Opini
Indonesia dan Hukuman “MANJA” Kepada Koruptor
Semua berawal dari sejak jatuhnya rezim orde baru di tahun 1998, seluruh rakyat Indonesia semakin familiar dan sadar dengan istilah korupsi, kolusi dan nepotisme yang fenomenal dengan singkatan “KKN” dimasa itu, dan disinyalir “KKN” inilah merupakan salah satu penyebab terkuat runtuhnya bangunan dinasti pemerintahan yang telah bercokol lebih dari 32 tahun tersebut.
Semangat pemberantasan korupsi, dan tuntutan untuk mengadili rezim penguasa dan para kroninya, kemudian dijawab oleh era baru bernama reformasi dengan mengeluarkan produk hukum berupa TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang kemudian hari turut melahirkan Undang-undang (UU) nomor 31 tahun 1999 dan Undang-undang perubahannya nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Yang menjadi pertanyaannya, apakah setelah lebih dari 2 dekade sejak semangat anti korupsi itu hadir KKN sudah dapat ditanggulangi? Tidak banyak ahli hukum yang mampu menjawab pertanyaan ini secara gamblang, bahkan diantaranya memilih menjawab sebagai seorang diplomat (alih-alih sebagai ahli hukum) dengan mengedepankan retorika dan igauan bahwa negara ini masih berproses dan butuh waktu untuk bebas dari jeratan rantai korupsi.
Penulis berpendapat bahwa proses itu tidak akan pernah menemui ‘tempatnya’, selama pendekatan sanksi kepada para koruptor masih terkesan “MANJA”, dan belum dimodifikasi dengan wajah yang ‘mengerikan’. Seorang ahli hukum bernama Hugo De Groot mengatakan “malim pasisionis propter malum actionis” yaitu “penderitaan adalah hasil kejahatan yang dilakukan oleh penjahat”, maka idealnya hukuman yang diberikan kepada koruptor wajib melebihi penderitaan yang dialami oleh para korban, yaitu sebagian besar masyarakat Indonesia dan menjadi peringatan keras bagi para calon pelaku untuk mengurungkan niat jahatnya untuk melakukan korupsi (Vereningings theorieen).
Berkaitan dengan jenis pemidanaan yang berlaku didalam UU pemberantasan tindak pidana korupsi, secara penintentier norm masih mengadopsi secara utuh jenis pemidanaan yang diatur didalam pasal 10 KUHP, yaitu terbagi menjadi 2 Jenis bentuk pemidanaan, antara lain: Pidana Pokok terdiri dari: 1. Pidana Mati; 2. Pidana Penjara; 3. Pidana Kurungan; 4. Pidana Denda; dan 5. Pidana Tutupan dan Pidana Tambahan terdiri dari: 1. Pidana Pencabutan Hak-Hak Tertentu (termasuk Hak Politik); 2. Pidana Perampasan Barang Tertentu; dan 3. Pidana Pengumuman Putusan Hakim. Berkaitan dengan pidana mati, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia pernah menjadi yang “tergarang” dibandingkan dengan aturan Negara ASEAN lainnya, yaitu dengan memasukannya didalam Pasal 2 ayat (2) yang bunyinya:
“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Pengertian “keadaan tertentu” dalam ketentuan UU nomor 31 tahun 1999, ini dimaksudkan sebagai: “Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.”
