Opini
Reorientasi Akuakultur Kepri
Tidak akan ada yang pernah menyangka sebelumnya bahwa sebaran infeksi Coronavirus atau COVID-19 ini akan dengan sangat cepat meluas ke beberapa negara dan mengakibatkan jumlah kematian hingga 258,343 atau sekitar 17% dari kasus positif yang telah dilaporkan secara global per tanggal 6 Mei 2020. Jumlah kasus positif dan kematian yang memiliki grafik linear ini menjadikan mayoritas negara mulai konsisten untuk menerapkan strategi Social distancing, Soft locked down hingga kepada Hard locked down untuk memutus rantai penyebaran virus yang dapat menyebar dengan cepat dari person ke person yang berada dalam jarak dekat (1 – 2 m). Namun, bagaikan dua sisi mata uang, selain bertujuan positif, ternyata strategi ini malah menjadikan penyebaran wabah COVID-19 yang semula dikategorikan sebagai public health crisis sekarang mulai menjadi salah satu penyebab dari berbagai masalah di sektor perekonomian, sosial kemasyarakatan dan keuangan. Tidak terkecuali di sektor akuakultur, yang sebelumnya tergolong sebagai sektor produksi pangan dengan tingkat pertumbuhan paling produktif di kisaran 6 – 8% per tahun, bahkan mulai mengalami kemunduran di masa pandemik ini akibat tidak adanya kepastian di serapan pasar, sistem manajemen produksi dan supply chain.
Bagaimana dengan Provinsi Kepulauan Riau? Provinsi yang memiliki luas wilayah perairan lebih dari 90% memiliki potensi yang sangat besar untuk meningkatkan pendapatan ekonomi daerah dari sektor perikanan, khususnya perikanan budidaya. Secara garis besar, komoditas budidaya yang dapat dikembangkan di wilayah ini terdiri atas Kerapu Epinephelus sp, Kakap putih Lates calcarifer, Kakap merah Lutjanus sp, dan bawal bintang Trachinotus blochii untuk bidang produksi budidaya ikan laut (marikultur). Sementara untuk air payau ada udang putih Litopenaues vannamei dan air tawar diwakili oleh udang galah Macrobrachium rosenbergii, lele Clarias spp, dan nila Oreochromis sp. Khusus Vannamei, jumlah produksi di Kepri terus mengalami peningkatan dan bahkan ekspor komoditas ini ke Singapura, sebelum masa pandemic, menunjukkan trend peningkatan yang cukup signifikan. Namun, akibat banyaknya negara yang menghentikan proses ekspor-import produk perikanan dan menurunnya daya beli masyarakat, industri akuakultur Kepri mengalami dampak penurunan yang sama.
Dampak lain yang ditimbulkan oleh wabah COVID-19 ini adalah semakin meningkatnya kesadaran pelaku usaha bahwa manajemen produksi di Kepulauan Riau belum bisa lepas sepenuhnya dari dukungan daerah lain. Sejak diberlakukannya pemberhentian sementara penerbangan komersial untuk domestik dari tanggal 24 April 2020 sampai 1 Juni 2020, pelaku usaha terkena dampak yang paling signifikan, mulai dari sulitnya mendapatkan benur atau benih ikan berkualitas hingga kepada terganggunya supply chain bahan dan hasil produksi. Kondisi ini tentu menjadi faktor penghambat untuk keberlanjutan produksi dan berpotensi besar menurunkan pendapatan ekonomi dari sektor ini. Oleh karena itu, perlu adanya re-orientasi pembangunan industri akuakultur di Kepri agar sistem produksi dapat berjalan lebih optimal.
Ada 3 (tiga) komponen produksi yang dapat dijadikan prioritas pembangunan di masa mendatang, yaitu: (1) ketersediaan unit panti benih atau Hatchery khususnya untuk produksi benih udang Vannamei, (2) ketersediaan unit industri pakan, dan (3) Ketersediaan cold storage dan processing unit untuk menampung hasil produksi. Ketersediaan Hatchery lebih dikhususkan untuk Vannamei karna berdasarkan data produksi, komoditas ini memiliki trend peningkatan yang lebih baik dibandingkan komoditas lain. Hal ini juga didukung oleh data kenaikan peningkatan arus masuk benur yang cukup signifikan ke wilayah administratif Provinsi Kepri hingga mencapai 192% jika dibandingkan tahun 2018. Jika kebutuhan benur di Kepri per tahun mencapai lebih dari 50 juta, ketersediaan panti benih tentu menjadi sangat penting, khsusunya untuk mengurangi biaya produksi. Bagaimana tidak? Untuk mendatangkan 1 benur dari Jawa ataupun Lampung dibutuhkan biaya antara IDR 75 – 80 sampai di Batam. Kalau produksi bisa dilakukan di Kepri, tentu biaya yang dibutuhkan untuk pembelian benur akan lebih rendah. Studi yang penulis lakukan, dibutuhkan biaya hanya di kisaran IDR 30 – 35 untuk menghasilkan benur berkualitas dengan ukuran yang diinginkan untuk siap ditebar ditambak atau bak pembesaran.
