Pendidikan
Tugas Berat Panglima Tertinggi Dalam Mengatasi Isu Panas Dalam TNI
Pada 17 November 2020 lalu, telah resmi dilantik Jenderal TNI Andika Perkasa Menjadi Panglima TNI menggantikan Marsekal TNI Hadi Tjahjanto yang memasuki masa pensiun pada Bulan November 2021. Jenderal Andika merupakan calon tunggal yang diusulkan oleh Presiden RI Joko Widodo kepada DPR RI. Sekilas tentang Panglima TNI yang baru, pada 8 Agustus 2020, Andika Perkasa resmi menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) yang mana sebelum mencapai posisi tertinggi TNI, Ia memulai karirnya sebagai Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang mana kerap bertugas di Satuan-81 Penanggulangan Teror dan Grup 3 Sandhi Yudha. Dirinya juga pernah terlibat dalam operasi Timtim (Timor Timur pada tahun 1990, operasi teritorial di TimTim pada 1992, dan operasi bakti TNI di Aceh tahun 1994. Bukan saja mengenyam pendidikan di Angkatan Militer RI angkatan 1987, Jenderal Andika juga belajar ke Negeri Paman Sam, Amerika Serikat untuk mempelajari berbagai bidang keilmuan dan berhasil meraih gelar sarjana ekonomi hingga doktor di George Washington University, Amerika Serikat. Pria yang lahir pada 21 Desember 1964 ini juga mempelajari pendidikan militer di institusi ternama di Amerika macam The Military College of Vermont, Norwich University, dan National Defense University.
Menaikan nama Jenderal Andika Perkasa ke jabatan tertinggi bukanlah tanpa pertimbangan Presiden. Joko Widodo mengemukakan jika Jenderal TNI bukan permasalahan pada usia, namun terdapat perhitunganya dari sisi pengalaman, rekam jejak, juga tingkat pendidikanya. Kemudian, Jendral Perkasa kemudian dipercaya untuk mengisi kursi jabatan yang akan bertanggung jawab penuh atas keamanan dan pertahanan negara. Terlepas dari latar belakang Panglima TNI ini, dirinya harus mampu menyelesaikan permasalahan yang tengah dihadapi dalam tubuh TNI itu sendiri. Terdapat dua isu utama yang cukup panas sehingga ini akan menjadi tantangan bagi Sang Jenderal untuk wajib menyelesaikannya dalam rangka memperkuat TNI dan mensolidkan hubungan para anggotanya. Belakangan ini, TNI tengah diterpa isu mengenai aparat-aparatnya yang kerap bersinggungan dengan aparat dari kepolisian. Seperti kasus yang terbaru adalah konflik adu jotos antara aparat dari kedua intantasi tersebut. Kasus ini bermula ketika dua orang anggota polisi berinisial ZL dan NS tengah melakukan penegakan hukum terhadap pengendara dengan menggunakan motor tanpa dilengkapi dengan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (Plat Nomor/TNKB). Karena ia tidak mampu menunjukan baik Surat Izin Mengemudi (SIM) maupun Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), kemudian ia digiring ke pos.
Pengendara ini kemudian merasa tidak diterima karena motornya disita oleh polisi hingga akhirnya ia menghubungi BK yang mana merupakan prajurit dari satuan Provost Kodam XVI Pattimura. Selanjutnya, BK mendatangi kedua aparat kepolisian tersebut lalu memaki NS dan ZL. Perdebatan yang dilakukan antara ketiga anggota ini kemudian semakin memanasi hingga berlanjut dengan aksi pemukulan BK ke NS. Aksi ini kemudian viral dan menjadi perhatian masyarakat setempat. Informasi tersebut kemudian sampai kepada Polres Ambon dan Kodam Pattimura dan langsung turun tangan untuk menyelesaikan permasalahan masing-masing anggotanya. Proses mediasi dilakukan di Polisi Militer (Pomdam) Kodam XVI/Pattimura dengan berakhir damai dan saling memaafkan. Namun, Kabid Humas Polda Maluku, Kombes Pol Mohammad Roem Ohoirat menegaskan bahwa ketiganya akan diproses secara hukum yang berlaku khususnya pada kedua anggota kepolisian di Polres Ambon dan seorang anggota TNI yang diproses oleh Propam Kodam Pattimura. Ketiganya akan diproses sesuai dengan kode etik kedisiplinan masing-masing instansi.