Namun dalam perkembangannya, sejak berlakunya UU nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan UU nomor 31 Tahun 1999, penjelasannya mengalami perubahan yang hampir tidak ada maknanya dan terkesan menjadi lebih multitafsir dan dibuat seolah-olah menjadi mustahil untuk diterapkan, sebagai berikut : “Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi”
Dengan delik Pasal 2 ayat (2) yang menempatkan kata dapat (yang memiliki derajat bahasa yang rendah dibandingkan dengan kata wajib) dan penjelasan norma “kondisi tertentu” diatas, mengakibatkan kemungkinan pemberlakukan hukuman mati sangat abstrak dan bersifat optional, sehingga secara ilmu tata bahasa dapat dikategorikan norma tersebut hanya sekedar basa basi, dan menyediakan ruang yang terbuka lebar bagi para pengadil untuk tidak mengimplementasikannya. Hal ini terbukti dengan tidak ada 1 (satu) pun perkara atau pelaku tindak pidana korupsi yang dijatuhi hukuman mati sejak berlakunya UU tersebut pada tahun 1999, sedangkan di sisi lain sudah teralu massif tindak pidana korupsi yang terjadi dan menimbulkan dampak besar terhadap kehidupan perekonomian berbangsa dan bernegara, antara lain yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam, vampirisasi anggaran proyek pembangunan Negara, dan berbagai modus perampokan terhadap kekayaan Bangsa lainnya yang telah merugikan Negara setidaknya sebesar RP. 150 Triliun dalam periode 2003-2017.
Sementara fakta lainnya, keputusan pengadilan terhadap para koruptor masih sangat penuh welas asih, manja, kerdil makna, dan tak memenuhi rasa keadilan masyarakat, yaitu berupa pidana penjara, denda, maupun mengembalikan keuangan Negara yang dikorupsikan, dan pencabutan hak politik. Pemidanaan seperti ini, sekalipun dijalankan tanpa penyimpangan dalam proses implementasinya, tetap merupakan hal yang sangat tidak sebanding bila disejajarkan dengan akibat yang timbul dari perilaku korupsi, yaitu kerusakan besar terhadap tatanan keadilan sosial dan perekonomian masyarakat, yang berdampak kepada tingginya jumlah kematian penduduk miskin, stunting, kesenjangan yang sangat lebar antara si kaya dan si miskin, serta kehilangan kesempatan rakyat untuk menikmati kehidupan dan pendidikan yang layak, sebagaimana yang diatur dan diamanahkan oleh Undang-undang Dasar 1945 (UUD 45) dalam pasal 27, 30, 33 dan 34.
Lalu bagaimana dengan tindak pidana suap atau gratifikasi, yang pada kenyataannya sering melibatkan para penyelenggara Negara, seperti Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati) dan para konglomerat hitam, yang walaupun terkadang tidak ditemukan kerugian Negara secara langsung, namun jelas-jelas telah menghalangi tercapainya cita–cita ideologi Pancasila sila Kelima, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Salah satu ahli hukum Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa tujuan dari kebijakan pemidanaan yaitu menetapkan konsep pemidanaan yang tidak terlepas dari tujuan politik anti kriminal, dengan membentuk sistem pemidanaan yang dapat membuat seseorang dengan akal sehatnya kehilangan keinginan untuk melakukan kejahatan (korupsi), sehingga dapat melindungi dan membantu masyarakat untuk mencapai kesejahteraan dan teraktualisasinya kesetaraan.
Sementara Penulis, memiliki hipotesis sendiri, bahwa bentuk dan jenis pemidanaan yang berlaku pada tindak pidana korupsi, haruslah memiliki perbedaan dengan yang berlaku pada tindak pidana umum, konsep pemidanaannya wajib memberikan pembelajaran bagi para pelaku mengenai dampak terburuk yang dirasakan oleh masyarakat luas (korban) seperti kemiskinan dan hidup dibawah standar kelayakan manusia, sehingga baik dirinya sendiri (pelaku koruptor) maupun orang lain yang sedang berkeinginan untuk mencoba melakukannya akan mengalami trauma syndrome, sehingga tidak lagi memiliki kemampuan berpikir atau niat untuk melakukan tindak kejahatan tersebut (korupsi).
