
Uncategorized
AKTUALISASI PANCASILA SEBAGAI FALSAFAH BANGSA INDONESIA
AKTUALISASI PANCASILA SEBAGAI FALSAFAH BANGSA INDONESIA
Ditulis Oleh : Syafrizal, Ketua UMUM PC APPPI Lingga
“Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar”
( John Gardner,1992)
Kelahiran pancasila 1 Juni 1945 mengharuskan bangsa yang besar yang terdiri dari gugusan pulau-pulau ( archipelago) berjumlah 17.504 pulau tersebar dari sabang sampai merauke merenungkan kembali sejarah lahirnya pancasila sebagai satu weltanschauung, satu dasar falsafah pemersatu bangsa (Soekarno,1958). Para pendiri bangsa jauh berpikir kedepan untuk keberlangsungan bangsa yang besar dan kaya raya, dari itu lahirlah pancasila suatu cara pandang bangsa sebagai sebuah ideologi yang saat ini sudah berusia sebaya dengan negara indonesia yaitu 71 tahun.
Kelahiran pancasila, tak perlu diperdebadkan lagi. Bung karno telah menyampaikan pidato bersejarah tanggal 1 Juni 1945 itu benar-benar untuk menjawab tantangan Dr. Radjiman Wediodiningrat tentang perlunya suatu filosophische grondslag bagi negara indonesia yang merdeka. Dalam perjalannya ia mengalami pengayaan redaksional dan semantik hingga menjadi rumusan final pancasila yang tertuang pada pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Cara pikir para pendiri bangsa sudah menempatkan pancasila pada suatu tatanan falsafah yang ideal, dengan memperhatikan seluruh aspek kehidupan yang relevan untuk bangsa yang kaya dengan keragaman suku, budaya, adat dan lain sebagainya tanpa harus ada perpecahan di dalamnya. Falsafah tersebut tidak lah hanya menjadi hafalan tekstual semata melaikan penghayatan dan pengamalannya dalam kehidupan berbangsa sehingga pancasila benar-benar dijadikan landasan berpikir bangsa ini.
Dengan kelahiran pancasila yang ke 71 tahun ini mungkin perlu di ingatkan, meskipun Undang-Undang Dasar kita sejak proklamasi telah mengalami beberapa kali perubahan, namun ia selalu menegaskan didalam Mukadimahnya, bahwa kemerdekaan kita harus disusun berdasarkan pancasila, yang mengandung lima sila saling berkaitan satu sama lain.
Kelima sila itu memiliki landasan yang kuat untuk diaktualisasikan sebagai falsafah bangsa. Dalam memahami, meyakini dan mengamalkannya, hendaklah diingat bahwa pancasila bukan hanya dasar statis melainkan juga dasar yang dinamis yang mesti responsif terhadap dinamika perkembangan zaman. Untuk itu pancasila senantiasa terbuka bagi proses pengisian dan penafsiran baru, dengan syarat memerhatikan semangat dasar yang terkandung di dalamnya serta kesalingterkaitan antarsila.
Pengamalan nilai-nilai pancasila hanya dapat terlaksana apabila ada ketaatan dari warga negara. Ketaatan kenegaraan ini, menurut Notonogoro (1974), yakni :
Pertama, Ketaatan Hukum, yang terkandung dalam pasal 27(1) UUD 1945,berdasarkan atas keadilan legal. Kedua, Ketaatan kesusilaan, berdasarkan atas sila kedua pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketiga, Ketaatan keagamaan, berdasarkan sila pertama pancasila, pasal 29 (1) UUD 1945,berkat rahmat Allah yang maha kuasa dalam alenia ketiga pembukaan UUD 1945. Keempat, ketaatan mutlak atau kodrat, atas dasar bawaan kodrat dari organisasi hidup bersama dalam bentuk masyarakat,lebih-lebih dalam bentuk negara, organisasi hidup kesadaran dan berupa segala sesuatu yang dapat menjadi pengalaman manusia, baik pengalaman tentang penilaian hidup yang meliputi lingkungan hidup kebendaan, kerohanian dan relegius,lingkungan hidup sosial ekonomis, sosial-politis, dan sosial Kultural.
Maka dari itu pusat teladan dari ketaatan ini adalah semangat para penyelenggara negara. Sebaik apapun kandungan pancasila dan turunannya UUD 1945, itu hanyalah keluhuran diatas kertas, jika tanpa kesunguhan untuk mendagingkan nilai-nilai itu dalam penyelenggaraan negara.
Dalam usaha membumikan mengaktualisasikan pancasila dari alam idealitas menuju alam realitas kita perlu menghayati fitrah ( semangat asal ) bernegara seperti yang dipesankan dan dicontohkan oleh para pendiri bangsa. Fitrah pertama adalah semangat “menuhan” (ketakwaan kepada tuhan). Fitrah kedua semangat kekeluargaan. Fitrah ketiga semangat keikhlasan dan ketulusan. Fitrah keempat semangat pengabdian dan tanggungjawab. Fitrah kelima semangat keadilan dan kemanusiaan. Fitrah keenam adalah kejuangan.
Sejauh ini, nilai-nilai ideal pancasila itu belum sepenuhnya terbumikan dan teraktualisasikan dalam kenyataan, terutama karna krisis keteladanan para penyelenggara negara. Membumikan pancasila sebagai pantulan cita-cita dan kehendak bersama, mengharuskan pancasila hidup dalam realita, tidak hanya jadi retorika atau verbalisme dipentas politik. Karna itu rejuvenasi pancasila harus dilakukan dengan cara mengukuhkan kembali posisinya sebagai dasar falsafah bangsa, mengembangkannya kedalam wacana ilmiah, mengupayakan konsistensinya dengan produk-produk perundangan, koherensi antar sila, dan korespodensi dengan realitas sosial dan menjadikannya sebagai karya, kebanggaan, dan komitmen bersama.
Sehubung dengan momentum kelahiran pancasila 1 Juni 2016, mari kita bumikan dan aktualisasikan pancasila sebagai falsafah bangsa indonesia yang menjadi harapan para pendiri bangsa tercinta. Kalau bukan sekarang, kapan lagi ? Kalau bukan kita, siapa lagi ? Marilah kita gemakan terus semboyan Bung Hatta: ” Diatas segala lapangan tanah air, aku hidup, aku gembira.dan dimana kakiku mengijak bumi indonesia,disanalah tumbuh bibit cita-cita yang kusimpan dalam dadaku.”Lantas ia pun berikrar dengan mengutip seungkai sajak Rene De Clerq: ” hanya ada satu tanah air yang bernama tanah airku. Ia makmur karna usaha, dan usaha itu adalah usahaku.