
Uncategorized
INDONESIA KAYA TAPI MISKIN: MINIM POTENSI SUMBER DAYA MANUSIA
INDONESIA KAYA TAPI MISKIN: MINIM POTENSI SUMBER DAYA MANUSIA
Angga Niksa Putra
Kader HMI Komisariat
STISIPOL RH
Istilah daya saing sudah melekat begitu erat sebagai menghadapi globalisasi. layaknya udara yang bersih dari polusi untuk bernapas secara baik, daya saing adalah syarat mutlak di era globalisasi. Daya industri pun menjadi salah satu unsur penentu keberhasilan pembangunan suatu Negara. Daya saing dan daya industri suatu Negara yang semakin baik, akan berpengaruh positif terhadap beberapa indikator ekonomi, seperti kinerja perdagangan.
Namun, sangat disayangkan, Indonesia belum berada pada titik mampu berdaya saing. Faktor utamanya sebagai penyebab adalah kondisi Sumber Daya Manusia (SDM) yang rata-rata belum memiliki latar pendidikan dan keahlian yang cukup. Dalam konsep pasar kerja bebas.
Data BPS tahun 2014 mencatat angkatan kerja Indonesia didominasi kelompok berpendidikan rendah. Ada 49,39 juta tenaga kerja yang hanya lulus Sekolah Dasar. Jumlah ini adalah hampir separuh dari total tenaga kerja negeri ini. Selanjutnya sebanyak 40,39 juta tenaga kerja hanya punya ijazah SMP, sedangkan di level SMA sebanyak 30,43 ijazah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Bagaimana dengan bangku kuliah? Level diploma berjumlah 3,96 juta lulusan sementara strata satu berjumlah 9,79 juta orang
Jika demikian, rata-rata pekerjaan seperti apa yang dapat di peroleh 49,39 juta pekerjaan yang hanya memakai seragam putih merah (lulusan Sekolah Dasar)? Mereka hanya mampu mendukung sektor padat karya. Padahal, sektor industri padat karya memiliki kontribusi yang rendah terhadap pertumbuhan. Mereka adalah buruh pabrik, buruh perkebunan, pekerja domestic, dan pekerja informal lainnya.
Jika dilihat dari lapangan kerja utamanya, konsentrasi angkatan kerja Indonesia masih didominasi oleh tenaga kerja dari sektor pertanian. Badan Pusat Statistik mencatat, pada 2014, konsentrasi tenaga kerja di bidang pertanian mencapai 40,83 juta orang (34,36%) dari total angkatan kerja. Sektor perdagangan dihuni 25,81 juta orang (21,43%) pekerja, sektor jasa kemasyarakatan di tempati 18,43 juta orang (16,43%) pekerja, dan 1,93 juta orang (1,50%) sisanya adalah pekerja sektor-sektor lainnya.
Sektor pertanian yang menyerap sekitar 34,46% pekerja, hanya mampu member kontribusi terhadap produk local yang di hasilkan (Padi) sekitar 22,70%. Tentu saja ada banyak faktor yang menjadi penyebab, teknologi pertanian, terutama di level akar rumput di wilayah terpencil, masih mengandalkan cangkul ketimbang traktor. Dan selama belasan tahun mengandalkan hujan sebagai sumber pengairan. Di tempat yang lebih maju, ketika traktor sudah banyak berkeliaran di petak-petak sawah, kelangkaan pupuk datang menghadang.
Dan ketika kita mendengar yang namanya pengangguran tidak lepas yang namanya masalah, masalah pengangguran ini mempunyai dampak negative dari segala aspek, karna pada umumnya orang yang menganggur mempunyai kadar stress atau tekanan yang lebih tinggi di bandingkan orang yang bekerja normal. Banyak dari mereka yang merasa malu dengan masyarakat karna pada usia muda mereka menjadi pengangguran, dan ada dari mereka yang menganggur terlalu lama dan akhirnya menjadi malas ddan menjadi sampah masyarakat.
Dan salah satu langkah untuk bersaing di bidang SDM adalah dengan membuat SDM yang andal memiliki ijazah kelulusan sekolah formal saja, tak cukup untuk di jadikan modal bagi tenaga kerja untuk kompeten. Tenaga kerja harus berusaha untuk memiliki kemampuan yang lebih karena dunia usaha/industri, terutama perusahaan-perusahaan multinasional selalu menggunakan tenaga kerja berkualitas dan bersertifikasi. Itu sebabnya, memiliki tenaga kerja yang andal dengan kemampuan sejajar dengan tenaga kerja asing, merupakan salah satu tujuan dari strategi ketenagakerjaan nasional. Untuk itu, kebijakan yang berhubungan dengan persiapan dan pengembangan tenaga kerja besertifikasi dan siap pakai, memerlukan sejumlah strategi berikut.
Dan ada empat strategi yang seharusnya di lakukan di tahun 2016 seperti memperluas dan meningkatkan akses warga negara, meningkatkan jumlah tenaga kerja yang memiliki kopetensi, menambah infastruktur yang mendukung pengembangan tenaga kerja, dan mengoptimalkan komunikasi antar kementrian/lembaga.