Saat ini mari kita bandingkan, dari sekian banyak putusan pengadilan dan bentuk pemidanaan yang telah ditetapkan oleh Pengadil kepada para pelaku korupsi, apakah sudah mengurangi atau memberi efek trauma kepada para pelaku kejahatan dan calon pelaku? Faktanya menunjukan tidak, patut diketahui dalam periode bulan januari s/d juli tahun 2018 ini saja, berdasarkan keterangan pers yang dilakukan oleh pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah terjerat 19 kepala daerah pelaku korupsi dengan berbagai macam jenis kejahatannya, belum lagi ditambah dengan peristiwa anyar tentang operasi tangkap tangan kasus korupsi besar yang berkaitan dengan Proyek Perizinan Properti Meikarta dan diduga melibatkan konglomerasi besar LIPPO GROUP.
Hal diatas cukup membuktikan, bahwa giat pemberantasan korupsi dan sanksi pemidanaan yang saat ini eksis dan kerap diberlakukan, nyaris belum memberikan efek trauma syndrome kepada para pelaku dan calon pelaku korupsi. Model pemidanaan penjara di Lembaga Pemasyarakatan (LP), terbukti diberbagai tempat dapat disalahgunakan dan bertranformasi menjadi hotel berbintang serta ruang kantor yang ekslusif bagi para koruptor, kondisi menyebabkan koruptor dan calon koruptor tidak menjadi jera, dan tersadarkan, karena justeru dengan model pemidanaan penjara saat ini, koruptor mendapatkan keuntungan sekat previledge baru untuk merencanakan dan menjalankan secara mulus praktik kejahatannya tanpa terkena radar apapun. Mengenai pemidanaan denda dan tekad kuat untuk memiskinkan para koruptor, nyatanya belum pernah tersiar kabar yang valid sampai dengan saat ini, bahwa ada diantara para pelaku koruptor kelas kakap jatuh miskin dan mengalami kebangkrutan signifikan. Tentu kondisi diatas merupakan bukti nyata, bahwa sistem pemidanaan yang saat ini dijadikan role model bagi koruptor, masih dipenuhi sikap permisif dan manja, serta rentan untuk dimanipulasi.
Melihat kenyataan diatas, patut disimpulkan bahwa dari sistem yang berlaku dalam proyek besar dan ambisius pemberantasan korupsi Indonesia, masih banyak aspek yang perlu dibenahi, dan yang paling menjadi prioritas saat ini menurut penulis adalah pembenahan dan perubahan terhadap konsep pemidanaan.
Adapun pembenahan mendasar yang perlu segera dilakukan menurut penulis, antara lain :
- Perubahan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan penjelasannya mengenai “kondisi tertentu”.
Penulis mengusulkan perubahan delik didalam Pasal 2 ayat (2) menjadi sebagai berikut: “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati wajib dijatuhkan”.Sedangkan untuk penjelasan norma “keadaan tertentu” yang menjadi syarat berlakunya hukuman mati diubah untuk menjadi lebih jelas, terukur dan mengikat, menjadi sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang wajib dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap : 1. Dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya dan/atau bencana alam nasional dan/atau penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas dan/atau penanggulangan krisis ekonomi dan moneter; 2. Pengulangan tindak pidana korupsi; 3. perbuatan korupsi terhadap pemanfaatan Sumber Daya Alam dan/atau anggaran negara yang berkaitan dengan kehidupan orang banyak, yang karena perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian negara sebesar RP. 50.000.000.000,- (Lima Puluh Miliar Rupiah) atau lebih”.
Perubahan terhadap delik didalam Pasal 2 ayat (2) dan penjelasan norma “keadaan tertentu” diatas sangat mendesak dan penting untuk dilakukan secepatnya, karena pemberian hukuman yang tegas berupa pidana mati, terbukti menjadi salah satu obat yang mujarab dalam memberantas penyakit kronis bernama kejahatan korupsi.
