Uncategorized
Menyoal Transisi “New Normal” dan Kolaborasi Antar Aktor
Sejak awal kumunculannya hingga dinyatakan menjadi pandemi, dampak Covid-19 sangat luar biasa pada berbagai sektor kehidupan di masyarakat. Berdasarkan data dari WHO tertanggal 13 Juni 2020, terdata kasus pandemi Covid-19 ada di 216 negara, 7.553.182 kasus terkonfirmasi, dan 423.349 kasus yang meninggal.
Sedangkan data perkembangan pandemi Covid-19 di Indonesia berdasarkan data dari gugus tugas, terdata ada 37.420 kasus yang terinfeksi, 13.776 kasus sembuh, dan 2.091 kasus meninggal. Penambahan kasus di Indonesia ini juga dibarengi dengan penambahan kluster baru penyebaran Covid-19, baik berbasis wilayah maupun aktivitas masyrakat.
Berbagai upaya untuk menghadapi pandemi Covid-19 pun terus dilakukan, seperti karantina rumah, isolasi mandiri, karantina fasilitas khusus, karantina rumah sakit, dan karantina wilayah. Secara nyata Covid-19 menjadi realitas penyakit yang mengubah struktur sosial masyarakat. Perilaku sosial berubah, begitu pun kohesi sosial. Mulai dari cara, kebiasaan, tata kelakuan, dan adat istiadat pun turut beradaptasi.
Walaupun upaya – upaya menghadapi pandemi Covid-19 sudah dilakukan namun belum mamu menjawab pertanyaan masyarakat mengenai sampai kapan masyarakat dengan berbagai sektor kehidupannya harus hidup dalam masa ketidakpastian, ketidaknyamanan dan ketidakamanan dari situasi pandemi, sebab hingga saat ini belum ada data valid yang mampu menunjukkan akhir cerita pandemi ini. Mengingat saat ini pun belum ditemukan vaksin atau obat untuk penyembuhan para korban yang terinfeksi Covid-19. Bahkan para ahli masih memprediksi adanya kasus ini hingga tahun depan.
Dengan berdasarkan belum adanya titik ujung ini, maka dalam upaya menjawab situasi dan kondisi yang terjadi pemerintah menggaungkan mengenai tatanan kehidupan normal baru atau new normal yang dicetuskan menjadi alternatif exit strategy. Tatanan new normal diartikan sebagai transformasi perilaku hidup di masyarakat untuk tetap menjalankan aktivitas normal namun dengan menerapkan protokol kesehatan sampai ditemukannya vaksin yang dapat menyembuhkan para korban yang terinfeksi Covid-19. Dengan bahasa lainnya yaitu hidup berdampingan dengan pandemi.
Terlepas dari perdebatan istilah, New normal dimaksudkan agar berbagai sektor kehidupan yang tadinya tersendat bahkan berhenti, dapat (sedikit) bergerak kembali. New normal yang dimaksud yakni menitikberatkan perubahan budaya masyarakat untuk berperilaku hidup sehat di tengah pandemi Covid-19 atau beradaptasi dengan Covid-19. Padahal kasus Covid-19 di Indonesia sendiri sampai saat ini masih belum terlihat ujungnya. Saat penerapan new normal, beberapa sektor kegiatan yang tadinya ditutup diindikasi akan dibuka kembali.
Dengan kata lain, adaptasi hidup darurat pandemi sebagai upaya meredam laju tingkat kerentanan sosial di masyarakat yang tidak menentu. Kerentanan sosial menjadikan posisi ketahanan masyarakat mengalami guncangan akibat pandemi Covid-19. Ketahanan masyarakat ini berkaitan dengan kemampuan masyarakat untuk dapat menggunakan sumber daya yang tersedia (seperti, teknologi, makanan, pekerjaan, dan rasa aman-nyaman) dalam memenuhi kebutuhan dasar dan menjalankan fungsi sosialnya. Namun kondisi saat ini justru menjadikan ketahanan masyarakat mengalami kerentanan sosial. Kerentanan sosial membuat produktivitas menurun, mata pencaharian terganggu, serta munculnya gangguan kecemasan sosial di masyarakat.
Dampak kerentanan sosial dapat membuat masyarakat melakukan berbagai tindakan tindakan yang akan memperburuk keadaan, seperti tindakan apatis, tindakan irasional, bahkan tindakan kriminal. Pertama, berkaitan dengan tindakan apatis yang dapat terlihat pada tindakan masyarakat yang tidak peduli dengan instruksi untuk menjalankan protokol kesehatan. Kedua, tindakan irasional yang terlihat dari adanya tindakan panic buying, pengucilan pasien dan keluarga yang positif, hingga bunuh diri karena merasa “positif covid-19” berarti aib. Ketiga, tindakan kriminal seperti pencurian, penjambretan, pencopetan, pemalakan, penjarahan, bahkan pembunuhan yang dikhawatiran akan terjadi sat perekonomian masyarakat terus tertekan.
