
Pernahkah Anda membaca satu paragraf berulang kali, tapi tetap tidak mengerti isinya? Atau sebaliknya, Anda tahu kapan waktu terbaik untuk belajar dan strategi mana yang paling efektif bagi Anda? Kalau iya, selamat! Anda sedang menggunakan metakognisi — kemampuan berpikir tentang pikiran sendiri.
Sayangnya, metakognisi sering dilupakan dalam dunia pendidikan, padahal inilah salah satu kunci sukses belajar yang paling kuat. Artikel ini akan mengupas mengapa metakognisi penting, bagaimana cara melatihnya, dan apa dampaknya bagi pembelajaran.

Apa Itu Metakognisi?
Secara sederhana, metakognisi adalah “berpikir tentang berpikir”. Lebih teknisnya, ini adalah kemampuan seseorang untuk menyadari, memantau, dan mengatur proses berpikir dan belajar mereka sendiri.
Menurut para ahli, seperti Livingston (2003) dan Schraw & Dennison (1994), metakognisi mencakup kesadaran diri terhadap cara berpikir, serta kemampuan untuk mengevaluasi dan mengendalikan proses itu secara aktif. Dengan kata lain, ini adalah sistem navigasi internal otak kita saat belajar.
Dua Pilar Utama: Pengetahuan dan Regulasi
Metakognisi terdiri dari dua komponen besar:
1. Pengetahuan Metakognitif – mencakup apa yang kita tahu tentang cara kita sendiri (dan orang lain) berpikir dan belajar. Ini terbagi menjadi:
o Pengetahuan deklaratif: tahu apa (misalnya, tahu bahwa Anda belajar lebih baik dengan diagram daripada teks panjang).
o Pengetahuan prosedural: tahu bagaimana cara melakukannya.
o Pengetahuan kondisional: tahu kapan dan mengapa menggunakan strategi tertentu.
2. Regulasi Metakognitif – melibatkan kemampuan merencanakan strategi belajar, memantau apakah strategi tersebut berhasil, dan mengevaluasi hasil akhirnya. Proses ini membantu kita untuk tidak sekadar belajar lebih banyak, tapi belajar lebih cerdas.
Apa Bedanya dengan Kecerdasan?
Banyak orang mengira metakognisi hanyalah bagian dari kecerdasan. Namun, menurut psikolog ternama Robert Sternberg, metakognisi lebih dari itu. Ia bukan soal berapa cepat Anda memahami sesuatu, tapi seberapa baik Anda mengelola cara berpikir Anda. Orang cerdas bisa tetap gagal dalam belajar jika tidak sadar bagaimana cara terbaik mereka menyerap informasi.
Bisa Diajarkan? Tentu Bisa!
Kabar baiknya, metakognisi bisa dikembangkan. Pendekatan seperti Cognitive Strategy Instruction (CSI) terbukti efektif dalam membantu siswa menyadari proses berpikir mereka sendiri. Strategi seperti refleksi diri, penilaian mandiri, dan diskusi terarah juga bisa meningkatkan kesadaran metakognitif.
Contohnya, pendekatan Betty’s Brain dalam pembelajaran berbasis komputer, atau pendekatan PRO (Premise-Reasoning-Outcome) yang mendorong siswa berpikir reflektif, telah berhasil menumbuhkan kesadaran berpikir kritis dan ilmiah. Berikut adalah website yang memuat strategi belajar dengan memanfaatkan dahsyatnya metakognisi https://lse.ascb.org/evidence-based-teaching-guides/student-metacognition/supporting-student-learning-strategies/.
Bagaimana Menilainya?
Metakognisi dapat dinilai melalui berbagai cara, seperti:
- Metacognitive Awareness Inventory (MAI): kuesioner yang mengukur kesadaran dan regulasi metakognitif.
- Refleksi tertulis dan observasi: siswa diminta menceritakan kembali proses berpikir mereka.
- Two-tier test: yang menguji baik pemahaman konsep maupun alasan di balik jawabannya.
Mengapa Penting?
Meningkatkan metakognisi memberikan berbagai keuntungan luar biasa:
- Meningkatkan penguasaan konsep
- Memperkuat motivasi dan kemandirian belajar
- Menumbuhkan kreativitas dan kesadaran belajar
- Memperbaiki keterampilan berpikir kritis dan analitis
Yang lebih penting, metakognisi merupakan inti dari self-regulated learning—kemampuan belajar secara mandiri, aktif, dan penuh tanggung jawab.
Waktunya Melirik yang Terlupakan
Di tengah gempuran teknologi pendidikan dan tuntutan hasil belajar tinggi, kita sering melupakan satu hal mendasar: kesadaran atas proses berpikir kita sendiri. Metakognisi bukan hanya alat bantu, tapi fondasi utama belajar yang efektif.
Jadi, lain kali saat Anda atau anak Anda mengalami kesulitan belajar, jangan langsung menyalahkan materi atau metode. Cobalah bertanya: Sudahkah saya berpikir tentang cara saya berpikir?
Oleh:
Nur Eka Kusuma Hindrasti
(Mahasiswa S3 Pendidikan IPA Universitas Sebelas Maret)