
Gaya Hidup
Urban Farming di Tengah Kota: Solusi Ketahanan Pangan Masa Depan?
Jakarta, 16 April 2025 – Di tengah semakin sempitnya lahan pertanian dan krisis pangan global yang mengintai, tren urban farming atau pertanian kota kian menggeliat di berbagai wilayah perkotaan Indonesia. Dari atap gedung tinggi di Jakarta hingga pekarangan rumah warga di Bandung, masyarakat mulai menanam kembali—bukan hanya untuk gaya hidup sehat, tapi juga sebagai bentuk kemandirian pangan.
Apa yang dulu dianggap hanya sebagai hobi atau kegiatan komunitas kini mulai dilihat sebagai alternatif strategis menghadapi tantangan masa depan: keterbatasan lahan, krisis iklim, dan ketergantungan pada pasokan pangan dari luar kota.
Mengapa Urban Farming Jadi Penting?
Indonesia, meskipun negara agraris, menghadapi tekanan serius:
Alih fungsi lahan pertanian ke industri dan permukiman yang terus meningkat.
Distribusi pangan dari desa ke kota yang mahal dan rentan terganggu.
Krisis iklim menyebabkan hasil panen menurun dan musim tanam tak menentu.
Ketergantungan kota terhadap pangan dari luar menjadikan kota rentan terhadap inflasi dan krisis pasokan.
Menurut data Badan Pangan Nasional (Bapanas), lebih dari 60% sayuran dan buah yang dikonsumsi warga Jakarta berasal dari luar Jabodetabek. Ketika terjadi gangguan distribusi atau kenaikan harga BBM, pasokan ini langsung terganggu.
Urban Farming: Dari Hobi Jadi Gerakan
Urban farming mulai naik daun di masa pandemi COVID-19, saat warga lebih banyak di rumah dan mulai mencari kegiatan yang produktif. Namun kini, tren itu berevolusi menjadi gerakan sosial dan ekonomi yang lebih luas.
Jenis-jenis urban farming yang populer:
Vertikultur – menanam dengan rak bertingkat di pekarangan sempit
Hidroponik dan aquaponik – sistem tanam tanpa tanah yang hemat air
Green rooftop – memanfaatkan atap gedung untuk pertanian
Kebun komunitas (community garden) – ruang hijau kolektif di tengah perumahan
Microgreens dan tanaman herbal – untuk konsumsi harian atau bisnis kecil
Di Jakarta Selatan, misalnya, RW 04 di kawasan Cipete membangun kebun hidroponik bersama yang menghasilkan kangkung, bayam, pakcoy, dan selada. Hasil panennya digunakan untuk kebutuhan warga, dan sisanya dijual ke kafe dan restoran sehat di sekitarnya.
“Kami tidak hanya menanam, tapi juga belajar bisnis, manajemen air, dan teknologi. Ini jadi sekolah kehidupan yang nyata,” kata Hilda, ketua tim urban farming RW Cipete.
Dukungan Pemerintah dan Dunia Usaha
Melihat potensi besar urban farming, pemerintah daerah mulai turun tangan. Dinas Ketahanan Pangan DKI Jakarta, misalnya, memiliki program Jakarta Berkebun yang menyediakan bibit gratis, pelatihan, dan lomba antar-RW.
Di Bandung, Wali Kota mendirikan lebih dari 100 taman pangan kota dan bekerja sama dengan startup agritech untuk menyediakan sensor kelembapan dan sistem irigasi otomatis.
Beberapa startup dan perusahaan besar juga ikut terlibat, seperti:
Habitat Hijau – penyedia paket urban farming untuk rumah tangga
GrowBox – kontainer tanam modern yang bisa disewa untuk usaha
Sayurbox Urban – menyerap hasil panen warga untuk dipasarkan secara online
Keuntungan Urban Farming
Ketahanan pangan rumah tangga – warga bisa memenuhi sebagian kebutuhan sayur tanpa bergantung pada pasar.
Hemat pengeluaran – harga sayur yang naik bisa disiasati dengan menanam sendiri.
Kesehatan fisik dan mental – berkebun terbukti menurunkan stres dan meningkatkan aktivitas fisik.
Pemberdayaan komunitas – kerja kolektif memperkuat solidaritas dan ekonomi warga.
Mengurangi jejak karbon – mengurangi ketergantungan pada logistik jarak jauh.
Tantangan di Lapangan
Meski potensinya besar, urban farming juga punya tantangan:
Keterbatasan lahan dan cahaya matahari, terutama di hunian vertikal
Kurangnya pengetahuan teknis, seperti soal nutrisi tanaman atau hama
Kesulitan pemasaran hasil panen, jika skala sudah melebihi konsumsi rumah
Minimnya perhatian dari kebijakan pusat, yang masih fokus pada pertanian konvensional
“Kadang kami panen banyak, tapi tidak tahu mau jual ke mana. Kami butuh dukungan dalam rantai distribusi dan akses ke pasar online,” ujar Rudi, pelaku hidroponik dari Depok.
Solusi dan Inovasi Masa Depan
Untuk mengatasi tantangan tersebut, muncul berbagai solusi dan inovasi:
Platform e-commerce khusus hasil kebun kota (contoh: UrbanHarvest.id)
Teknologi pintar (smart farming) seperti IoT sensor untuk pantau kelembapan
Kolaborasi dengan sekolah dan kampus untuk membuat “lab hidup” pertanian kota
Kredit mikro hijau dari koperasi dan bank syariah untuk modal kebun
Pemerintah juga didorong untuk memasukkan urban farming sebagai bagian dari kurikulum pendidikan lingkungan, agar anak-anak terbiasa menanam sejak kecil.
Bisa Jadi Pilar Ketahanan Pangan Nasional?
Para ahli mulai menyuarakan pentingnya menjadikan urban farming sebagai bagian dari strategi ketahanan pangan nasional. Menurut Prof. Ir. Winarno, Ph.D, pakar pertanian perkotaan dari IPB:
“Jika 30% rumah tangga di kota besar menanam minimal 4 jenis sayur, itu bisa menutupi 15-20% kebutuhan pangan segar harian tanpa transportasi. Itu revolusi diam-diam yang sangat besar.”
Ia juga menekankan bahwa urban farming bisa menjadi benteng sosial saat krisis, karena memperkuat kemandirian pangan dan mempererat hubungan antarwarga.
Kesimpulan: Kota Hijau, Kota Mandiri
Urban farming bukan sekadar tren gaya hidup hijau. Ia adalah respons konkret terhadap krisis pangan, perubahan iklim, dan urbanisasi ekstrem. Dengan dukungan komunitas, teknologi, dan kebijakan yang berpihak, pertanian kota bisa menjadi solusi nyata bagi kota yang sehat, mandiri, dan resilien.
Di masa depan, kota tidak lagi hanya tempat konsumsi, tapi juga produksi. Bukan mustahil, dari balkon sempit dan atap gedung, muncul harapan baru bagi ketahanan pangan Indonesia.