Opini

TANTANGAN CALON INDEPENDENT

Peluang calon Independent  itu dibuka melalui keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2007, yang mengabulkan pengujian atas UU No 32 Tahun 2004, bahwa ruang yang sama bagi calon lain di luar partai politik dalam pemilihan kepala daerah adalah konstitusional. Sejak saat itu, warga negara yang ingin mencalonkan diri dalam pilkada memiliki dua alternatif, bisa melalui jalur partai politik atau gabungan partai politik, dan jalur non partai atau perseoranganKemudian dalam pasal 41 ayat 1 dan 2 UU Nomor 8/2015. Mewajibkan setiap calon perseorangan untuk membuktikan dukungan masyarakat sebanyak 6,5% sampai 10% sesuai dengan jumlah penduduk dalam satu provinsi, kabupaten atau kota. Namun setelah keluarnya putusan Mahkamah konstitusi No.60/PUU-XIII/2015, jumlah dukungan beralih dari data penduduk menjadi jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) pemilu terakhir.

Sedangkan bagi partai politik atau gabungan partai politik, dapat mengusung pasangan calon kepala daerah jika memiliki kursi sebanyak 20% dari jumlah kursi DPRD atau memiliki perolehan suara sebanyak 25% dari hasil pemilu DPRD (UU Nomor 8/2015 pasal 40 ayat 1). Jika partai politik tidak bisa mencukupi kursi di DPRD sesuai dengan aturan tersebut diatas, tentu saja solusinya harus melakukan Koalisi kepada partai lain agar memenuhi ambang batas pencalonan. Kemudian calon dari partai politik tentu saja harus melakukan lobi-lobi politik dan pendekatan secara persuasive kepada pimpinan atau ketua umum partai, baik dari pimpinan daerah sampai dengan pimpinan pusat. Gunanya untuk mendapatkan rekomendasi pencalonannya ke Komisi Pemilihan Umum.

Kemudian calon dari partai politik harus menyiapkan dana yang besar untuk melakukan proses Marketing politik, inilah konskuensi dari bergesernya demokrasi aliran ke demokrasi electoral. Akhirnya persepsi politisi dan calon kepala daerah tentang politik uanglah yang akan memenangkan kontestasi demokrasi electoral ini.

Sementara itu calon independent atau perseorangan harus turun lapangan mengumpulkan KTP masyarakat didaerahnya, tentu saja tidaklah semudah yang kita bayangkan. Karena itulah pengumpulan dukungan KTP sesuai dengan Daftar Pemilih Tetap tidaklah mudah. Perlu tim yang dibentuk calon independent untuk membantu mengumpulkan KTP dimasyarakat, ini pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Walaupun calon independent atau perseorangan ini merupakan alternative seleksi kepemimpinan politik, yang selama ini dimonopoli oleh partai politik. calon independent atau perseorangan ini masih terbatas pada pemilihan kepala daerah.

Munculnya jalur independent atau perseorangan juga menggeser paradigma partai politik yang sangat dominan dalam seleksi kepemimpinan politik didaerah. Calon perseorangan ini memberikan ruang alternative kepada public untuk bisa memilih orang dari luar partai untuk bisa berpartisipasi dalam pilkada. Ini juga konskuensi dari gagalnya partai politik melakukan pendidikan politik dimasyarakat dan perkaderan politik didalam partai politik. Akhirnya kita bisa dengar dan lihat bahwa dalam partai politik, ada kelompok yang mengatakan partai politik itu curang, sarat money politik, makelar politik, dan selalu ada mahar politik, akhirnya muncul ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik.

Menurut Budi eko wardani direktur pusat kajian politik UI, Berkaca pada pengalaman pilkada sejak 2008, calon perseorangan dapat dikatakan sepi peminat, dan sangat sedikit yang berhasil memenangkan pilkada. Beberapa yang berhasil menang seperti: Irwandi Yusuf (Gubernur Aceh), Aceng Fikri (Bupati Garut), Christian Dillak (Bupati Rote Ndoru), Arya Zulkarnain (Bupati Batubara).  Pada pilkada serentak 2015, menurut survei SSI, ada 35 persen pasangan calon dari jalur perseorangan, dan sebanyak 14 persen di antaranya berhasil menang. Ini bisa diartikan bahwa kesadaran politik masyarakat dalam pilkada serentak kemaren, ternyata calon independent hasil seleksi kepemimpinan non parpol ternyata akseptabilitas dimasyarakat. Walaupun pada tahun 2008 sepi peminat, tetapi ekspektasi untuk 2015 kemaren tidak sepi peminatnya.