Isu diatas merupaka salah satu bagian dari 19 kejadian konflik yang terjadi selama dua tahun terakhir. Berulangnya keributan antara kedua instansi yang memiliki tujuan yang sama, yakni menjaga stabilitas keamanan justru mulai terjadi perpecahan di dalam masing-masing tubuhnya. Pergesekan antar oknum kerap terjadi seolah mereka lupa dengan tugas dan tanggung jawab baik sebagai TNI maupun POLRI. Berdasarkan pada penelusuran beberapa sumber jurnal dan media, disebutkan bahwa konflik ini dapat terjadi akibat 2 (dua) hal utama, diantaranya adalah pertama yang mana konflik antara kedua instansi merupakan imbas dari pemerintah yang tidak segera melaksanakan TAP MPR Nomor 7 Tahun 2000 tentang peran TNI dan POLRI sebagai aparat pertahanan kemampuan. Dalam peraturan ini memerintahkan agar pihak TNI tunduk pada peradilan umum. Hanya saja, aturan konkret yang mengatur ketundukan TNI terhadap peradilan tersebut yang akhirnya menjadi biang dari tidak tunduknya TNI pada aturan peradilan umum. Pemerintah seolah-olah masih membiarkan ketiadaan revisi terhadap UU Peradilan Militer, namun konflik antara kedua instansi ini terus berlanjut. Padahal, revisi merupakan kesepakatan bangsa pasca tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998 silam. Disinilah kemudian timbul persepsi bahwa masing-masing merasa memiliki otoritas sendiri, dalam hal ini anggota polisi melaksanakan tugas dan kewajibannya untuk menindak para pelanggar UU, lalu TNI merasa jika mereka hanya dapat ditandai oleh harus sesama TNI.
Pemisahan kewenangan otoritas inilah yang biasanya menjadi bibit-bibit konflik yang kemudian menjadi besar akibat ketidakterimaan salah satu pihak. Selanjutnya, hal kedua adalah kecemburuan antar-aparat. Prajurit TNI merasa cemburu dengan POLRI dari sisi kesejahteraanya. Dalam hal ini, TNI masih dianggap belum sejahtera namun pemerintah justru mengedepankan program lain seperti pembentukan Komando Cadangan yang secara otomatis menomorduakan program prioritas yang sesungguhnya, yakni meningkatkan kesejahteraan TNI sebagai garda terdepan menjaga pertahanan bangsa. Keberadaan slogan ‘SInergitas TNI-POLRI masih belum bisa dilaksanakan dengan baik dan cenderung belum mengakar hingga tingkat yang paling bawah. Sesungguhnya, kedua instansi ini tentunya harus mampu memberikan rasa tenang di hadapan masyarakat. Dalam hal ini, jika kedua instansi saling bersinggungan satu sama lain, maka secara otomatis persatuan mereka terpecah. Fokus terhadap tugas akan terbagi dengan saling menjaga nama baik instansi. Setiap orang saling berbangga diri dengan instansinya. Semua itu hanya akan terus melahirkan konflik-konflik baru yang tidak akan berkesudahan. Faktor pencabutan akar memang sangat tepat untuk dilakukan dalam rangka menghilangkan pertumbuhan konflik baru antara keduanya. Namun, mencari akar inilah yang akan sangat sulit karena ego oknum yang tidak dapat terbendung. Mereka masih sangat kesulitan untuk saling menerima satu sama lain dengan dami. Berikutnya adalah bagaimana nantinya Jenderal Andika mampu mengatasi kesenjangan yang terjadi untuk meminimalisir gesekan hanya karena permasalahan sepele.
Menyatukan pikiran yang berbeda-beda memang merupakan tantangan tersendiri. Menjadikan mereka menjadi satu visi juga bukan perkara yang mudah. Diperlukan suatu usaha yang kuat dalam hal ini aturan untuk kemudian menjadi kebiasaan bagi tiap anggota agar tidak melihat suatu objek berdasarkan pada satu perspektifnya saja. Namun dari segala perspektif. Mereka harus mampu melihat POLRI sebagai rekan kerja, sebagai sahabat, sebagai saudara sebangsa dan setanah air, bukan justru sebaliknya yang tertanam penuh dendam dan curiga. Pihak kepolisian juga tentunya harus berlaku sebaliknya Hal tersebut sudah barang tentu akan mampu menumbuhkan perasaan timbal balik antara dua instansi ini. Selanjutnya adalah, setelah “Sinergitas TNI-POLRI” ini benar-benar terbangun, disana juga diperlukan suatu usaha untuk menjaga usaha tersebut agar dapat bertahan dan berkelanjutan. Penguatan hubungan melalui kebiasaan masih belum cukup mengingat regenerasi akan terus terjadi, pemikiran baru akan datang lagi, dan konflik dapat datang kembali. Diperlukan kekuatan aturan yang benar-benar mengikat kedua instansi ini agar terjaga dengan baik. Revisi TAP MPR Nomor 7 Tahun 2000 menjadi keharusan demi menjaga kondusifitas kedua instansi sebagai pasukan pertahanan dan keamanan negara yang dipercaya oleh masyarakat. Oleh karenanya, dari kedua faktor utama diatas, Jenderal Andika Perkasa memiliki tugas yang cukup berat di pundaknya untuk menyelesaikan permasalahan internal dalam tubuh TNI guna kembali menyolidkan dan menyatukan tenaga dan pikiran para anggota TNI untuk bersama-sama menjaga NKRI.