Republik Rakyat China pada masa pemerintahan presiden Jiang Zemin (1999-2003) dan Perdana Menteri Zhu Rongji, memakai hukuman mati menjadi senjata utama untuk menghukum para koruptor. Hal ini terangkum dalam ucapan Zhu Rongji yang fenomenal, yaitu “Beri saya seribu peti mati. Sembilan puluh sembilan akan saya gunakan untuk mengubur para koruptor dan satu untuk saya kalau saya melakukan tindak pidana korupsi”.
Dan terbukti di tahun 2006, RRC mendapatkan peringkat terbaiknya dan bertengger dirangking 70 negara terbaik dalam pemberantasan korupsi dari total 163 negara, dengan mendapatkan nilai index 3,3 dari badan penilai independen dunia Transparency International (sementara Indonesia hanya berada diperingkat 130 dengan nilai index 2,4), tentu hal ini sangat ironis dengan membandingkan ideologi kedua Negara, yang mana Indonesia memiliki ideologi yang luhur dan sarat unsur moralitas kemanusiaan didalam Pancasila, sementara RRC seperti yang kita ketahui bersama berideologi komunis.
- Terobosan Baru Pidana Penjara + Sanksi Kerja Sosial
Memberikan terobosan baru dalam konsep pemidanaan penjara kepada koruptor dengan menyertai kewajiban menjalankan sanksi kerja sosial setiap harinya selama menjalani masa pidana penjara.Contoh kerja sosial yang bisa dilakukan oleh seluruh narapidana koruptor antara lain pembersihan terhadap seluruh fasilitas umum di kota LP setempat (seperti sungai, rumah sakit, wc umum, terminal, bandara, pelabuhan, TPA, rumah ibadah, dll), kerja nyata membantu dan mengurus anak yatim piatu diseluruh asrama yatim piatu di kota LP setempat (memasakan makanan, membersihkan rumah atau bangunan yang dipakai, mencuci piring, mencuci baju, dll), kerja nyata membantu dan merawat para tunawisma dan orang tua jompo diseluruh panti panti jompo dan rumah singgah di kota LP setempat (memasakan makanan, membersihkan rumah atau bangunan yang dipakai, mencuci piring, mencuci baju, memandikan dan membersihkan tubuh orang tua jompo, dll) dan jenis-jenis kerja sosial lainnya yang dapat mengekploitasikan keberadaan mereka (narapidana korupsi) demi kepentingan umum masyarakat luas.
Hal ini menjadi sangat logis dan relevan untuk diimplementasikan, bilamana kita kaitkan dengan akibat utama yang timbul dari perbuatan para koruptor tersebut, yaitu ketiadaan kemakmuran rakyat dan kemiskinan akut. Sehingga para pelaku koruptor wajib memahami dan menyelami secara langsung aktivitas kesehariaan masyarakat yang termarginalkan akibat perbuatan mereka dan tentunya sanksi inipun memiliki tujuan mulia agar para koruptor tersebut dapat secara nyata kembali menjadi pribadi yang bermanfaat bagi kehidupan sesama masyarakat. Manfaat lainnya, diharapkan dengan penggabungan konsep pidana penjara dengan sanksi kerja sosial ini, tembok penjara tidak lagi disalahgunakan sebagai tempat persembunyian oleh para koruptor dan menjadi ladang transaksi haram oknum petugas LP dengan memperjualbelikan beraneka ragam jenis fasilitas kemewahan, yang telah terbukti sangat melukai rasa keadilan dikalangan masyarakat luas.
Catatan : Pihak LP wajib membuat jadwal kerja sosial terhadap setiap narapidana dalam 1 (satu) minggu penuh (1 hari kalender = 12 jam kerja dengan waktu istirahat 1 jam), dan wajib untuk mempublikasikannya kepada seluruh acount media sosial resmi dan website Kementerian Hukum dan HAM, agar terpenuhinya unsur transparansi pelaksanaan sanksi dan masyarakat dapat turut andil dalam sisi pengawasan.
