KampusOpini

Paradoks Otonomi Daerah di Wilayah Kepulauan: Ketika Jalan Batam-Bintan Tenggelam dalam Labirin Desentralisasi Fiskal

TANJUNGPINANG – Kepulauan Riau menyimpan ironi mendalam dalam praktik desentralisasi Indonesia. Rakyat Batam dan Bintan – dua pulau dalam satu provinsi masih bergantung pada transportasi laut untuk berpindah. Proyek Jalan Batam-Bintan yang menjadi kebutuhan mendesak hingga kini tergeletak sebagai mimpi belum terwujud. Untuk apa desentralisasi jika gagal menghadirkan infrastruktur dasar penghubung sesama warga?

UU No. 23 Tahun 2014 memberikan kewenangan pembangunan infrastruktur kepada daerah. Namun ketika urusan menyangkut wilayah lintas batas administratif, desentralisasi justru menciptakan fragmentasi kewenangan yang kontraproduktif. Batam sebagai kota otonom, Bintan sebagai kabupaten otonom, dan Provinsi Kepulauan Riau sebagai koordinator, masing-masing memiliki kepentingan dan keterbatasan anggaran sendiri. Struktur rigid ini menciptakan kebuntuan koordinasi yang fatal. Lebih kritis lagi, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau tidak memiliki kapasitas fiskal memadai untuk membiayai proyek triliunan rupiah ini. Dana Alokasi Umum dan Khusus tidak mempertimbangkan “biaya kepulauan” yang jauh lebih tinggi dibanding daerah daratan. Paradoks desentralisasi fiskal terlihat jelas: daerah diberi kewenangan, tetapi tidak diberi sumber daya proporsional.

Situasi makin absurd dengan status Batam sebagai Kawasan Ekonomi Khusus yang seharusnya mendapat prioritas infrastruktur. Namun Jalan Batam-Bintan yang vital untuk menghubungkan KEK Batam dengan kawasan pariwisata Bintan tidak pernah masuk skala prioritas nasional. Pemerintah pusat menganggap ini urusan daerah, sementara daerah tak mampu mewujudkannya sendiri. Inilah “labirin desentralisasi” – tidak ada pihak yang benar-benar bertanggung jawab karena tanggung jawab terfragmentasi di berbagai level pemerintahan. Dari perspektif ekonomi politik, ini adalah manifestasi collective action problem. Meskipun semua pihak menyadari manfaat ekonomi signifikan, tidak ada yang mau menanggung biaya politiknya terlebih dahulu. Fragmentasi tanggung jawab menciptakan diffusion of responsibility di mana semua pihak saling melempar kesalahan. Rakyat tidak tahu harus menuntut kepada siapa: walikota, bupati, gubernur, atau presiden? Ini antitesis dari desentralisasi yang seharusnya membuat pemerintahan lebih akuntabel.

Akar masalah terletak pada desain desentralisasi Indonesia yang terlalu berorientasi pada pembagian kewenangan administratif, tetapi tidak mempertimbangkan kapasitas riil daerah dan kompleksitas geografis. Formula DAU tidak memasukkan variabel “tingkat kesulitan geografis” dengan bobot signifikan, sehingga daerah kepulauan menerima dana transfer tidak jauh berbeda dengan daerah daratan padahal biaya pembangunan infrastrukturnya dua hingga tiga kali lipat lebih mahal. Sistem perencanaan RPJMN tidak mengakomodasi kebutuhan spesifik daerah kepulauan. Proyek Strategis Nasional umumnya adalah proyek di Jawa atau daerah padat populasi. Jalan Batam-Bintan, meskipun strategis untuk konektivitas regional, tidak pernah masuk daftar PSN karena tidak memenuhi kriteria konvensional seperti volume lalu lintas atau jumlah populasi. Tidak ada mekanisme akuntabilitas yang jelas ketika proyek infrastruktur penting gagal terwujud—semua pihak bisa lepas tangan tanpa konsekuensi.

Solusi untuk permasalahan ini memerlukan reorientasi fundamental dalam kebijakan desentralisasi. Pertama, revisi UU Pemerintahan Daerah dan PP Dana Perimbangan untuk memasukkan “koefisien kepulauan” dalam formula DAU dan DAK sehingga daerah kepulauan otomatis menerima alokasi lebih besar. Kedua, tetapkan proyek infrastruktur strategis lintas daerah otonom seperti Jalan Batam-Bintan sebagai tanggung jawab langsung pemerintah pusat melalui mekanisme Proyek Strategis Nasional dengan kriteria lebih fleksibel yang mempertimbangkan fungsi strategis, bukan hanya volume lalu lintas konvensional. Ketiga, bentuk badan otorita khusus untuk mengelola infrastruktur strategis di Kepulauan Riau, serupa dengan Otorita IKN, dengan kewenangan lintas sektoral dan dukungan anggaran langsung dari APBN. Keempat, ciptakan mekanisme insentif dan disinsentif untuk mendorong kerjasama antar-daerah-daerah kooperatif mendapat tambahan dana transfer, yang tidak kooperatif dikenakan sanksi pengurangan DAU. Kelima, perkuat transparansi dan partisipasi publik melalui forum multi-stakeholder yang melibatkan pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat sipil untuk membangun tekanan publik konstruktif.

Pada akhirnya, pertanyaan yang harus kita ajukan bukan hanya “kapan Jalan Batam-Bintan akan dibangun?”, tetapi lebih fundamental: “apakah desain desentralisasi Indonesia saat ini memang cocok untuk negara kepulauan seperti Indonesia?” Jika jawaban atas pertanyaan kedua adalah tidak, maka kita memerlukan reformasi desentralisasi yang lebih radikal yang tidak hanya membagi kewenangan, tetapi juga memastikan bahwa setiap daerah, terlepas dari kondisi geografisnya, memiliki kemampuan nyata untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Jalan Batam-Bintan bukan sekadar proyek infrastruktur, tetapi ujian nyata bagi komitmen negara terhadap prinsip keadilan dan pemerataan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Muhammad Razaq (2305010110) Ilmu Pemerintahan, Universitas Maritim Raja Ali Haji

Tags
Show More
Kepriwebsite

Leave a Reply

Close