Isu panas kedua yang masih menjadi permasalahan hingga kini sehingga mengganggu keamanan adalah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua. Eksistensi kelompok ini bermula ketika beberapa oknum menginginkan Papua memisahkan diri dari pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oknum tersebut kemudian membentuk kelompok yang kemudian menyebutnya sebagai Organisasi Papua Merdeka atau OPM yang mana memiliki tujuan pemisahan diri dari pemerintahan Indonesia. Tindakan separatis tersebut dilakukan melalui aksi teror, kekerasan, dan kontak senjata. Pada awalnya, KKB bermula dari sayap militer OPM, yakni Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB). Penyebutan KKB disematkan kepada kelompok ini karena melakukan tindakan sporadis dan pembunuhan secara membabi buta dan pengancaman-pengancaman terhadap penduduk sekitar. Tindakan KKB Papua ini terus berlanjut diikuti dengan jatuhnya korban jiwa mulai dari masyarakat sipil, hingga anggota TNI tidak luput dari tindak kekerasan dan kontak senjata yang mereka lakukan. Beragam mekanisme dalam penanganan kasus ini telah diupayakan seperti pergerakan pasukan TNI yang terkendala dengan beberapa peraturan. Hal ini membuat pasukan TNI tidak memiliki keleluasaan dalam memberantas pasukan KKB ini mengingat tidak terdapat payung hukum yang mengizinkannya. Jika bertindak tidak sesuai aturan, tentunya hal ini akan menjadi masalah baru yang mana pihak yang bertanggung jawab akan dipanggil oleh Komisi I DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk dimintai pertanggungjawaban.
Selain itu, pemenuhan kebutuhan logistik TNI juga perlu diperhatikan mengingat kawasan yang ditinggali oleh KKB merupakan wilayah hutan dengan berbukit-bukit. para anggota tentunya perlu untuk bertahan hidup di situasi yang cukup berat di samping susu rendah yang mengintai. Hal ini berbeda dengan KKB yang telah lebih dahulu dan lebih lama dalam beradaptasi dengan suhu ekstrim, memakan makanan vegetasi dari hasil hutan sehingga membuatnya mampu bertahan hidup. Selain itu, mereka juga lebih paham medan disana yang membuatnya walaupun dengan jumla pasukan tidak lebih dari 150 orang, namun mereka mampu memberikan perlawanan terhadap TNI, juga memberi ancaman terhadap para warga yang menolak ajakan dan keberadaan mereka. Selanjutnya adalah terdapat operasi opini media, khususnya media sosial yang cukup masif ditunjukan oleh KKB. Mereka menebar ancaman sebagaimana perlakuan teroris yang meneror masyarakat. Dalam pesan berantai mereka mengemukakan bahwa akan menghabisi Warga Negara Indonesia yang berada di tanah Papua. Ancaman ini tentunya wajib disikapi dengan serius oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini TNI. Mereka harus mampu menciptakan situasi yang aman dan nyaman bagi masyarakat Indonesia di Papua. KKB merupakan kelompok teroris sebagaimana pemerintah telah melabeli kelompok ini pada 22 April 2021 silam. Oleh karenanya, tindakan yang masif dalam mengatasi para KKB yang mana TNI-POLRI akan memiliki peran yang krusial untuk saling berkolaborasi memberantas para teroris di daerah Papua tersebut.
