Opini
Jembatan Babin: Antara Janji Kampanye, Ilusi dan Ambisi
Rencana pembangunan infrastruktur yang maha megah yakni jembatan di Kepulauan Riau nampaknya menjadi impian semua kepala daerah yang berkuasa di Kepri sejak 2004.
Rencana jembatan yang akan dibangun dari Batam ke Tanjunguban, Pulau Bintan (Babin) lebih kurang 5 kilometer. Dengan anggaran lebih dari Rp4-5 triliun. Atau lebih besar dari APBD Kepri saat ini Rp3,9 triliun di 2020.
Sejauh ini, sejak 2004 ternyata pemerintah pusat belum pernah siap melakukan studi kelayakan jembatan yang hendak dibangun. Isu pembangunan jembatan selalu menjadi jualan saat pilkada. Setidaknya dari pilkada 2005, 2010, 2015 hingga 2020. Atau nanti masih jadi wacana hingga pilkada 2024.
Pernah berdiskusi dengan politisi senior DPR RI yang duduk di Badan Angggaran, saya tanyakan mengapa jembatan Suramadu yang menghubungkan Pulau Madura dengan Surabaya bisa dibangun? Sedangkan Jembatan Babin studi kelayakan saja belum dibuat sampai saat ini?
Sang politisi senior itu mengatakan, “Di Banggar waktu itu hanya saya sendiri dari Kepri, sementara Jawa Timur banyak anggota Banggar dari partai lain. Mereka kompak menyetujui anggaran jika untuk daerah mereka. Sementara untuk di Kepri akan mentah jika alasan pemerintah tidak kuat ketika menjawab pertanyaan teman teman Banggar,” ujarnya memberikan alasan. Tapi bukan anggota Banggar saat ini. Waktu itu 2009.
Rasa ego sektoral terkadang masih terbawa bawa di DPR. Bahkan pemerintah lebih jelas lagi akan membangun jembatan yang panjang menghubungkan Provinsi Bangka Belitung dengan Sumsel. Inilah jembatan yang diperkirakan akan panjang 13 kilometer jika jadi dibangun 2020. Dana yang akan dialokasikan Rp15 triliun. Jembatan itu akan jadi penghubung Sumsel-Babel tersebut dimulai dari Desa Tanjung Tapah, Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan akan tembus ke Bangka Tengah.
Mengapa isu jembatan di Babel lebih didahulukan untuk dieksekusi dibandingkan dengan jembatan Babin di Kepri? Tapi ini juga belum tentu dibangun karena kondisi ketidakpastian ekonomi dunia. Utang negara juga cukup besar.
Lagi lagi, penduduk di Sumatera Selatan dengan Babel lebih banyak dibandingkan dengan Kepri. Jika ada jembatan, arus barang, investasi, perdagangan, hingga pariwasata dapat terdongkrak cepat. Jika selama ini antarprovinsi bermasalah soal transportasi laut, maka dengan adanya jembatan akan memperoleh kemudahan akses yang cepat.
Tak ada lagi hambatan arus barang dan tentunya memperpendek rentang kendali antara Palembang dengan Bangka Belitung. Dulunya memang satu provinsi. Manfaat jembatan untuk koneksi dua provinsi itu saat ini rasanya penting. Dibandingkan arus barang dari Bintan ke Batam atau sebaliknya. Kalau pun penting, mungkin bukan di tahun 2020 atau 2022.
Contoh pembangunan jembatan yang disebut terpanjang di atas air di dunia adalah jembatan sepanjang 55 kilometer yang dibangun antara Hongkong dan Makau.
Jembatan itu dibangun dengan harapan membuka pertukaran lebih besar dalam ekonomi dan perdagangan dan meningkatkan daya saing Delta Sungai Pearl.
Jembatan itu akan membantu Hong Kong dan Macau diintegrasikan dengan China daratan guna memberikan landasan yang baik untuk pengembangan “Greater Bay”, sebagai pusat ekonomi dengan yang digerakkan oleh Hong Kong, Makau, dan sembilan kota China Daratan. Penduduk di kawasan ini berjumlah 68 juta yang diharapkan bisa menjadi Silicon Valley di Amerika atau model di Jepang.
China memperkirakan akan ada 9.200 kendaraan yang lalu lalang melewati jembatan itu setiap hari. Sehingga diprediksi tak butuh waktu lama untuk mengembalikan modal Rp23 triliun guna membangun jembatan tersebut.
Wajar saja miliaran dolar dikucurkan China untuk membangun jembatan tersebut. Dengan PDB terbesar di dunia, maka China membangun infrastruktur raksasa yang diakui dunia. Sementara kita dengan jumlah penduduk 1,8 -2 juta jiwa, apakah pemerintah rela mengucurkan APBN Rp5 triliun untuk membangun jembatan yang fungsinya belum ada azas manfaat yang jelas.
