KampusOpini

Kesadaran Akan Spiritualitas Alam di Era Antroposen

Kita hidup di sebuah zaman yang oleh para ilmuwan disebut era Antroposen, sebuah zaman ketika aktivitas manusia menjadi kekuatan utama yang mengubah wajah bumi. Pada masa ini, hutan ditebang demi lahan industri, laut terkotori plastik, karbon di udara bertambah, dan iklim pun berubah. Ironisnya, semua itu dilakukan atas nama “kemajuan” yang didukung oleh sains dan teknologi. Pertanyaannya, apakah sains masih berpihak pada kehidupan, atau justru telah menjadi alat perusak bumi yang ia teliti?

Sejak revolusi industri, sains berkembang pesat dengan semangat untuk menguasai alam. Pandangan Descartes dan Bacon bahwa alam adalah objek yang harus ditaklukkan demi kesejahteraan manusia menjadi fondasi bagi lahirnya sains modern. Mesin, pabrik, dan sistem produksi masif menjadi bukti keberhasilan ilmu pengetahuan dalam memanipulasi hukum-hukum alam untuk kepentingan manusia. Namun, keberhasilan itu datang dengan harga yang mahal: kerusakan ekologi global.

Padahal, di balik formula dan eksperimen, ada nilai-nilai epistemologis dan etis yang membentuk arah perkembangan sains. Bila ilmu hanya didefinisikan sebagai cara paling efisien mencapai hasil, maka manusia akan terus mengulang kesalahan: memperlakukan alam bukan sebagai rumah, melainkan sumber daya yang tak ada habisnya. Hal ini mengingatkan kita bahwa ilmu tanpa kebijaksanaan adalah bumerang yang mematikan.

Istilah Antroposen bukan sekadar istilah ilmiah, melainkan cermin dari krisis kesadaran manusia modern. Kita mengira sains bisa mengendalikan semuanya, tetapi justru ia kehilangan kendali atas dampaknya sendiri. Perubahan iklim, banjir bandang, dan kebakaran hutan adalah contoh suara alam yang menuntut pertanggungjawaban. Ia tidak berbicara dengan bahasa manusia, tetapi dengan gejala-gejala yang mengguncang peradaban.

Pengetahuan sejati bukan hanya tentang mengetahui bagaimana, tetapi juga mengetahui mengapa. Mengapa manusia harus meneliti? Untuk siapa sains dikembangkan? Dan sampai di mana batas moral dalam penerapan teknologi? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang sering diabaikan di ruang laboratorium dan ruang kuliah. Padahal, tanpa kesadaran etis, sains akan kehilangan orientasi kemanusiaannya.

Sains seharusnya tidak berhenti pada pencapaian teknologi, tetapi bergerak menuju kesadaran ekologis. Kesadaran ini berarti memahami bahwa manusia adalah bagian dari jaringan kehidupan, bukan penguasa tunggal di atasnya. Dalam perspektif ini, filsafat ekologi menempatkan manusia bukan di atas alam, tetapi di dalamnya, sebagai simpul dalam sistem yang saling bergantung. Contohnya dapat kita lihat dari munculnya konsep green science atau sains hijau, yang menekankan penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. Ilmu kimia, misalnya, mulai mengembangkan prinsip green chemistry untuk mengurangi limbah berbahaya. Teknologi energi terbarukan dikembangkan bukan semata demi keuntungan ekonomi, melainkan untuk menjaga keseimbangan alam. Di sinilah sains menemukan kembali jati dirinya sebagai alat untuk merawat kehidupan.

Namun perubahan paradigma ini tidak akan terjadi hanya dengan teknologi, melainkan melalui pergeseran kesadaran. Kita memerlukan ilmuwan yang tidak hanya pintar menghitung, tetapi juga bijak menimbang. Guru sains yang tidak hanya mengajarkan rumus, tetapi juga menumbuhkan empati terhadap bumi. Masyarakat yang tidak hanya mengagungkan hasil riset, tetapi juga memahami nilai moral di baliknya.

Di tengah derasnya arus rasionalitas modern, sains seringkali diposisikan seolah-olah berdiri berseberangan dengan spiritualitas. Padahal, jika kita menelusuri lebih dalam akar sejarah ilmu pengetahuan, keduanya justru lahir dari rahim yang sama: rasa takjub terhadap alam semesta. Dari keajaiban langit malam yang dipenuhi bintang, dari aliran air yang tak pernah berhenti, dari pertumbuhan sehelai daun yang tampak sederhana tapi menyimpan sistem fotosintesis yang kompleks, semua itu menggugah manusia untuk berpikir, bertanya, dan merenung.

Rasa takjub inilah yang disebut sebagai the sense of wonder, sumber lahirnya pengetahuan sejati. Sains yang sejati bukan sekadar hasil dari observasi dan eksperimen, melainkan ekspresi rasa kagum manusia terhadap keteraturan alam. Namun dalam perjalanannya, semangat itu mulai terkikis. Sains modern sering kali terjebak dalam positivisme kering, menganggap bahwa hanya yang dapat diukur dan diuji yang bernilai ilmiah, sementara dimensi makna dan kesucian alam diabaikan.