Penerapan new normal ini tak lepas dari munculnya polemik. Satu sisi dianggap akan meningkatkan kasus Covid-19 dan lain sisi menjadi upaya meredam tingginya kerentanan sosial yang terjadi di masyarakat. Bahkan ada indikasi bahwa new normal sebagai upaya menyamarkan ketidakmampuan negara untuk mengatasi pandemi Covid-19. Indikasi ini munculnya dikarenakan, banyak yang berpendapat bahwa transisi new normal yang saat ini dijalankan cenderung terlalu terburu-buru padahal kasus penyebaran di Indonesia belum mampu dikendalikan.
Tatanan New normal seharusnya direncanakan secara komprehensif. Sebab penerapan new normal seperti pisau bermata dua, bisa menguraikan masalah dan sebaliknya menambah masalah. Protokol kesehatan dapat dengan mudah dirumuskan, namun belum tentu realitas pelaksanaannya dilapangan mudah dilakukan. Maka untuk itu berbagai kajian multidisiplin ilmu perlu menjadi pertimbangan pemerintah dalam menerapkan kebijakan new normal. Penerapan new normal dapat berkaca pada pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tidak sedikit pelanggaran protokol kesehatan terjadi, dan pelanggaran itu sudah dianggap hal biasa oleh masyarakat seperti masih banyak yang tidak menggunakan masker, tidak membiasakan mencuci tangan, dan masih banyak lagi.
Bahkan dari berbagai media baik cetak ataupun online, sudah banyak yang menyoroti pelanggaran protokol kesehatan di masa transisi new normal, bahkan pelanggaran yang terjadi tersebut cenderung lebih tinggi. Pelonggaran PSBB yang dilakukan tersebut membuat justru mendorong apatisnya sikap masyarakat terhadap protokoler kesehatan.
Setidaknya hal yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah saat menerapkan kebijakan new normal, yaitu: seperti apa aktivitas kehidupan masyarakat yang sesuai protokol kesehatan; bagaimana kemampuan negara dalam melakukan pengawasan; bagaimana tingkat manfaat dan kerugian dari kebijakan ini; bagaimana tingkat kesadaran dan disiplin masyarakat; bagaimana sarana dan prasarananya; bagaimana pola manajemennya; dan bagaimana tindakan responsif saat terjadi peningkatan kasus.
Mengubah cara pandang masyarakat atas situasi dan kondisi yang terjadi saat ini, harus terus dilakukan. Transisi new normal tentu akan menimbulkan cultural shock di masyarakat. Sebab kehidupan yang tidak biasa dilakukan, harus dilakukan sebagai cara hidup baru. Sarana dan prasarana secara mutlak harus disediakan, dilengkapi juga dengan sumber ekonomi bagi masyarakat perlu dicarikan alternatifnya, serta jaring pengaman sosial harus tetap konsisten dijalankan. Dan tidak kalah pentingnya yaitu kolaborasi aktif pemerintah dan masyarakat.
Jika skenario new normal menjadi pilihan agar negara tidak semakin terpuruk, maka kolaborasi dari semua pihak menjadi syarat wajib. Tidak hanya pemerintah, tetapi masyarakat pun harus menjalankan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan. Jika tidak ada kolaborasi, kasus terinfeksi Covid-19 akan semakin parah peningkatannya seperti yang diprediksi oleh para ahli kesehatan.
Kolaborasi aktif ini akan terbangun, dengan pemerintah sebagai aktor utama harus komitmen dalam menjalankan perannya. Kebijakan pemerintah senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Langkah – langkah secara terencana dan konsisten patut dilakukan. Langkah yang ditempuh ini juga harus di edukasi kepada masyarakat secara aktif agar masyarakat paham akan keadaan yang sebenarnya dan memiliki rasa tanggungjawab yang sama untuk menyelamatkan sesama.
Untuk meningkatkan rasa kepercayaan antar aktor dalam terciptanya kolaborasi, maka pemenuhan perlindungan sosial, jaminan sosial, maupun pelayanan sosial menjadi hal mutlak. Masyarakat akan berkolaborasi aktf karena negara hadir dan peduli. Jangan salahkan masyarakat jika kolaborasi tidak terbangun maksimal.
Sebab mereka saja memikirkan nasibnya karena merasa tidak aman dalam situasi dan kondisi pandemi saat ini, merasa bingung akan kebijakan yang terus berubah-ubah sebelum “ter-distribusi” optimal di masyarakat. Ditambah lagi mereka harus memikirkan bagaimana harus memenuhi kebutuhan pokok keluarganya, bagaimana membayar hutang piutang, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu negara harus hadir secara nyata karena negara memiliki banyak akses sumber daya.
Kebijakan publik pun harus dirumuskan dengan berpihak pada situasi dan kondisi masyarakat. Bukan justru kebijakan publik yang menambah beban bagi masyarakat atau bahkan terus membingungkan masyarakat. Dengan negara membangun kepercayaan, maka kolaborasi akan menjadi sebuah keniscayaan sebagai respon dalam tatanan “New Normal”.
Oleh :
Rahayu Mei Widyastuti
Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji