Opini
“Politik Lompat Pagar” ala Rahma
Fenomena lompat partai sebagaimana yang dilakukan oleh rahma wakil walikota Tanjungpinang bukan hal yang aneh di sistem demokrasi suara terbanyak seperti saat ini. Partai memang menjadi kendaraan untuk mencapai sebuah tujuan politik dan kepentingan.
Yang menjadi agak kurang terbiasa di mata masyarakat Kepulauan Riau khususnya Tanjungpinang, Rahma berpindah partai dalam kurun waktu yang cukup singkat, mulai dari Hanura, kemudian PDIP, lalu Golkar dan saat ini ke Nasdem.
Kalau diamati fenomena politik lompat pagar yang dilakukan oleh Rahma selalu ada target politik yang ingin diraih, mulai dari target menjadi anggota legislatif tercapai di PDIP, lalu berpindah ke Golkar untuk meraih posisi wakil walikota, dan bisa saja pindahnya ke Nasdem karena mengincar posisi sebagai wakil gubernur atau bahkan gubernur Kepri, yang sangat tidak mungkin di raih jika rahma tetap bertahan di golkar, karena akan bersaing dengan Ketua DPD Golkar Kepri Ansar Ahmad yang juga berkemungkinan ikut dalam kontestasi pilgub 2020 nanti.
Bukan hal baru juga bagi Nasdem menampung politikus-politikus yang sudah punya jabatan strategis baik di eksekutif dan legislatif, karena menjadi salah satu cara instan untuk memperkuat posisi partai nasdem dalam percaturan politik nasional. Sebelumnya juga Gubernur Kepri Non Aktif mendapatkan posisi sebagai Ketua Nasdem Kepri tanpa harus menjadi kader dari tingkat paling bawah.
Peristiwa lompat pagar kader parpol seperti rahma bisa menjadi pelajaran bagi Parpol lainnya yang lemah menanamkan nilai2 ideologi partai. Idealnya parpol melakukan kaderisasi bagi anggotanya mulai dari tingkat dasar sampai dengan jenjang karir yang konsisten. Dan tidak memberi ruang kepada politikus lompat pagar yang hanya menjadikan partai sebagai kendaraan semata. Karena jika parpol mengakomodir lompat pagar, bisa2 parpol akan ditinggalkan oleh kader yang militan.