KampusOpini

Belajar dari Prancis, Victoria, dan Korea Selatan untuk Memperkuat Pendidikan IPA Indonesia

Di tengah arus perubahan global yang sangat cepat, kualitas pendidikan sains menjadi fondasi strategis untuk membangun generasi Indonesia yang literat sains, tangguh menghadapi perubahan teknologi, dan mampu berkontribusi dalam pemecahan masalah bangsa. Tantangan abad ke-21 seperti krisis iklim, kecerdasan buatan, kesehatan publik, hingga bioteknologi menuntut warga negara yang mampu berpikir kritis, kreatif, dan sistematis. Namun, hasil survei internasional seperti PISA masih menunjukkan bahwa kemampuan literasi sains siswa Indonesia perlu diperkuat secara serius.

Untuk melakukan pembenahan berbasis bukti, kita dapat belajar dari negara-negara yang terbukti berhasil mengembangkan pendidikan sains berkualitas tinggi. Tiga di antaranya adalah Prancis, Victoria (Australia), dan Korea Selatan. Ketiganya berbeda konteks, budaya, dan filosofi pendidikan, tetapi memiliki kesamaan fundamental dalam memandang sains sebagai pendorong kemajuan bangsa.

Sebelum membahas karakteristik masing-masing negara, terdapat empat kesamaan fundamental dalam pendidikan IPA di Prancis, Victoria, dan Korea Selatan yang dapat menjadi pijakan strategis bagi Indonesia. Ketiganya sama-sama mengintegrasikan STEM atau STEAM dalam kurikulum, bukan sebagai mata pelajaran terpisah, tetapi sebagai kerangka berpikir yang menautkan sains, teknologi, rekayasa, dan matematika dalam proses pembelajaran. Prancis mengembangkan integrasi tersebut melalui scientific reasoning and modeling, Victoria melalui applied science dan proyek lintas disiplin yang memanfaatkan teknologi digital, sementara Korea Selatan menanamkan integrasi melalui literacy kecerdasan buatan, robotics, dan eksperimen digital dalam reformasi kurikulum 2022.

Ketiga negara juga sama-sama menumbuhkan keterampilan berpikir tingkat tinggi sebagai target inti pendidikan sains. Kemampuan seperti berpikir kritis, pemecahan masalah, kreativitas, inovasi, serta interpretasi data didekati dengan cara berbeda: Prancis melalui argumentasi ilmiah deduktif, Victoria melalui inkuiri terbuka berbasis fenomena, dan Korea melalui investigasi ilmiah terstruktur yang dipadukan dengan aplikasi teknologi.

Selain itu, pendekatan interdisipliner secara konsisten dalam sains. Integrasi antara IPA diterapkan oleh ketiga negara seperti: matematika, teknologi, dan isu sosial-sains hadir secara eksplisit, terutama di Victoria yang mewajibkan hubungan antara Science Understanding dan Science as a Human Endeavour sehingga peserta didik memahami peran sains dalam masyarakat. Kesamaan terakhir terletak pada penekanan kuat pada aplikasi sains dalam kehidupan nyata. Sains diposisikan bukan sebagai kumpulan konsep yang harus dihafal, tetapi sebagai lensa untuk memahami isu publik seperti perubahan iklim, energi, kesehatan, dan teknologi digital. Pendekatan ini membuat siswa memandang sains sebagai alat untuk mengambil keputusan dan memecahkan masalah di dunia nyata. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, Indonesia memiliki peluang besar untuk memperkuat Kurikulum Nasional agar lebih relevan, kontekstual, dan berorientasi masa depan.

Setelah menelaah sejumlah kesamaan mendasar yang menjadi fondasi pendidikan IPA di Prancis, Victoria, dan Korea Selatan, muncul pelajaran penting bahwa ketiga sistem pendidikan tersebut bergerak menuju arah yang relatif serupa: integratif, berorientasi kompetensi, dan sangat terkait dengan kehidupan nyata. Namun, di balik kesamaan-kesamaan itu, masing-masing negara memiliki penekanan, karakter, dan strategi implementasi yang berbeda. Perbedaan inilah yang memperlihatkan identitas kurikulum masing-masing sekaligus membuka ruang bagi Indonesia untuk memilih praktik terbaik yang paling relevan dengan kebutuhan nasional.

1. Prancis

Sumber: https://www.education.gouv.fr/classes-horaires-amenages-en-mathematiques-et-sciences-chams-pour-les-eleves-de-4e-et-3e-450521

Kurikulum IPA di Prancis tersusun secara nasional dan sangat sistematis, dengan pembagian jelas antar disiplin fisika, kimia, biologi, dan bumi—yang diajarkan secara bertahap dari konsep dasar menuju konsep abstrak yang lebih kompleks. Struktur kurikulum yang ketat ini berpadu dengan filosofi pendidikan yang menekankan rigor akademik, penalaran logis, dan kapasitas argumentatif, sebuah warisan kuat tradisi intelektual Prancis yang menjunjung rasionalitas. Dalam praktik pembelajaran, guru umumnya menggunakan metode ekspositori terarah, percobaan laboratorium terstruktur, serta diskusi berbasis teks ilmiah. Pendekatan ini bertujuan membangun kemampuan analitis dan konseptual yang mendalam pada siswa.