Tindakan berikutnya adalah penindakan tegas oleh pemerintah terhadap oknum yang menyebarkan atau mempropagandakan teroris yang mana menggunakan media sosial sebagai aksi kejahatannya. Sebagaimana diketahui bahwa admin oknum yang menyebarkan propaganda melalui media sosial ini masih bebas memainkan opini untuk menakuti masyarakat. Permasalahannya adalah pembiaran oknum yang memainkan opini tersebut. Dapat dipahami jika Pasal 13a dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 dapat digunakan dalam menjatuhi pidana pada siapapun yang turut dalam penyebaran, permufakatan jahat, melakukan tindakan propaganda organisasi teroris. Hanya saja, cakupan dunia digital cukup luas dan akan sangat sulit melakukan screening maupun tracking terhadap oknum tersebut. Penguatan keamanan dan patroli siber diperlukan dalam rangka menciptakan situasi yang kondusif dan menangkal kabar-kabar yang mampu menyebabkan ketakutan maupun konflik di tengah masyarakat. Permasalahan yang juga ditemui adalah penggalangan tokoh lokal dimana tidak sedikit pejabat maupun tokoh agama yang andil dalam membela KKB tersebut. Ini dibuktikan dengan beberapa pemberitaan media kredibel yang menunjukan para tokoh yang cukup memiliki pengaruh masyarakat justru lebih membela KKB ketimbang NKRI. Hal ini tentunya dikhawatirkan dapat berpengaruh pada masyarakat Papua yang dipengaruhi oleh mereka untuk andil dalam perjuangan para OPM dalam rangka menegakan gerakan separatis mereka untuk menjadi negara yang merdeka. Secara tidak langsung, masalah-masalah di atas akan memicu ketakutan dan rasa tidak aman bagi masyarakat Papua karena aksi kriminal KKB masih belum diredam, bahkan korban masih terus berjatuhan, kontak senjata yang menyerang masyarakat masih belum berhenti. Ini juga sangat mempengaruhi pembangunan infrastruktur di papua mengingat perasaan was was para pekerjanya yang tidak dapat disembunyikan. Mereka tidak ingin menjadi bagian dari korban kejahatan para pasukan separatis tersebut. Ini pula yang menjadi bagian dari tugas berat TNI dalam memberantas isu Papua yang masih belum berakhir.
Diperlukan suatu terobosan dan dukungan dari pemerintah secara penuh guna memberikan luang bagi Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa untuk menumpas tuntas secara cepat dan optimal, memberikan rasa aman dan tenang kepada masyarakat Papua khususnya dan Indonesia pada umumnya guna menanggulangi aksi terorisme bukan saja KKB, namun juga teroris radikal lainnya. Sesungguhnya terdapat banyak isu-isu yang perlu ditangani oleh Panglima TNI yang baru ini, namun kedua isu diatas merupakan yang paling penting dan urgen untuk segera ditindaklanjuti. Perpecahan antar aparat akan menyebabkan perlambatan dalam mengeksekusi tugas. Disinilah peran Jenderal Andika diperlukan dalam rangka menciptakan situasi yang menyejukan agar tugas-tugas negara sepert masalah keamanan dan pertahanan dapat didahulukan ketimbang permasalahan pribadi mereka. Oknum KKB adalah ancaman bangsa ini yang sejak lama telah dan diperlukan tindakan tegas pemerintah melalui perangkat TNI-POLRI itu sendiri. Namun jika keduanya tidak mampu membangun sinergitas yang satu, maka fokus mereka akan terbagi dan ancaman keamanan akan lebih mudah masuk jika keduanya tidak saling menguatkan satu sama lain. Kedua isu ini akan menjadi tantangan berkut tugas yang sangat berat bagi Panglima TNI, Jenderal Andika Perkasa selama periode jabatanya hingga tahun depan hingga memasuki usia pensiunnya pada tahun 2022 nanti, atau Ia memiliki waktu 13 bulan sejak dilantik untuk meneruskan tampuk kepemimpinan berikut juga segudang permasalahan yang dibawah oleh Panglima TNI sebelumnya guna segera membawa negara ini pada tingkat keamanan dan kenyamanan yang tinggi dan berkelanjutan. Oleh karenanya, terdapat 270 juta masyarakat Indonesia yang akan mempercayakan tugas tersebut di pundak para pasukan TNI juga POLRI untuk menjaga kepercayaan tersebut melalui tindakan-tindakan yang positif bagi keamanan dan kondusifitas negeri ini dan mengesampingkan tindakan ego yang dianggap dapat merugikan kedua belah instansi juga negara.
Penulis
[ Muhammad Rifan Nawawi ]
Mahasiswa Stisipol Raja Haji Tanjungpinang