- Pertegas Sanksi Denda
Berkaca dengan kenyataan yang hadir saat ini, dimana niat mulia memiskinkan para koruptor telah terujar, namun belum pernah terwujud. Dimana hal ini terjadi disebabkan oleh faktor tidak terukurnya secara nyata (matematis) rumus perhitungan penentuan sanksi denda bagi setiap kejahatan korupsi yang dilakukan, maka penulis mengusulkan untuk dibuatkan pasal tambahan didalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang secara khusus mengatur rumusan perhitungan besarnya denda kepada para pelaku koruptor.Contoh : a) Untuk perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 2 dan/atau 3 UU nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu : “Kepada orang dan/atau badan hukum yang terbukti melakukan perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam kategori perbuatan korupsi, wajb dikenakan sanksi denda yaitu sebesar 100 kali lipat dari nilai kerugian yang dialami oleh negara”; dan b) Untuk perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 5 dan/atau pasal 12 UU nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu: “Kepada orang dan/atau badan hukum yang terbukti melakukan perbuatan suap dan/atau gratifikasi, wajb dikenakan sanksi denda, baik kepada sipemberi maupun sipenerima, yaitu sebesar 100 kali lipat dari nilai suap dan/atau gratifikasi yang diberikan dan/atau diterima”.
Dengan terukurnya besar denda diatas, diharapkan pasal ini menjadi senjata ampuh dalam mewujudkan tujuan pemberantasan tindak pidana korupsi, melalui cara memiskinkan para koruptor.
Pada pokoknya Ke- 3 poin usulan penulis diatas, adalah hasil renungan penulis dalam melihat fenomena anomali gaya hidup dikalangan para koruptor saat ini, patut diduga mereka telah mengalami imunitas mental terhadap rasa malu, meskipun mereka telah berkhianat terhadap TUHAN dan rakyat Indonesia melalui sumpah jabatan. Bila hal ini tidak segera dihentikan, maka jangan pernah rakyat menyalahkan sejarah, bahwa dikemudian hari para tunas bangsa kita yang saat ini menyaksikan hal itu diberbagai media cetak dan elektronik, akan menganggap bahwa kejahatan korupsi adalah hal yang biasa, bahkan lebih keren dibandingkan dengan seorang pegawai yang hidup dengan penuh kejujuran.
Penulis memahami bahwa masih banyak hal lainnya yang dapat diperbaiki dalam hal pemberantasan korupsi, termasuk salah satu yang paling utama adalah sektor pencegahan, namun pada kesempatan kali ini penulis sengaja ingin fokus pada satu titik pembenahan terlebih dahulu, yaitu disisi pemidanaan, semata-mata berangkat dari satu pemikiran yang mengadopsi pepatah kuno bangsa Perancis, yaitu “la rizière ne sera pas propre si vous ne tuez pas la souris et ne la montrez pas à d’autres souri” yang bila diartikan didalam bahasa Indonesia adalah “lumbung padi takkan bersih bila anda tidak membuat mati si tikus dan memperlihatkannya kepada tikus lainnya”
Meskipun penulis menyadari bahwa sampai kapanpun dan dimanapun kejahatan tidak dapat dinihilkan, namun penulis yakin apabila para pemangku amanah rakyat, baik di legislatif maupun eksekutif mau dengan sadar menjalankan perannya sesuai dengan yang seharusnya dan melakukan perubahan mendasar terhadap regulasi, terutama pembenahan pada sisi pemidanaan seperti yang penulis usulkan diatas, maka kita semua (segenap generasi penerus bangsa) masih memiliki harapan dan keyakinan, yaitu akan ada waktunya dimana kita tidak lagi menjadi Bangsa dan Negara yang terbelakang dari sisi pemberantasan korupsi dan niscaya kemajuan serta kemakmuran yang hakiki akan segera terwujud di bumi nusantara Republik Indonesia.
Oleh : Yuko Amran, SH (Managing Partner Kantor Hukum YUKO, YUDI & PARTNERS)