
Jakarta
Banjir Rob Ancam 16 Wilayah Pesisir Indonesia: BMKG Keluarkan Peringatan Dini untuk April 2025
Jakarta, 16 April 2025 – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) kembali mengeluarkan peringatan dini terkait potensi banjir rob atau limpasan air laut di 16 wilayah pesisir Indonesia. Peningkatan tinggi pasang air laut akibat fase bulan baru yang terjadi antara 17 hingga 25 April 2025 diperkirakan memperbesar risiko genangan air di kawasan pantai, pelabuhan, hingga pemukiman padat di garis pantai.
Menurut Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, banjir rob bukan hanya mengganggu aktivitas masyarakat pesisir, namun juga berpotensi merusak infrastruktur, memutus jalur logistik, hingga berdampak pada ketahanan pangan di beberapa wilayah.
16 Wilayah Pesisir yang Terancam Banjir Rob
BMKG merilis daftar wilayah yang diprediksi mengalami banjir rob secara berkala selama 9 hari ke depan. Wilayah tersebut antara lain:
Pesisir Utara Jakarta dan Tangerang
Pesisir Semarang dan Demak (Jawa Tengah)
Pesisir Surabaya dan Gresik (Jawa Timur)
Pesisir Makassar (Sulawesi Selatan)
Pesisir Banjarmasin (Kalimantan Selatan)
Pesisir Tarakan (Kalimantan Utara)
Pesisir Palembang dan Banyuasin (Sumatera Selatan)
Pesisir Medan dan Belawan (Sumatera Utara)
Pesisir Padang dan Pariaman (Sumatera Barat)
Pesisir Kupang dan Larantuka (NTT)
Pesisir Jayapura dan Sorong (Papua)
Pesisir Ambon dan Tual (Maluku)
Pesisir Manado (Sulawesi Utara)
Pesisir Cirebon dan Indramayu (Jawa Barat)
Pesisir Pontianak (Kalimantan Barat)
Pesisir Bengkulu dan Lampung
Wilayah-wilayah tersebut diketahui memiliki ketinggian pasang yang rentan dipengaruhi bulan baru, aktivitas angin baratan, dan fenomena gelombang tinggi yang kini sedang aktif di wilayah Laut Jawa dan Samudera Hindia bagian selatan.
Penyebab Banjir Rob: Kombinasi Alam dan Ulah Manusia
Banjir rob secara teknis terjadi ketika air laut meluap ke daratan, umumnya akibat pasang maksimum yang bersamaan dengan faktor-faktor meteorologis lain seperti gelombang tinggi atau tekanan rendah.
Namun, banyak ahli menyebut bahwa banjir rob juga diperparah oleh ulah manusia. Faktor seperti:
Penurunan muka tanah (land subsidence) akibat eksploitasi air tanah berlebihan,
Reklamasi pantai yang tidak ramah lingkungan, dan
Rusaknya ekosistem mangrove
semakin mempercepat intrusi air laut ke daratan.
Di Jakarta Utara, misalnya, rata-rata penurunan tanah mencapai 10-15 cm per tahun, jauh lebih cepat dibandingkan naiknya permukaan laut global yang sekitar 3-5 mm per tahun.
“Kalau tidak ada intervensi serius, dalam 10-15 tahun ke depan, sebagian wilayah pesisir Indonesia akan permanen tergenang air laut,” ujar Dr. Irwan Arif, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Dampak Sosial dan Ekonomi: Dari Nelayan Hingga Pelabuhan
Banjir rob tidak hanya soal genangan air sementara. Dampaknya bisa panjang dan kompleks:
Nelayan kecil tidak bisa melaut karena dermaga dan perahu mereka tergenang.
Aktivitas pelabuhan dan distribusi logistik terganggu karena banjir di area pergudangan dan jalan akses.
Pasar tradisional di dekat pantai, seperti Pasar Ikan Muara Baru atau Pasar Cinde Palembang, terpaksa tutup karena tergenang.
Rumah warga pesisir mengalami kerusakan dinding, lantai, bahkan mengalami korsleting listrik berulang.
Di Semarang, banjir rob tahunan bahkan telah memaksa sebagian warga Tambaklorok untuk pindah rumah atau meninggikan rumah mereka hingga satu meter.
“Kalau lagi rob, air bisa semata kaki sampai pinggang. Sudah biasa, tapi capek juga kalau tiap bulan begini,” kata Pak Sastro, warga Tambakrejo, Semarang.
Langkah Mitigasi Pemerintah: Masih Setengah Jalan?
Pemerintah pusat dan daerah telah melakukan beberapa inisiatif untuk menanggulangi banjir rob, antara lain:
Pembangunan tanggul laut raksasa (giant sea wall) seperti di Jakarta.
Revitalisasi hutan mangrove, khususnya di pesisir utara Jawa dan Kalimantan.
Pembangunan pompa air otomatis dan sistem drainase tertutup.
Edukasi warga agar tidak mengeksploitasi air tanah secara berlebihan.
Namun, para ahli menilai banyak proyek tersebut masih terfragmentasi dan minim koordinasi antar sektor.
“Kalau hanya tanggul tanpa perbaikan sistem drainase dan pengelolaan air tanah, itu seperti menambal ban bocor dengan selotip. Harus ada pendekatan sistemik,” kata Ridwan Yusuf, ahli tata kota dari UGM.
Peran Komunitas Lokal dan Inovasi Adaptif
Meski pemerintah memegang peran utama, di banyak daerah pesisir, warga mulai melakukan inovasi adaptif sendiri:
Di Demak, warga membuat rumah panggung dan jembatan kayu terapung untuk aktivitas harian.
Di Makassar, komunitas nelayan menggunakan aplikasi prediksi pasang-surut berbasis Android untuk merencanakan waktu melaut.
Di Padang, komunitas lingkungan menghidupkan kembali sabuk hijau mangrove dengan menanam 10.000 bibit per tahun.
Langkah-langkah kecil ini dinilai lebih cepat dan kontekstual dibanding menunggu proyek besar pemerintah yang kerap tersendat anggaran.
Antisipasi Warga: Apa yang Harus Dilakukan?
BMKG menyarankan masyarakat pesisir untuk:
Memantau informasi prakiraan pasang surut dari situs resmi BMKG atau aplikasi mobile.
Menghindari aktivitas di pantai dan pelabuhan saat waktu puncak pasang (biasanya pagi dan malam).
Mengamankan dokumen penting dan alat elektronik ke tempat yang lebih tinggi.
Menghubungi BPBD jika terjadi genangan parah atau membutuhkan evakuasi.
Membentuk kelompok siaga bencana lokal, terutama di RT/RW yang sering terdampak.
Banjir rob bukan lagi fenomena musiman semata, tetapi telah menjadi bagian dari risiko harian hidup di pesisir. Dengan perubahan iklim yang mempercepat kenaikan permukaan laut dan aktivitas manusia yang memperburuk penurunan tanah, banjir rob di masa depan dikhawatirkan akan semakin sering dan parah.
Langkah mitigasi harus dilakukan secara sistemik, cepat, dan melibatkan berbagai pihak. Pemerintah, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat perlu duduk bersama membentuk solusi jangka panjang.
Hidup di pesisir bukan kutukan, tapi tantangan yang harus dikelola dengan cerdas.