Keterampilan sains yang paling diutamakan meliputi penalaran deduktif, analisis matematis dalam sains, dan kompetensi argumentatif ilmiah, yang semuanya dipandang penting untuk membentuk warga negara yang mampu berpikir kritis. Integrasi teknologi sudah berjalan, tetapi tetap seimbang dengan eksperimen laboratorium fisik yang menjadi ciri khas pendidikan sains Prancis; penggunaan simulasi digital dan perangkat sensor modern mulai meningkat, namun tidak pernah menggantikan praktik laboratorium yang dianggap esensial. Sistem asesmennya kuat di ranah kognitif, dengan campuran ujian nasional yang ketat, penilaian sumatif berbasis masalah ilmiah, dan ujian praktikum pada level tertentu. Secara keseluruhan, orientasi kurikulum IPA Prancis adalah membangun ketelitian konseptual dan kekuatan berpikir ilmiah yang terstruktur.

 

2. Victoria (Australia)

Sumber: https://museumsvictoria.com.au/melbournemuseum/education/school-excursions/

Berbeda dengan Prancis, kurikulum IPA di Victoria bersifat fleksibel dan progresif, memberi ruang luas bagi sekolah dan guru untuk menyesuaikan konteks lokal. Struktur kurikulumnya mengintegrasikan fisika, kimia, biologi, dan sains bumi ke dalam Science Understanding, Science Inquiry Skills, dan Science as a Human Endeavour, yang harus hadir dalam setiap unit pembelajaran. Filosofi pendidikannya menekankan pembelajaran berbasis inkuiri, konektivitas antar-disiplin, dan relevansi kehidupan nyata, sehingga sains diposisikan sebagai cara memecahkan masalah dunia, bukan sekadar kumpulan fakta.

Metode pembelajaran yang dominan adalah inkuiri terbuka, project-based learning, eksperimen investigatif, studi isu lingkungan, dan kolaborasi antarsiswa. Konsekuensinya, keterampilan yang diutamakan bukan hanya penguasaan konsep, melainkan juga kemampuan merancang eksperimen, interpretasi data, berpikir sistem, serta komunikasi ilmiah. Integrasi teknologi sangat kuat: penggunaan sensor digital, aplikasi analisis data, pembelajaran berbasis platform daring, augmented reality, hingga coding dan STEM menjadi bagian dari pengalaman belajar sains. Sistem asesmennya sangat bervariasi—campuran formatif, portofolio, proyek, laporan investigasi, dan asesmen sumatif—di mana penilaian proses sama pentingnya dengan penilaian hasil. Secara keseluruhan, Victoria menawarkan kurikulum IPA yang adaptif, kontekstual, dan menekankan kemandirian belajar.

3. Korea Selatan

Sumber: https://kuyou.id/homepage/read/27492/mengenal-csat-di-korea-ujian-suneung-yang-kerap-diikuti-oleh-para-idol-juga-lho

Kurikulum IPA di Korea Selatan dirancang terpusat dan sangat terstandar, dengan penekanan kuat pada pencapaian akademik dan penguasaan konsep inti. Struktur kurikulumnya berfokus pada konsep fundamental dari fisika, kimia, biologi, dan geosains yang disusun secara spiral, memastikan seluruh siswa mempelajari konten yang sama dengan kedalaman relatif seragam. Filosofi pendidikan sains Korea menempatkan penguasaan konten, latihan intensif, dan ketepatan prosedural sebagai fondasi utama, didukung budaya belajar yang kompetitif.

Dalam pembelajaran, guru banyak menggunakan metode direct instruction yang terarah, dikombinasikan dengan praktikum terstruktur dan latihan aplikasi konsep. Namun, beberapa sekolah unggulan mulai memasukkan inkuiri dan pembelajaran berbasis masalah untuk meningkatkan kreativitas siswa.

Keterampilan sains yang diutamakan sangat terkait dengan kemampuan pemecahan masalah prosedural, aplikasi konsep, dan akurasi eksperimen, yang menjadi kunci keberhasilan siswa dalam ujian nasional yang ketat. Integrasi teknologi berjalan pesat: sekolah dilengkapi dengan laboratorium digital, platform belajar adaptif, simulasi ilmiah, dan perangkat eksperimental modern. Sistem asesmennya sangat terstandar, dengan dominasi ujian sumatif, ujian masuk perguruan tinggi yang sangat kompetitif (CSAT), serta asesmen berbasis kompetensi yang mulai diperluas.

Kekuatan utama pendidikan IPA Korea Selatan terletak pada kedisiplinan akademik, konsistensi, dan ketegasan standar, yang memastikan tingkat penguasaan konsep ilmiah yang tinggi pada sebagian besar siswa.

Apa yang Bisa Dipelajari Indonesia dari Ketiga Negara Ini?