Padahal, spiritualitas tidak selalu berarti agama dalam pengertian formal. Ia adalah kesadaran akan keterhubungan, bahwa manusia, alam, dan seluruh ciptaan merupakan satu sistem yang saling memengaruhi. Seorang ilmuwan sejati, ketika meneliti struktur DNA atau hukum gravitasi, sebenarnya sedang menyelami rahasia keteraturan yang lebih besar. Dia sedang berhadapan dengan sesuatu yang transenden, yaitu sesuatu yang melampaui batas indra tetapi hadir dalam setiap fenomena alam.

Tradisi keilmuan Islam telah lama mengenal pandangan semacam ini. Al-Qur’an menyebut alam sebagai ayat-ayat kauniyah, tanda-tanda kebesaran Tuhan yang dapat dibaca oleh manusia yang berakal. Maka, meneliti alam bukan sekadar kegiatan akademik, tetapi juga tindakan spiritual, sebuah ibadah intelektual. Ketika ilmuwan menyingkap rahasia alam, ia sejatinya sedang mendekatkan diri kepada Sang Pencipta melalui pemahaman.

Demikian pula dalam tradisi Timur lainnya, seperti pandangan Taoisme, alam dipandang sebagai manifestasi harmoni kosmik. Dalam konsep Tao, manusia dianggap selaras dengan arus kehidupan alam semesta. Keseimbangan, bukan dominasi, adalah bentuk tertinggi dari kebijaksanaan. Di sinilah filsafat sains modern dapat belajar banyak dari kearifan kuno: bahwa pengetahuan tanpa keseimbangan akan membawa kehancuran, bukan kemajuan.

Bahkan sains kontemporer mulai menyadari keterbatasan rasionalitas murni. Fisikawan kuantum menunjukkan bahwa realitas tidak sepenuhnya dapat dipahami secara mekanistik. Ada ruang misteri di dalam hukum-hukum alam, sebuah wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh logika semata, tetapi dapat dirasakan sebagai kehadiran yang agung dan tak terkatakan. Dalam kesadaran inilah, sains dan spiritualitas bertemu kembali: keduanya sama-sama mengajarkan kerendahan hati di hadapan misteri semesta.

Ketika manusia kembali menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari ekosistem yang suci, maka cara kita memandang bumi pun berubah. Menebang pohon bukan lagi sekadar tindakan ekonomi, tetapi juga moral. Membuang sampah ke sungai bukan lagi urusan kebersihan, melainkan penghinaan terhadap kehidupan. Dalam kerangka spiritualitas ekologis, menjaga alam berarti menjaga diri sendiri, karena manusia dan bumi berbagi satu napas kehidupan.

Sains yang berpadu dengan spiritualitas tidak mengajak kita menolak teknologi, melainkan mengajarkan keseimbangan: bahwa inovasi harus berjalan seiring dengan kesadaran moral. Bahwa setiap kemajuan harus diimbangi dengan pertanyaan etis: Apakah ini baik bagi kehidupan? Apakah ini menjaga keberlanjutan bumi? Inilah bentuk tertinggi dari filsafat sains di era Antroposen, yaitu bukan sekadar mengerti hukum alam, namun juga menghormati makna kehidupan yang dikandungnya. Dengan demikian, spiritualitas alam bukanlah romantisme masa lalu, melainkan arah baru bagi masa depan sains. Di tengah krisis ekologis global, mungkin inilah saatnya kita berhenti berperang dengan alam, dan mulai berdialog dengannya. Sebab pada akhirnya, bumi tidak membutuhkan manusia untuk bertahan hidup, kitalah yang membutuhkan bumi untuk tetap hidup.

Era Antroposen menuntut arah baru bagi ilmu pengetahuan: dari dominasi menuju kolaborasi, dari eksploitatif menuju empatik. Ilmu tidak boleh lagi hanya menjawab “apa yang bisa dilakukan manusia terhadap alam”, tetapi juga “apa yang bisa dilakukan manusia untuk menjaga alam”. Sains harus menjadi jembatan antara pengetahuan dan kebijaksanaan, antara logika dan moralitas. Mungkin inilah saatnya kita kembali bertanya pada diri sendiri:
Apakah kita masih ingin menjadi penguasa bumi, atau penjaga kehidupan? Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan masa depan sains dan kemanusiaan. Karena di era Antroposen ini, masa depan bumi bukan ditentukan oleh seberapa canggih ilmu pengetahuan kita, tetapi seberapa bijak kita menggunakannya.

 

(oleh: Ardi Widhia Sabekti, Mahasiswa S3 Pendidikan IPA UNS)

Tags
Show More
Kepriwebsite

Leave a Reply

Close