Opini
Limbah Berbahaya, Merusak Laut Pulau Bintan Yang Indah
Indonesia adalah negara kepulauan yang di kelilingi dari berbagai pulau yang ada. Dengan wilayah laut yang luas dari pada daratan membuat Indonesia dikenal dengan negara kepulauan berbasis maritim yang kaya akan sumber daya alam di lautnya. Khususnya di Kepulauan Riau, kini pemerintah daerah Kepulauan Riau sedang gencar-gencarnya membentuk pariwisata berbasis lingkungan.
Namun, hal ini menjadi sorotan, karena tercemarnya kondisi perairan laut Kepulauan Riau akibat tumpahan minyak yang menyebabkan kondisi laut menjadi rusak. Setiap tahunnya, selalu ada musibah tahunan berupa pencemaran laut oleh minyak hitam (Sludge Oil) yang diduga berasal dari kapal-kapal tanker berukuran raksasa di perairan Internasional Selat Malaka. Hal ini tidak hanya terjadi di satu tempat saja, musibah ini selalu terjadi di daerah Bintan dan Batam. Pantai Lagoi dan Trikora Kabupaten Bintan menjadi tempat pencemaran minyak hitam tersebut, Bintan selalu menjadi daerah yang setiap tahun harus dibersihkan dari limbah minyak hitam. Sementara untuk di Batam, minyak hitam selalu mencemari pantai Nongsa.
Hingga saat ini, perairan Kepulauan Riau masih belum aman dari ancaman pencemaran limbah minyak hitam (Sludge Oil). Kondisi ini menjadi fenomena yang tidak hanya terjadi sekali namun terus terulang berkali-kali.
Laut Bintan yang kaya sumberdaya alam, antara lain mempunyai padang lamun dengan keanekaragaman jenis yang tergolong tinggi, yaitu 10 dari 15 spesies lamun yang ditemukan di Indonesia (Marwanto, 2017 dalam Hutomo dan Nontji, 2014) dan (P2O-LIPI, 2017). Padang lamun di Pulau Bintan memiliki peran penting bagi beberapa biota terancam punah seperti dugong yang memanfaatkan lamun sebagai makanan utama.
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepulauan Riau melaporkan pada 2016 populasi dugong yang hidup di Kepulauan Riau jumlahnya semakin berkurang. Satu di antara penyebabnya adalah pencemaran laut yang terjadi di semenanjung Malaka. Akibatnya dugong berenang ke luar habitat, tersasar dan terdampar di pantai. Menurut Coremap CTI-LIPI, biota laut lainnya yang wajib dilindungi karena terancam punah di perairan Kabupaten Bintan yaitu pesut, hiu paus, kuda laut, kima, lola, teripang dan ikan napoleon. Selain itu, pulau-pulau di Kabupaten Bintan juga menjadi lokasi sebaran habitat bagi 3 dari 7 spesies penyu yang ada di dunia, yaitu Penyu Hijau (Chelonia mydas), Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) dan Penyu Lekang (Lepidochelis olivacae) dan menjadi tempat konservasi dugong dan lamun.
Tumpahan limbah minyak bumi akan merusak ekosistem laut terutama di wilayah pesisir seperti ekosistem terumbu karang, lamun, dan hutan mangrove. Ekosistem tersebut merupakan tempat memijah dan tempat mencari makan bagi organisme laut. Kerusakan pada ekosistem tersebut akan mengakibatkan kematian organisme laut seperti koral, ikan karang, alga dan lamun serta akan memutus rantai makanan di laut. Selanjutnya akan menurunkan produkstivitas primer di perairan dan pada akhirnya akan menghilangkan mata pencaharian masyarakat yang menggantungkan hidupnya di perairan laut.
Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Doktor Agung Dhamar Syakti mengatakan, teknologi bioremediasi secara teknis mampu menanggulangi limbah minyak di laut dan pesisir. Dr. Agung Dhamar Syakti yang memfokuskan keahlian pada bidang kajian pencemaran laut dan bioremediasi lingkungan. bioremediasi adalah memperbaiki kondisi suatu lingkungan yang rusak dengan pendekatan biologis melalui mikroorganisme. Mikroorganisme dalam bioremediasi sebagian besar adalah bakteri terpilih dan berkemampuan mengurai limbah minyak, yang diaplikasikan dalam bentuk larutan lalu disemprotkan ke limbah minyak di pesisir.
Dr.Agung Dhamar Syakti mengatakan selama ini daerah yang tercemar minyak dibersihkan dengan cara konvensional dan manual, misalnya pemungutan dan pengumpulan atau dengan bahan kimia bersifat racun dan kerap kali malah menimbulkan masalah baru. Limbah minyak mengandung sekitar 40 ribu senyawa yang dapat bertahan sampai 30 tahun ketika terdampar di ekosistem pesisir seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan muara. Melalui bioremediasi, cukup dengan disemprotkan, maka limbah minyak tersebut dapat terurai sempurna dan menghilang.
Dr.Agung Dhamar Syakti menyatakan berhasil mengurai limbah minyak skala lapang di tanah yang terkontaminasi limbah minyak. Pada 2006, ia mendapatkan grant riset dari International Foundation for Sciences dari Swedia untuk penelitian tentang biodegradasi senyawa poliaromatik hidrokarbon pada ekosistem mangrove, serta pada 2016 memperoleh grant riset dari The World Academy of Science dari Italia untuk penelitian penanggulangan tumpahan minyak dengan mikro enkapsulasi bakteri.
Secara teknis limbah minyak di laut memang bisa diuraikan melalui bioremediasi, hanya saja belum ada regulasi. Sementara di darat, sudah diatur Keputusan Menteri Lingkungam Hidup Nomor 128 Tahun 2003 tentang Penanggulangan Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya. Namun demikian, penelitian terkait bioremediasi mesti terus dilanjutkan dan terus didorong hingga pada akhirnya bisa digunakan sebagai alat perjuangan melawan kiriman limbah minyak ke laut Bintan, dan demi menjaga alam Indonesia sebagai energi baik untuk kehidupan secara berkelanjutan.
Bila berkaca dari kasus pencemaran terakhir di Bintan pada Maret 2018, dan meski telah berlangsung, atau setidaknya terdata sekira 10 tahun terakhir, penanganan limbah minyak di Bintan taklah seheboh dengan penanganan tumpahan minyak di Selat Balikpapan yang terjadi dalam satu waktu, namun disikapi secara serius. Padahal sebagai daerah perbatasan, Kabupaten Bintan Kepulauan Riau secara umum berada di daerah kedaulatan Republik Indonesia, ketegasan diplomasi barangkali dibutuhkan seperti Pemerintah Singapura yang pernah mengecam keras kiriman kabut asap dari daratan Sumatra beberapa tahun silam.
Ditulis Oleh: Muhammad Sahputra Nasution (NIM : 180254241001) Prodi Ilmu Kelautan Universitas Maritim Raja Ali Haji