Jika kita merangkum perbandingan tersebut, ada pola menarik yang muncul:

  • Prancis menunjukkan kekuatan dalam penalaran ilmiah dan ketelitian konsep.
  • Victoria menonjol dalam kontekstualisasi dan fleksibilitas pembelajaran.
  • Korea Selatan unggul pada ketegasan kurikulum dan integrasi teknologi pendidikan.

Perbandingan ini menggarisbawahi bahwa tidak ada satu model pendidikan yang sempurna. Namun, masing-masing memiliki “mutiara” yang dapat diadaptasi untuk memperkuat pendidikan IPA di Indonesia.

Berikut tiga pelajaran besar yang bisa kita ambil:

1. Membangun Kurikulum yang Seimbang antara Struktur dan Fleksibilitas

Kurikulum Merdeka di Indonesia sebenarnya sudah menuju arah fleksibilitas seperti Victoria. Namun, tetap diperlukan struktur yang jelas, seperti model Prancis, agar penyampaian materi tidak terlalu bervariasi dan tetap selaras antar sekolah.

Keseimbangan antara standar nasional yang kuat dan otonomi guru adalah kunci pembelajaran yang bermakna.

2. Penguatan Guru sebagai Agen Utama Perubahan

Baik Victoria maupun Korea Selatan memiliki satu kesamaan: investasi besar pada kualitas guru. Pelatihan berkelanjutan, komunitas belajar profesional, dan fasilitas pendukung sangat menentukan efektivitas implementasi kurikulum.

Indonesia perlu memastikan guru mendapatkan:

  • pendampingan praktik,
  • pelatihan berbasis eksperimen nyata,
  • literasi teknologi yang memadai,
  • ruang untuk berkolaborasi dan berinovasi.

Tanpa ini, pembaruan kurikulum hanya akan menjadi dokumen di atas kertas.

3. Integrasi Teknologi dan Laboratorium sebagai Prioritas Nasional

Korea Selatan menunjukkan bahwa teknologi dapat mengatasi keterbatasan laboratorium fisik. Sementara itu, Victoria membuktikan bahwa teknologi dapat membuat pembelajaran sains lebih fleksibel dan menarik.

Indonesia dapat mengambil langkah strategis dengan:

  • memperkuat laboratorium sekolah,
  • menyediakan platform simulasi eksperimen digital,
  • mendorong penggunaan perangkat sains portable,
  • dan membangun ekosistem STEM yang dekat dengan kehidupan siswa.

Penutup: Saatnya Membangun Jalan Baru Pendidikan IPA Indonesia

Pembelajaran sains yang kuat bukan hanya soal menguasai rumus atau teori, tetapi tentang membangun cara berpikir yang kritis, logis, dan berbasis bukti. Itulah kompetensi yang dibutuhkan generasi masa depan Indonesia.

Belajar dari Prancis, Victoria, dan Korea Selatan, kita dapat menemukan inspirasi untuk membangun pendidikan IPA yang lebih baik: kurikulum yang terstruktur tetapi fleksibel, pembelajaran yang kontekstual tetapi tetap ketat secara ilmiah, serta teknologi yang mendukung kreativitas dan penalaran.

Masa depan pendidikan sains Indonesia akan sangat ditentukan oleh keberanian kita untuk berbenah — bukan dengan meniru sepenuhnya negara lain, tetapi dengan memetik hal terbaik dari mereka dan menyesuaikannya dengan kebutuhan bangsa.

 

Referensi

  • Ministère de l’Éducation Nationale et de la Jeunesse. National Science Curriculum.
     https://www.education.gouv.fr
  • Victorian Curriculum and Assessment Authority (VCAA). Science Curriculum F–10.
     https://victoriancurriculum.vcaa.vic.edu.au/science
  • Ministry of Education, Republic of Korea. National Curriculum (2022 Revision).
     https://www.moe.go.kr
  • Bybee, R. W. (2013). The case for STEM education: Challenges and opportunities. National Science Teachers Association.
  • Duschl, R.  (2008). Science education in three-part harmony: Balancing conceptual, epistemic, and social learning goals. Review of Research in Education, 32(1), 268–291. https://doi.org/10.3102/0091732X07309371
  • Hattie, J. (2009). Visible learning: A synthesis of over 800 meta-analyses relating to achievement. Routledge.
  • Lim, Y., & Park, H. (2022). Who have fallen behind? The educational reform toward differentiated learning opportunities and growing educational inequality in South Korea. International Journal of Educational Development, 92.
  • NGSS Lead States. (2013). Next Generation Science Standards: For states, by states. National Academies Press.
  • OECD. (2019). PISA 2018 results (Volume I): What students know and can do. OECD Publishing.
  • Yu, E. J. (2021). International research trends related to inquiry in science education. Journal of the Korean Association for Science Education, 41(3), 99–115.

Oleh:

  • Nur Eka Kusuma Hindrasti
  • Muhammad Arsyad
  • Fine Eirene Siahaan

(Mahasiswa Doktoral Pendidikan IPA UNS)

Dosen Pengampu Mata Kuliah Kajian Kurikulum IPA Antar Bangsa: Prof. Dr.rer.nat. Sajidan, M.Si.

Tags
Show More
Kepriwebsite

Leave a Reply

Close