
Opini
RAKYAT DIKORBANKAN ATAS NAMA
Menjelang Pilkada didaerah sering kita dengar atas nama rakyat, rakyat sering dijadikan alasan para calon pemimpin didaerah untuk komoditi politiknya. Komoditi politik atas nama rakyat telah membungkam para konstituen didaerah untuk percaya dengan slogan dan kampanye para politisi yang mencalonkan jadi pemimpin. Kampanye para politisi seperti para penyihir yang serius akan memperjuangkan aspirasi rakyat, oleh karena itu atas nama rakyat sering selalu dipakainya saat dialog dimana-mana. dialog para calon pemimpin politik dengan kemasan gaya komunikasi politiknya kepada public, tetap memberikan harapan kepada pendengarnya bahwa atas nama rakyatlah mereka siap maju jadi pemimpin.
Secara sosiologis bisa dilihat bahwa kalau segmen masyarakat pedesaan, bisa saja menyihir para rakyat disana, tetapi kalau masyarakat perkotaan yang lebih maju dari pedesaan tentunya akan menghadapi masyarakat yang sangat individualisme dan tidak bisa hanya cek kosong saja dalam melakukan kampanye. Meski atas nama rakyat sering dikorbankan atas nama, tetapi dalam prakteknya rakyat tidak mendominasi dalam setiap proses demokrasi. Dalam kondisi perpolitikan yang sangat kapitalis hari ini, politik uang sangat memainkan peran yang sangat dominan. Yang menjadi pemain tentu saja politisi yang berduit dan sangat lihai dalam kompetisi politik atas nama rakyat. Kompetisi politik para calon penguasa telah mengkondisikan rakyat didaerah hanya untuk melegitimasi kekuasaannya. Setelah terpilih para penguasa sudah lupa jargon atas nama rakyat sering diucapkannya. Akhirnya pertarungan-pertarungan merebut kekuasaan didaerah hanya untuk pemuas nafsu para penguasa menguasai panggung politik rakyat. Rakyat semakin pintar dalam menyikapi politisi yang hanya minta legitimasi untuk duduk sebagai wakilnya, tetapi tidak bisa dipercaya.
Di masyarakat sering kita dengar Golput atau golongan putih, yang tidak mau memilih para wakilnya karena sering mengobral janji dalam prakteknya. Tetapi Golput itu mengalami perubahan makna sehingga menjadi Golongan Pengumpul Uang Tunai. Rakyat dilapangan tidak percaya dengan janji-janji kosong, jadi kalau tidak ada duitnya dalam dialog atau kampanye para politisi, mereka tidak akan menghadirinya. Persepsi ini sudah terdengar dimana-mana di kalangan masyarakat. Para tim sukses calon pemimpin politik yang turun kelapangan yang berburu suara masyarakat membagikan uang, rakyat pun menjadi senang menerimanya. Walaupun secara etika politik itu merupakan cara-cara yang tidak bermartabat, tetapi begitulah realitas politik saat ini. Pertarungan politiknya bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi pertarungannya untuk membeli suara rakyat. Jadi wajar saja rakyat menyikapinya dengan adanya pilkada daerah, persepsi masyarakat semakin pragmatisme dalam menentukan pilihan politiknya. Akibat dari semakin tidak berdaulatnya rakyat dalam demokrasi, tetapi demokrasi politik sudah dikangkangi oleh para pemilik modal yang berwajah dua. Berwajah dua dalam artian berwajah pemimpin tetapi bertindak seorang bisnis. Jadi menjadi seorang pemimpin politik hanya untuk mengamankan kepentingan bisnisnya.
Padahal makna demokrasi secara teoritis adalah kekuasaan ditangan rakyat (rule by the people). Demokrasi juga pada intinya adalah partisipasi masyarakat untuk ikut secara aktif dalam memilih dan ikut mengawasi secara terus-menerus, tapi kita lihat sekarang masyarakat mulai apatis. Karena dalam prakteknya rakyat tidak berdaulat, tetapi dikuasai oleh kekuasaan oligharkis atau segelintir orang. Padahal secara analisis fungsional pemimpin yang saat kampanye punya jargon atas nama rakyat, semestinya dalam berpikir dan bertindak selalu atas nama rakyat. Kepentingan rakyat selalu nomor wahid, apalagi dalam melahirkan kebijakan selalu pakai kaca mata rakyat. Sehingga kedaulatan rakyat dalam demokrasi benar-benar terwujud. Tetapi kenapa dalam kenyataannya kekuasaan itu ditangan segelintir orang. Jargon atas nama rakyat dikalahkan oleh kepentingan politik ekonomi. Kapitalisme politik menciptakan atas nama rakyat menjadi tidak berdaulat lagi, dan yang sangat tragis pilar-pilar demokrasi hancur dibuatnya.
Kekuatan demokrasi tidak lagi sejalan dengan spirit demokrasi itu sendiri,akibat tersandera oleh kepentingan para elit politik yang selalu kawin kepentingan dengan para pemodal. Akhirnya terjadi De-demokratisasi yaitu kondisi ketika ruang demokrasi dikendalikan kekuatan gabungan korporasi, parpol, dan kekuatan negara, di mana yang memiliki peran sentral di dalamnya adalah para bankir investasi, CEO korporat, broker,taipan media, branding consultant, dan event organization, dengan target utama mereka adalah akumulasi modal, untuk kemudian diinvestasikan di dalam ”pasar politik” demi kekuasaan (Brown, 2010). Ditambah lagi politik kita dikuasai dan dikendalikan oleh pemilik modal, konsekuensinya, masyarakat tidak lagi menjadi citizen, melainkan sebagai consume.
Masyarakat didikte oleh pemilik modal, seperti Carrefour yang biasa bertebaran di sudut-sudut kota. Padahal, di negaranya sendiri (baca: perancis), Carrefour berada dipinggiran. Politik kita saat ini benar-benar didikte untuk menjadi consumer. Karena itu diperlukan political efficacy, yaitu bagaimana warga Negara mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi keputusan politik. Inilah gambaran yang terjadi didalam dunia demokrasi politik saat ini. Padahal ada kredo yang mengatakan suara rakyat suara tuhan atau vox vovoli vox dei.
Suara rakyat direkayasa oleh mesin hitung yang namanya survey, sehingga survey sudah menjadi tuhan baru dalam demokrasi politik. Kebenaran sudah dikalahkan opini dan survey yang tidak bertanggungjawab dimasyarakat. Ditambah lagi dengan propaganda dan agitasi dimasyarakat yang sudah membelokkan kebenaran, akibat dari agenda setting oleh media. Demi kekuasaan para pemimpin politik melakukan propaganda dan agitasi dengan pencitraan media.
Kepada masyarakat untuk selalu cerdas dan hati-hati dalam pemilu serentak berikutnya. Karena pemimpin politik pasti akan mendatangi rakyatnya lagi, karena alasannya sebagai bentuk partisipatif, tetapi partisipasinya semu. Waspadalah terhadap para calon pemimpin yang sering mengorbankan rakyat atas nama, karena tujuannya tidak lain adalah membeli suara rakyat. Kemudian rakyat juga harus cerdas dengan pidato-pidato politik yang menjadikan rakyat hanya sebagai subjek retorika belaka. Semoga rakyat semakin cerdas dan pintar untuk tidak memilih para calon pemimpin yang sering menggunakan atas nama rakyat, tetapi hanya slogan dan membohongi rakyat.
Oleh: Suyito, M.Si Dosen stisipol Raja Haji Fisabilillah Tanjungpinang