Tetapi masih banyak persoalan yang dihadapi oleh calon independent atau calon perseorangan apabila memenangkan kontestasi pemilu. Salahsatunya adalah dalam membuat suatu kebijakan tentunya harus mendapatkan restu dari legislative, sementara itu calon kepala daerah yang terpilih tidak mendapatkan dukungan dari Legislatif, tentu saja ini sangat riskan dan mudah sekali ditolak oleh DPRD. Sesuai dengan UU Nomor 9 tahun 2015 tentang pemerintahan daerah kepala daerah terpilih harus bersama-sama dengan DPRD membahas Perda, penyusunan APBD, serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Disinilah dilemanya  calon kepala daerah terpilih dari calon perseorangan, untuk bisa mendapatkan dukungan dari anggota DPRD. Apalagi di DPRD banyak partai yang tentu saja punya motif, tujuan dan kepentingan yang berbeda.

Akhirnya  tentu saja dalam penyelenggaraan tata kelola pemerintahan juga akan berjalan tidak efektif dan efesien, karena akan muncul ketidakharmonisan antara kepala daerah calon perseorangan dengan DPRD. Kepala daerah harus pandai meyakinkan DPRD bahwa kebijakannya pro rakyat dan tidak ada kepentingan lainnya. Masyarakat yang notabene pendukung calon independent harus juga melakukan proses control sosial, sehingga apabila kebijakan  kepala daerah hasil perseorangan atau independent ini ditolak, masyarakat harus kritis dan selalu mendukung kebijakan kepala daerah tersebut, selagi kebijakannya itu untuk kemaslahatan dan bermanfaat positif untuk masyarakat secara umum. Tetapi kalau seandainya kepala daerah calon perseorangan atau independent tidak amanah dan berintegritas, melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, masyarakat juga harus kritis dan memberikan sanksi sosial untuk diturunkan.

Itu tentu saja ekses atau dampak dari terpilihnya kepala daerah lewat jalur perseorangan atau independent dalam hubungannya dengan DPRD. Dengan demikian ternyata seleksi kepemimpinan politik lewat jalur independent atau perseorangan banyak dilemanya dan juga ada sisi positifnya. Demokrasi semakin cair dalam masyarakat, karena masyarakat bisa menentukan pilihannya tanpa ada gangguan partai politik. Tetapi kembali keatas ternyata pengumpulan KTP penduduk yang disesuaikan dengan DPT terakhir pemilu ternyata lebih riskan dan juga banyak persoalan dilapangan. Perlu solusi yang dibangun biar ada penyetaraan pencalonan antara calon dari perseorangan dengan calon dari partai politik.

Solusinya bisa saja menyetarakan pencalonan, menurut Heroik M Pratama seorang Peneliti Perkumpulan untuk pemilu dan  Demokrasi (Perludem), lebih bagus diturunkan  besaran ambang batas pencalonan perseorangan dari 6,5%-10% menjadi 2-5% berdasarkan DPT terakhir dalam satu daerah. Angka ini  tentu dapat mempermudah pencalon kepala daerah dari independent. Begitu pula dengan ketentuan 20% kursi DPRD atau 25% perolehan suara terakhir, lebih baik dihilangkan. Karena akan memicu praktek jual beli kursi pencalonan kepala daerah dari partai politik.  Semoga bisa terealisasi wacana ini, dengan spirit merevisi UU Nomor 8/2015 tentang Pilkada. Agar ada kesetaraan antara calon perseorangan dan calon dari partai politik. Semoga!!

 

Oleh: Suyito, M.Si
Dosen Stisipol Raja Haji Tanjungpinang

Tags
Show More
Kepriwebsite
Close