang murid bukan lagi hal yang tabu, penyimpangan prilaku yang mengarah pada tindakan criminal seperti pelecehan seksual hingga terjebak dalam zona merah narkoba juga semakin mengkhawatirkan perkembangan dunia pendidikan. Belum lagi persoalan keluarga yang menambah kekuatan negative bagi para peserta didik dinegeri ini.

Pentingnya minat membaca dikalangan anak muda indonesia tentu harus menjadi focus utama dalam upaya memperbaiki kondisi bangsa yang semakin hari semakin memprihatinkan, walau terkadang banyak sekali fenomena-fenomena yang membanggakan yang muncul dari prestasi anak indonesia yang berada didalam maupun diluar negeri. Namun itu belum cukup untuk membuat bangsa kita sejajar dengan bangsa-bangsa adikuasa yang ada di daratan eropa dan timur tengah.

Pergeseran budaya di kalangan anak muda juga harus menjadi titik focus selanjutnya dalam upaya pembenahan generasi muda, seperti fenomena sobat ambyar yang digawangi oleh sang maestro menyebar dikalangan kaum millennial tentu dapat menjadi sebuah gambaran betapapun hebatnya pengaruh seorang Lee min Ho dan koleganya dalam drama korea atau virus-virus K-Pop yang terus diserukan oleh Blackpink dan rekan-rekan takkan mampu menggeser nuansa keroncong dan nikmatnya music koplo di tanah air.

Pembangunan karakter bagi manusia Indonesia berbasis budaya tentu merupakan hal yang sangat penting, bukan hanya dijadikan sebagai judul dalam seminar atau diskusi panel saja atau bahkan gagasan yang dibuat hanya selesai sampai tahapan lokakarya dalam aktifitas pelatihan semata, namun hal ini di wujudkan dalam sebuah langkah nyata didalam kehidupan sehari-hari.

Anak muda indonesia merupakan angkatan perang intelekual yang mestinya diperispkan dengan berbagai pengetahuan yang matang, agar dewasa nanti menjadi tauladan bagi para generasi yang akan datang. Budaya dipegang supaya tidak mudah tumbang dimedan perang, menjaga toleransi sesama ummat beragama sebagai wujud persatuan dan terus meningkatkan pengetahuan agar dapat bersaing dalam kompetisi global dengan aktifitas membaca buku, berdiskusi dan meminum secangkir kopi.

 

Penulis

Adi Agus Setiawan
Aktivis Bintan Education

Tags
Show More
Kepriwebsite

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close