Uncategorized
Politik Balas Budi Ala Kapitalis
Politik Etis mengawali sejarah dimulainya era pergerakan nasional di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Politik Etis bermula dari kebijakan tanam paksa. Tahun 1830, Johannes van den Bosch yang merupakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu, menetapkan kebijakan tanam paksa atau cultuurstelsel. Ketika aturan ini berlaku, masyarakat Indonesia dipaksa menanam komoditas ekspor demi kepentingan Belanda. Akan tetapi, banyak penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan cultuurstelsel ini.
Kemudian, pada BUMN kembali menjadi sorotan publik. Karena pasalnya, penunjukkan Abde Negara atau yang dikenal dengan nama Abdee-Slank sebagai Komisaris Telkom Indonesia menimbulkan Pro dan kontra yang mewarnai keputusan ini. Politik Etis adalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kolonial Hindia Belanda sejak 17 September 1901. Politik Etis disebut pula sebagai “Politik Balas Budi”.
Mengutip dari media detik.com, Jubir Presiden Fadjroel menyatakan bahwa penunjukkan Abdee Slank sebagai Komisaris Telkom, sesuai dengan jejak profesionalitas. Digitalisasi konten, sebagai keahliannya, cukup mewakili pihak yang pro pada keputusan ini. Di pihak kontra, Ketua DPP PKS Bukhori Yusuf menyebut penempatan Abdee Slank sebagai komisaris hanya akan merugikan Telkom karena latar belakang profesi yang tidak sesuai.
Sebagaimana diketahui, komisaris adalah jabatan profesionalitas yang menentukan nasib rakyat. Mengingat jabatan profesionalitas memegang tampuk kebijakan untuk menyusun dan mengambil keputusan. Sederhananya, hajat hidup masyarakat di tangan pejabat. Meski Mantan Kepala Badan Ekonomi dan Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf telah membeberkan kiprah Abdee “Slank” di dunia bisnis dan berbagai organisasi masyarakat serta pemerintah agar publik mengetahui kompetensinya, namun hal ini tak serta-merta mampu menepis aroma politik balas budi yang cukup menyengat di balik pengangkatannya.
Bentuk Balas Jasa sudah menjadi rahasia umum, di setiap pesta demokrasi, menelan biaya sangat tinggi. Dan pasti, tak ada yang gratis. Semua pihak yang mensukseskan pihak pemenang akan mendapat imbalan. Sistem demokrasi yang mengusung empat pilar kebebasan. Pilar kebebasan modal yakni kapital, lebih dominan dibanding kebebasan agama, akspresi dan berpendapat. Sekalipun demikian, keempat pilar ini saling menunjang. Dalam hal ini, pemenang pesta demokrasi beserta para pendukungnya, akan mendapat keleluasaan mewujudkan keinginan.
Dalam pemilu, hubungan ini juga terjadi. Pemerintah sebagai sosok pemenang pemilu memiliki debt atau utang kepada pihak yang berkontribusi pada kemenangannya. Bentuk bayaran utang tersebut dapat berupa peningkatan status sosial dan jabatan. Jika dilihat dari konsep clientism, bisa jadi jabatan komisaris merupakan bentuk bayaran debt Jokowi kepada Abdee.
Hal ini mengingat kontribusi Abdee sebagai relawan Jokowi dalam melakukan kampanye melalui pergelaran musik dan lagu. Dan sebagai relawan Jokowi, Abdee bukan orang pertama yang memperoleh posisi strategis di BUMN. Pada Desember 2020, sebanyak 18 relawan Jokowi masuk dalam jajaran BUMN. Beberapa di antaranya juga dikritik karena dianggap tidak memiliki kompetensi.
Pemberian jabatan sebagai ucapan terima kasih, balas jasa, balas budi, bukanlah hal aneh dalam dunia politik berbalut sekularisme kapitalistik. Asas politik sekuler adalah manfaat (bagi pejabat), bukan maslahat (demi rakyat). Tujuan politiknya untuk meraih jabatan, kekuasaan dan keuntungan itu sendiri. Dan saat jabatan telah didapat, dipergunakan untuk mengembangkan dan meraih kekuasaan yang lebih banyak dan lama.
Maka, siapa pun yang dinilai berkontribusi bagi naiknya seseorang ke singgasana jabatan, ia “berhak” menikmati bagian kue kekuasaan. Terlepas apakah ia berkompeten atau tidak. Sebagaimana pendapat pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, bahwa Abdee tidak memiliki kapasitas yang berkaitan pada bidang tersebut. Begitulah realitas yang terjadi. Politik balas budi bukanlah asumsi, bahkan di fasilitasi dalam sistem demokrasi.
Menganut kebebasan tak berbatas, tentu demokrasi “mengizinkan” penguasa untuk memilih teman satu barisan mendapatkan jabatan strategis. Oleh karena itu, jargon kekuasaan di tangan rakyat dalam demokrasi hanyalah omong kosong. Karena sekali lagi penguasa diangkat bukan sebagai pelayan rakyat yang sepenuh hati mengelola urusan masyarakat. Namun sekadar melayani sang tuan atau berbagi pundi-pundi dengan kawan yang ada dalam satu lingkaran.
Hal tersebut terdapat adanya dampak politik balas budi yang awal kebijakan Politik Etis memang terlihat menguntungkan rakyat Indonesia. Akan tetapi, dalam perjalanannya terjadi penyimpangan Politik Balas Budi yang dilakukan oleh orang-orang Belanda. Dampak Negatif Dalam program irigasi, upaya pengairan yang ditujukan untuk aktivitas pertanian tidak berjalan mulus.
Air yang disalurkan ternyata hanya untuk orang-orang Belanda, sedangkan kaum pribumi seakan dipersulit sehingga menghambat kegiatan pertaniannya. Berikutnya, dalam program edukasi, pemerintah kolonial Hindia Belanda ternyata punya niatan buruk. Mereka ingin memperoleh tenaga kerja dengan kualitas SDM tinggi namun dengan upah rendah. Program edukasi yang awalnya ditujukan untuk semua golongan, pada kenyataannya didominasi oleh orang-orang kaya atau dari kalangan bangsawan saja sehingga terjadi diskriminasi dalam hal pendidikan.
Dampak Positif Meskipun terjadi penyelewengan yang menimbulkan dampak negatif, Politik Etis setidaknya juga menghadirkan beberapa dampak positif bagi bangsa Indonesia. Diterapkannya Politik Etis memicu lahirnya berbagai organisasi pergerakan dan perhimpunan yang bersifat daerah maupun nasional di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij, dan lain-lain. Program edukasi yang diberikan dalam Politik Etis melahirkan kaum terpelajar dari kalangan pribumi. Mereka inilah yang kemudian mengawali era pergerakan nasional dengan mendirikan berbagai organisasi yang berjuang melalui pemikiran, pengetahuan, hingga politik.
Nantinya, berbagai organisasi pergerakan ini berganti wujud menjadi partai politik yang memperjuangkan kesetaraan atau merintis upaya kemerdekaan bagi Indonesia. Politik Etis berakhir ketika Belanda menyerah dari Jepang tahun 1942 dalam Perang Asia Timur Raya atau Perang Dunia Kedua. Tahun 1945, giliran Jepang yang kalah di Perang Dunia Kedua sehingga membuka peluang bagi bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Oleh :
IIP ILHAM FIRMAN, S.I.P., M.Si
Dosen Stisipol Raja Haji Tanjungpinang