Opini
Menadah Tangan Kepada Pemimpin
Dilihat dari judulnya saja sudah keliru, bandingkan dengan yang ada pada kondisi lapangan hari ini, sakralnya seorang pemimpin, melebihi sakralnya tuhan yang telah menciptanya dari segumpal darah yang kotor, hina, namun apa boleh dibuat, spritual hari ini telah dirampas, sehingga keyakinan terhadap sang Mahabesar telah benar benar hilang akibat kondisi yang mengharuskan menghamba pada sesuatu yang kecil yaitu manusia itu sendiri (Pemimpin).
Kita tau segala macam musibah , penyakit dan masalah, kebahagiaan, baik buruk, benar, salah yang ada di bumi ini tidak lain tidak bukan adalah sebuah tindakan yang pada dasarnya ada sebab musabab nya, tuhan telah memberi, kita yang menerima dan menjaga, “inni ja’il fi al-alrd khalifah” ada beberapa hal yang dapat kita lihat. Pertama, ayat tersebut menjelaskan bahwa kata khalifah digunakan oleh Alquran untuk siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas, dalam hal ini di sebuah lingkup negara dan daerah ada yang namanya presiden, perdana menteri dan jajaran menteri beserta Organisasi setingkat lainnya, horizontal maupun vertikal, kepala daerah dan seterusnya sampai ketingkat kepemimpinan terkecil sekalipun.
Namun demikian menjadi hal yang tidak pantas ketika pemimpin tidak bertindak dan tidak berbuat apa apa ketika kekacauan disuatu daerah ataupun negara telah mengalami lonjakan yang besar katakan dalam hal ini musibah yang mengaharuskan pemimpin nya bersikap dan memberikan keputusan mutlak, bukan mengimbau dan memantau selayaknya raja yang duduk tenang sambil menyantap kue dan meminum secangkir kopi itu,
Disitu rakyat bisa menilai integritas, loyalitas serta bermental pejuangkah dia sebagai seorang pemimpin tersebut, ketika dihadapkan pada sesuatu yang kacau, dia berlari dan berdiam diri, atau dia turun membuat keputusan dan jalankan, pilihlah.
Lagi lagi pilar demokrasi perlahan ambruk, seiring dengan tergerusnya fenomena dan isu global yang melanda pada 2020 ini, ketika indonesia dulu nya dianggap sebagai negara perjuangan oleh kaum kolonial, namun tidak hari ini dan bukan hari ini, menjadi negara yang takut, lemah dan tidak berani mengambil keputusan, untuk apa juru bicara, untuk apa staf khusus yang masih muda yang katanya berasal dari kaum milineal generasi Z kalau hanya sekedar tren trenan saja demi popularitas semata, hilangnya intelektual serta gagasan hari ini menjadi kan mereka takut untuk berbuat
Lihat lah kondisi akar rumput hari ini yang bentrok dengan propaganda media ilegal (untuk jual jualan semata) yang menakut nakuti, hal hasil menjadi momok bagi mereka untuk mempercayai kepemimpinan yang dipimpin oleh pemimpin tersebut dianggap tidak becus dalam menanggulangi informasi yang terpecah, bahkan setara menteri saja bisa kebablasan berbicara dan tidak tepat dalam menyampaikan informasi yang valid buat rakyat nya, Diam bukan bagian dari solusi, dirumah bukan solusi juga ketika keran investasi luar masih terbuka, proyek pembangunan skala besar masih belum berhenti, lalu lintas manusia masih berjalan, UU belum diterapkan sepenuhnya, dan hak asasi manusia belum jadi bagian dari prioritas buat pemimpin beserta jajarannya, selama belum ada keputusan dan penerapan selama itu juga lah kita terombang ambing seperti buih dilautan, tidak tau kemana, tidak ada intruksi yang jelas, himbauan dan surat edaran yang saling bertabrakan dan tidak sesuai dengan kondisi yang ada, menjadi kan kita bingung sebagai bagian dari negara, Alamat lah kapal.