Dari sisi Investasi misalnya, Batam masih memiliki lahan yang luas untuk dikembangkan sehingga belum melirik Bintan sebagai kawasan yang akan menampung limpahan investor dari luar negeri. Habibie yang membangun Jembatan Barelang dirasakan masih belum optimal dalam memanfaatkan Rempang Galang. Daerah ini masih banyak tanah kosong. Jembatan Barelang dirasakan masih sebagai lokasi foto ponsel. Batam tentu tak tertarik melepas investasi ke Bintan. Lebih baik investasi ditampung di Rempang atau Galang yang masih memerlukan sentuhan.
Kemudian dari sisi transportasi massal, kapal laut dirasakan sudah cukup sampai saat ini untuk membawa penumpang dari Batam Tanjungpinang. Bahkan Roro dari Uban ke Batam juga tidak terlalu ramai. Kecuali Sabtu dan Minggu.
Itupun kalangan berduit untuk menghabiskan liburan kerja ke Batam. Sedangkan kalangan tidak mampu atau miskin berjumlah masih 29 ribu jiwa di Kepri nampaknya tidak terlalu mendesak saat ini membangun jembatan. Jika standar yang miskin menurut WHO, 2 dolar, maka yang miskin di Kepri bisa lebih 50 ribu jiwa. Kategorisasi dipakai BPS saat ini adalah mereka pengeluarannya di bawah 2 dollar per hari.
Mereka yang puluhan ribu hidup pas pasan itu harusnya diberikan penguatan oleh APBN agar bisa mandiri. Tentu dengan menciptakan lapangan pekerjaan guna bisa menampung mereka dengan tingkat pendidikan SMP hingga SD.
Kemudian dari sisi pariwisata, sejauh ini turis turis ke Batam dan ke Bintan memang bertujuan menikmati fasilitas resor ternama di Lagoi maupun di Nongsa. Turis dua kawasan itu bosan dengan gemerlapnya kota metropolis dunia. Mereka lebih mencari ketenangan dan keindahan alam laut model Bintan yang ramah lingkungan.
Berapa pertumbuhan ekonomi terwujud dengan adanya Jembatan Babin sampai saat ini belum tersedia datanya untuk publik. Berapa besar azas manfaat adanya jembatan itu juga belum diketahui hasilnya untuk mendorong Batam dan Bintan menjadi dua kota kembar yang saling melengkapi.
Pemprov Kepri masih bicara makro soal asas manfaat adanya jembatan itu. Apakah begitu penting sekali jembatan itu dibandingkan dengan pelayanan dasar di Kepri lainnya yang harus diselesaikan. Misalnya sejauh mana keberpihakan APBN maupun APBD Kepri untuk peningkatan UMKM, nelayan, petani, pedagang dan sektor lainnya.
Jumlah alokasi misalnya Rp5 triliun untuk pembangunan jalan jalan di perkebunan rakyat, jalan baru untuk membuka akses, hingga infrastruktur lain apakah sudah tuntas? Atau bahkan lebih menarik membangun pabrik pengolahan ikan guna menampung ribuan ton ikan yang dihasilkan dari laut Kepri. Karena sisi perikanan di provinsi kelautan masih tertidur. Pemerintah Kepri masih mengandalkan daratan hanya 4 persen dari luas wilayah. Kita juga belum tahu berapa persen angggaran APBD Kepri 2020 untuk sektor kelautan dan perikanan?
Jalan laut di Tambelan, Kabupaten Bintan saja dibangun sejak zaman Ismeth Abdullah sampai saat ini tak siap. Satu kampung tak dilewati jalan laut itu. Padahal perlu Rp 5-8 miliar saja selesai. Beberapa warga masuk ke laut sekalian dengan motor. Karena jalan kecil tidak dipagar dan dikasi lampu penerangan.
Terkadang pembangunan juga harus memiliki analisis sosial dan kultur masyarakat setempat. Memang dalam azas manfaat jembatan itu untuk kepentingan umum. Namun alangkah lebih baik, jika kepentingan public service lainnya sudah berada dalam kondisi yang memuaskan. Baru membangun proyek fisik mercusuar hebat lainnya.
Ketika kita membangun jembatan yang tidak bersentuhan langsung dengan keperluan mendasar keperluan warga, nampaknya harus menyelesaikan dulu soal yang mendasar seperti jalan jalan yang menghubungkan antara kampung. Sehingga dapat membuka akses baru bidang pertanian maupun pengembangan kawasan baru.
Jangan jangan jika jadi dibangun, jembatan Babin akan menjadi jembatan lokasi selfie warga dibandingkan dengan asas manfaat lainnya. Ya, lagi lagi ini soal kepentingan politik. Jika legislator setuju untuk dibangun, maka mereka akan menganggarkan.
Namun jika tak setuju, maka Jokowi lebih tertarik memperhatikan pembangunan bendungan untuk pertanian, jalan tol hingga jembatan di yang panjangnya singkat namun memberikan dampak nyata untuk pembangunan daerah lain. Apalagi visi misi presiden pada periode kedua bukan lagi menggenjot pembangunan infrastruktur, namun meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Pemerintah sedang menggalakkan sektor pariwisata. Karena sektor ini mampu secara langsung berdampak kepada pertumbuhan ekonomi lokasi wisata tersebut.
Kita pun tidak tahu seberapa banyak kendaraan roda empat yang lalu lalang melalui jembatan itu nantinya. Pastilah tidak seramai yang melalui jembatan Suramadu. Menurut BPS pada 2016 kendaraan yang melewati Suramadu mencapai 10,8 juta per tahun. Setahun Suramadu lebih dari Rp100 miliar pendapatan dari tiket masuk. Penduduk di Jawa Timur lebih dari 32 juta jiwa.
Sementara data kendaraan di Batam sebanyak 765.931 kendaraan berada di Batam, baik roda dua maupun roda empat. Polresta Tanjungpinang mencatat ada sekitar 247.351 kendaraan roda dua maupun roda empat hingga Maret 2015 di Tanjungpinang dan Bintan 91.604. Tentu tidak semua kendaraan itu akan menggunakan jembatan untuk ke Batam.
Kemudian jika kita lihat data ASDP pada musim liburan Natal 23 Desember 2016 misalnya, kendaraan yang lewat per jumlah penumpang tercatat sebanyak 2.045 orang, sepeda motor 423 unit, mobil pribadi 275 unit, pikap 52 unit, bis 1 unit, truk 12 unit, dan truk boks 2 unit. Tentu jumlah kendaraan yang lalu lalang pada hari biasa di bawah ini.(Sindo Batam).
Dan penumpang lalu lalang di musim liburan ke Batam Tanjungpinang tiga ribuan. Kalau di hari biasa di bawah tiga ribu orang.
Dengan tak banyaknya kendaraan di Kepri, pengelolaan jembatan secara keuntungan terlalu lama untuk mengembalikan modal. Sehingga investor asal China maupun Korea yang pernah tertarik untuk membangun Babin mengundurkan diri. Tak muncul lagi batang hidungnya. Belum lagi biaya perawatan jembatan yang berdiri di atas laut dalam. Tentu berisiko jika tidak dirawat dengan telaten. Lalu lalang kapal kapal tanker raksasa juga perlu diberikan solusi agar bentuk jembatan memberikan laluan kepada kapal kapal itu lewat.
Kalaupun pemerintah dengan APBN membangun jembatan Babin, tentu harus melalui kajian yang mendalam dari kementerian terkait. Seberapa pentingkah jembatan itu untuk menambah daya saing Batam, Bintan dan Kepri pada umumnya untuk menarik investasi maupun daya tarik wisatawan.
Kebutuhan konsumsi Batam dan Bintan saat ini juga sudah saling melengkapi. Misalnya Bintan memasok sayur sedangkan pengusaha Batam terkadang mendistribusikan barang barang sembako untuk Tanjungpinang dan Bintan melalui kapal kargo.
Juga tidak ada hambatan. Harga sembako Batam dengan Tanjungpinang tak terlalu besar perbedaan. Apalagi pengusaha Tanjungpinang juga bisa impor langsung dari Malaysia ataupun Singapura bahkan Thailand.
Jadi alasan untuk memperlancar transportasi, menggeser pertumbuhan ekonomi melalui pemerataan kawasan industri, dan faktor lainnya nampaknya belum terlalu mendesak.
Lebih bijak jika dana alokasi Rp5 triliun misalnya dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur lain yang memiliki dampak langsung terhadap warga. Bukan jembatan Babin. Tapi jembatan jembatan lainnya yang perlu dibangun. Jalan jalan raya, bendungan yang dapat menjaga ketersediaan air bersih di Batam maupun Bintan. Karena dua daerah ini ke depan akan bermasalah soal air bersih. Sekarang saja sudah mati hidup mati hidup.
Ada kawan yang sampai berteriak di Facebook. Padahal kawasan tersebut dataran rendah. Jika digali sumur mungkin masih ada air tanah. Atau dia sudah menyerahkan sehingga tergantung dengan PDAM.
Namun jika Pemprov Kepri dapat meyakinkan presiden, bahwa Kepri memerlukan jembatan Babin daripada infrastruktur lainnya, bisa saja itu dikabulkan. Apalagi Kepri termasuk memberikan sumbangsih kemenangan kepada Jokowi pada pilpres 2019. Walaupun hanya puluhan ribu suara.
Lagi-lagi ini soal lobi dan kemampuan meyakinkan pusat guna melakukan pembangunan. Babel, Sumsel dan Kepri sama sama berjuang membangun jembatan di atas laut. Hanya saja, Babel dan Sumsel merasa lebih memerlukan jembatan dibandingkan dengan Kepri.
Atau lebih menarik membangun jembatan Selat Sunda yang akan menghubungkan Sumatera dengan Jawa. Dan akan lebih dahsyat efeknya, jika dibangun jembatan Batam- Singapura. Tentu akan menambah kunjungan wisman antarnegara. Tapi itu nanti. Entah kapan. Setidaknya China sudah memberikan contoh jembatan terpanjang di atas laut di dunia. Mereka bisa mewujudkannya. Kita? *
Penulis:
Robby Patria
Warga Tanjungpinang