Untuk hatchery, selain teknologi pemeliharaan juga perlu disiapkan manajemen pengadaan dan pengelolaan induk yang baik. Hal ini dapat dilakukan melalui kerjasama antara pemerintah daerah dengan pihak swasta untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal. Terkait dengan induk, masa pandemik ini menjadi ujian tersendiri untuk sistem pengadaan. Secara nasional, induk Vannamei sebahagian besar didatangkan dari U.S sebagai satu-satunya negara yang mendapatkan ijin untuk memasukkan induk udang dengan status SPF atau Specific Pathogen Free / Bebas Patogen Tertentu. Namun, pembatasan transportasi baik domestik maupun internasional menjadi faktor penghambat sehingga banyak pelaku usaha yang kesulitan untuk mendapatkan benur berkualitas dengan jumlah yang diinginkan, termasuk para pelaku usaha di Kepri. Karena benih unggul adalah salah satu penentu awal keberhasilan produksi, pemerintah daerah selayaknya mulai memikirkan pengadaan fasilitas produksi benih unggul di wilayah ini. Perluasan fungsi Balai Benih Ikan yang ada dapat dimanfaatkan secara mandiri atau dikelola secara bersama dengan pihak swasta untuk dapat berkontribusi dalam penyediaan benih, tidak hanya di lokal, tapi juga secara nasional yang membutuhkan 56 Milyar benur udang per tahun untuk mendukung peningkatan produksi higga 250% di tahun 2024.
Komponen kedua adalah ketersediaan unit produksi pakan. Wilayah geografis yang berupa kepulauan dan mengandalkan transportasi air untuk mengangkut sarana produksi tentu akan berdampak kepada naiknya biaya produksi di Kepri. Kenaikan biaya pakan, yang merupakan komponen biaya terbesar dalam industri akuakultur, sangat signifikan akibat transportasi ini dan menjadi faktor pembatas dalam mempertahankan keberlanjutan produksi. Fokus pendirian unit produksi pakan harus diintegrasikan dengan penyediaan bahan baku lokal yang berkualitas, kemampuan teknis dan manajerial serta spesifikasi produksi yang diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan nutrisi spesifik organisme akuatik yang dibudidayakan. Saat ini, lebih dari 98% pakan yang digunakan oleh para pelaku usaha di Kepri berasal dari daerah lain utamanya dari Medan, Lampung dan Pulau Jawa. Transportasi dari daerah asal ke pelabuhan utama di Kepri (Batam) dan dari pelabuhan utama ke lokasi budidaya membuat biaya produksi membengkak hingga > 15%. Hal ini menyebabkan margin keuntungan produksi menjadi sangat kecil dan bahkan beberapa pelaku usaha harus jatuh bangun dalam mempertahankan produksi. Saat ini, Kabupaten Lingga sudah menyiapkan satu unit produksi pakan dengan kapasitas 500 – 600 Kg/jam dan mesin penepung ikan dengan kapasitas > 2 ton / jam. Keberadaan mesin produksi ini perlu didukung secara optimal oleh para stakeholders di Kepri agar ketersediaan bahan baku dapat lebih sustainable dan pakan yang dihasilkan memiliki kualitas yang cukup baik dengan harga yang lebih ekonomis.
Komponen terakhir adalah Cold storage dan processing unit. Keberadaan Cold storage menjadi sangat penting karna produk ikan dan udang tergolong produk yang cepat rusak (perishable). Jikalau tidak segera diproses, nilai ekonomis dan kualitas produk akan jauh menurun. Ketersediaan cold storage juga membantu pelaku usaha untuk menentukan masa panen dan masa jual. Penambahan processing unit dapat membantu menaikkan nilai ekonomis produk melalui perluasan produk yang dihasilkan. Untuk wilayah kelautan dan perikanan seperti Kepri, sudah selayaknya orientasi industri akuakultur mulai diarahkan ke komponen-komponen ini. Apalagi secara geografis kita sudah diuntungkan dengan lokasi yang berdekatan dengan market luar. Potensi sektor perikanan budidaya di Kepri sangat besar, sangat disayangkan kalau tidak dapat dimanfaatkan dan dikelola secara optimal. Semoga di masa pandemik ini, orientasi industri akuakultur Kepri mulai diarahkan kepada pengadaan elemen atau infrastruktur penting untuk meningkatkan dan mempertahankan keberlanjutan produksi akuakultur di negeri segantang lada ini. Semoga***
Oleh:
Dr. ROMI NOVRIADI, M.Sc1
(Wakil Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia)