
Pendidikan
Potensi Biogas sebagai Energi Terbarukan
Di Tengah meningkatnya krisis energi global dan ancaman perubahan iklim yang semakin nyata, dunia kini berlomba-lomba mencari sumber energi alternatif yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Salah satu solusi yang mulai mendapat perhatian luas adalah biogas—energi yang berasal dari bahan organik dan mampu memberikan manfaat ganda: menghasilkan energi sekaligus mengelola limbah. Pemanfaatan biogas ini secara langsung mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama SDG 7 (Energi Bersih dan Terjangkau), SDG 13 (Penanganan Perubahan Iklim), dan SDG 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab).
Apa Itu Biogas?
Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses fermentasi anaerobik (tanpa oksigen) yang dibantu oleh bakteri anaerob  terhadap bahan-bahan organik seperti limbah pertanian, kotoran ternak, limbah makanan, hingga sampah rumah tangga organik. Komponen utama dari biogas adalah metana (CH₄) dan karbon dioksida (CO₂), yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak, listrik, hingga bahan bakar kendaraan setelah proses pemurnian.

(sumber: screenshoot dari ruangguru.com)
Faktor yang mempengaruhi terbentuknya biogas antara lain:
- Jenis bahan organik (substrat).
Jenis bahan organic berpengaruh pada lama waktu fermentasi. Masing-masing bahan organic memiliki total padatan yang berbeda-beda sehingga proses pembusukan material juga akan berbeda. - Derajat Keasaman (pH).
Derajat keasaman pada proses fermentasi akan mengalami penurunan menjadi 6 kali atau lebih rendah akibat terbentuknya asam organic. Kehidupan mikroorganisme selama proses fermentasi efektif pH 6,5-7,5. Setelah 2-3 minggu pH akan naik Kembali menandakan perkembangan bakteri metan. Penurunan pH dapat dicegah dengan penambahan larutan kapur Ca(OH)2 atau CaCO3. - Imbangan C/N.
Aktivitas mikroorganisme yang berperan selama proses fermentasi tergantung dari imbangan C/N. Mikroorganisme beraktivitas maksimum jika C/N 25. Imbangan C/N yang tinggi menyebabkan produksi metan rendah sehingga kadarN rendah. N dibutuhkan untuk sumber energi perkembangbiakan mikroorganisme perngurai. Hasil ini dapat dicegah dengan menambahkan kadar N, seperti kotoran hewan ternak. Imbangan C/N rendah menyebabkan N bebas dan berakumulasi dalam bentuk amoniak sehingga menyebabkan bau busuk yang berlebihan. Pencegahan dapat dilakukan dengan menambahkan bahan yang mengandung karbon atau serat tinggi, seperti rumput, Jerami, dan dedaunan. Caranya adalah dengan mencampurkan bahan organik dengan rumput/Jerami yang telah dicacah hingga mencpai C/N sebesar 25. - Loading rate (Laju Pengumpanan).
Adalah jumlah bahan pengisi yang harus dimasukkan ke dalam digester per unit kapasitas per hari. Supaya suhu optimal maka perlu pengisian bahan organic yang kontinyu setiap hari dengan mempertimbangkan waktu tinggal dan volume digester. Jika bahan pengisi meningkat tajam maka akan mengganggu proses akumulasi asam dan produksi metana. Namun jika bahan pengisi berkurang drastic maka produksi biogas menjadi rendah. Loading rate= volume digester: waktu tinggal. - Zat toksik.
Zat toksik akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang menyebabkan produksi gas menurun. Zat toksik dapat berupa logam berat tembaga, detergen, pestisida, kaporit, dan antibiotic. Masukkan zat toksik dapat dicegah dengan menggunakan air yang bersih. - Pengadukan
Pengadukan bertujuan menghomogenkan bahan baku yang dilakukan sebelum bahan baku dimasukkan ke dalam digester dan setelah berada dalam digester. Pengadukan juga berfungsi untuk mencegah terjadinya pengendapan di dasar digester yang dapat menghambat pembentukan biogas. Pengendapan terjadi jika menggunakan kotoran kering. - Starter.
Starter ditambahkan untuk mempercepat proses penguraian. Starter berupa bakteri mikroorganisme perombak. Starter dibedakan menjadi starter alami, buatan, dan semi buatan. Starter alami seperti lumpur organic atau cairan isi rumen. Starte semi buatan seperti dari instalasi pembentuk biogas yang masih dalam keadaan aktif. Starter buatan adalah bakteri metan yang disengaja dibiakkan di laboratorium/ dijual di pasaran. - Suhu.
Aktivitas bakteri dipengaruhi oleh suhu di dalam digester. Perubahan suhu yang mendadak menyebabkan penurunan produksi biogas secara cepat. Hal ini dapat dicegah dengan meletakkan instalasi biogas harus ditemaptkan di dalam tanah. Suhu optimum adalah 32-37oC. Suhu yang meningkat dapat menyebabkan gdugester rentan mengalami kerusakan. - Waktu Retensi.
Yaitu rata-rata periode saat bahan masukan masih dalam digester dan selama proses fermentasi oleh bakeri metanogenik. Waktu retensi dipengaruhi oleh suhu, pengenceran dan laju pemasukan bahan. Watu retensi/waktu tinggal 29-60 hari, tergantung jenis bahan organic yang digunakan. Waktu retensi makin singkat jika suhu lebih dari 35oC.
Keunggulan Biogas: Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan
Sebagai sumber energi terbarukan, biogas menawarkan banyak keunggulan. Selain mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, pemanfaatan biogas juga membantu mengurangi emisi gas rumah kaca, mengurangi volume limbah organik, dan menghasilkan pupuk organik sebagai produk sampingan. Dengan demikian, biogas merupakan contoh nyata dari konsep ekonomi sirkular yang mendukung pembangunan berkelanjutan.
Dunia Mulai Melirik Biogas
Secara global, berbagai negara telah mengembangkan teknologi dan infrastruktur biogas untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Biogas dianggap sebagai bagian penting dalam strategi energi bersih dan netral karbon, khususnya di negara-negara yang memiliki industri peternakan dan pertanian yang maju. Dengan dukungan kebijakan yang kuat, teknologi biogas semakin berkembang dan dapat diakses oleh berbagai lapisan masyarakat.
Jerman, India, dan Tiongkok adalah contoh negara yang sukses mengembangkan ekosistem biogas secara terintegrasi dan berkelanjutan. Jerman dikenal sebagai pionir di Eropa dengan lebih dari 9.000 instalasi biogas, sebagian besar berasal dari limbah pertanian dan peternakan. India memiliki program nasional biogas yang menjangkau jutaan rumah tangga pedesaan, sementara Tiongkok telah membangun jutaan digester biogas di kawasan perdesaan sebagai bagian dari upaya pengentasan kemiskinan energi.
Potensi Besar Biogas di Indonesia
Indonesia memiliki potensi biogas yang sangat besar, terutama dari sektor pertanian, peternakan, dan limbah domestik. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi energi dari limbah organik di Indonesia diperkirakan mencapai miliaran meter kubik per tahun, cukup untuk menyediakan energi bagi jutaan rumah tangga, sehingga memperkuat ketahanan energi nasional.
Namun, potensi besar ini belum diimbangi dengan pemanfaatan yang optimal karena berbagai tantangan seperti kurangnya infrastruktur, pendanaan, dan edukasi masyarakat. Banyak masyarakat yang belum familiar dengan manfaat biogas, dan minimnya pendampingan teknis menyebabkan sebagian instalasi biogas terbengkalai. Selain itu, keterbatasan modal awal menjadi hambatan bagi adopsi teknologi ini secara lebih luas. Wilayah pedesaan di Indonesia sangat kaya akan biomassa—kotoran ternak, jerami, limbah kelapa sawit, dan limbah sayuran yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal. Bila dimaksimalkan, biogas bisa menjadi solusi energi yang murah dan mudah diakses bagi masyarakat desa.
Biogas di Indonesia mulai sejak Tahun 2000-an, seiring dengan dorongan pemerintah untuk pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) dengan penerbitan Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022 tentang percepatan pengembangan EBT. Biogas skala rumahan dari aktivitas peternakan, pertanian, dan rumah tangga. Biogas skala industri kemudian mulai berkembang dengan banyaknya perusahaan kelapa sawit(seperti PT Perkebunan Nusantara dan swasta lainnya) membangun biogas power plant menggunakan limbah cair POME (Palm Oil Mill Effluent) dengan kapasitas skala mini (<1MW) sampai menengah (1-10 MW). Perkebunan kelapa sawit menghasilkan sebagian besar listik biogas industri di Indonesia.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM telah menginisiasi berbagai program pembangunan digester biogas, khususnya untuk rumah tangga dan peternakan kecil. Beberapa inisiatif swasta dan LSM juga ikut terlibat, seperti Program BIRU (Biogas Rumah) yang telah membangun lebih dari 25.000 unit digester di berbagai provinsi. Program BIRU melakukan pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan dan pengelolaan limbah yang dapat membuka peluang ekonomi baru di sektor energi terbarukan. Hal ini akan mendorong terciptanya lapangan kerja baru sekaligus meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

(sumber: screenshoot dari https://www.rumahenergi.org/ )
Namun, jumlah biogas di Indonesia masih sangat kecil dibandingkan dengan potensi nasional. Skema pendanaan, pelatihan teknis, serta integrasi dengan sektor pertanian dan peternakan perlu ditingkatkan agar pemanfaatan biogas bisa berjalan lebih luas dan efisien.
Sayangnya, potensi besar ini belum sepenuhnya dimanfaatkan. Berbagai tantangan masih menghambat pengembangan biogas di Indonesia, mulai dari minimnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat, keterbatasan pendanaan dan teknologi, hingga regulasi yang belum cukup mendukung.
Pembangunan instalasi biogas masih didominasi oleh proyek skala kecil dan insidental. Padahal, untuk menjadikan biogas sebagai sumber energi utama, dibutuhkan pendekatan yang lebih sistemik, kolaboratif, dan jangka panjang.
Pengembangan biogas juga sejalan dengan target pemerintah Indonesia untuk mencapai bauran energi terbarukan sebesar 23% pada Tahun 2025. Biogas dapat menjadi salah satu solusi nyata yang mendukung capaian tersebut, terutama karena sifatnya yang desentralistik dan berbasis komunitas. Pemanfaatan biogas juga sejalan dengan prinsip ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan.
Di tingkat lokal, biogas memberikan banyak manfaat langsung. Ia bisa menjadi sumber energi rumah tangga untuk memasak dan penerangan, membantu mengurangi biaya energi, dan menciptakan lapangan kerja baru dalam pembangunan dan pemeliharaan instalasi. Selain itu, sisa limbah dari proses fermentasi dapat digunakan sebagai pupuk organik, menggantikan pupuk kimia yang mahal dan berdampak lingkungan.
Agar biogas dapat berkembang menjadi sektor energi utama, diperlukan sinergi antara pemerintah, akademisi, pelaku industri, komunitas, dan lembaga keuangan. Setiap pihak memiliki peran penting: pemerintah sebagai regulator, akademisi sebagai inovator, swasta sebagai investor, dan masyarakat sebagai pelaku utama di lapangan. Sinergi ini akan mempercepat adopsi teknologi biogas dan memperkuat kontribusinya terhadap agenda energi bersih nasional. Inovasi teknologi, seperti digester portabel dan sistem pengolahan yang lebih efisien, harus terus didorong. Begitu pula dengan kebijakan yang mendukung investasi, insentif pajak, dan akses pembiayaan.
Dengan sumber daya biomassa yang melimpah dan kebutuhan energi yang terus meningkat, biogas dapat menjadi tulang punggung energi terbarukan Indonesia jika dikelola dengan serius dan inklusif. Belajar dari negara lain dan memperkuat kolaborasi nasional, Indonesia memiliki semua modal untuk menjadikan biogas bukan sekadar solusi alternatif, melainkan energi masa depan. Pemanfaatan energi dari limbah organik bukan hanya solusi lingkungan, tetapi juga peluang ekonomi yang inklusif. Sudah saatnya kita melihat limbah bukan sebagai masalah, tetapi sebagai sumber daya masa depan yang menjanjikan.
Ditulis oleh:
Nur Eka Kusuma Hindrasti, M.Pd.
Mahasiswa Doktoral Pendidikan IPA Universitas Sebelas Maret