Kolom Pembaca

ZAKAT MAAL DAN KEMISKINAN

Secara demografi jumlah penduduk Islam di Indonesia menempati urutan pertama diseluruh dunia, setidaknya hingga tahun 2014. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Prof. Dr. Din Syamsuddin pada bulan April 2014 yang lalu. Ia mengatakan bahwa berdasarkan angka statistik, tahun 1990 jumlah umat Islam mencapai 87,6 persen dan angka ini kemudian meningkat kembali menjadi 88,2 persen pada sensus penduduk tahun 2000. Lebih lanjut menurut hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010, tercatat sebanyak 207.176.162 penduduk Indonesia yang memeluk Agama Islam.

Bagaimana dengan Provinsi Kepulauan Riau? Untuk provinsi Kepulauan Riau sendiri, jumlah penduduk muslim (yang memeluk agama Islam berdasarkan Kartu Tanda Penduduk) sebanyak 1.332.201 jiwa dengan persentase sebesar 79,34%. Artinya bahwa penduduk Provinsi Kepulauan Riau yang memeluk agama Islam telah mendominasi. Namun demikian, jumlah kemiskinan di Provinsi ini juga masih tergolong cukup tinggi yaitu sekitar 127.800 jiwa berdasarkan data dari BAPPENAS (http://simpadu-pk.bappenas.go.id/). Meskipun jumlah kemiskinan tersebut cukup banyak, namun jika di prosentasekan dengan jumlah penduduk Kepulauan Riau, maka tergolong cukup kecil. Menurut Faharuddin Fahar (Econometrics, Agricultural Economics, Statistics Master of Statistics BPS), tingkat kemiskinan Kepulauan Riau hanya sebesar 6,70 persen (Maret 2014) dari jumlah penduduk yang ada. Namun demikian, menurut hemat penulis, terlepas besar kecilnya prosentase angka tersebut, faktanya bahwa kemiskinan di Kepulauan Riau “tetaplah ada”. Disisi lain potensi zakat di Kepulauan Riau jika mengacu pada jumlah penduduk yang memeluk agama Islam maka potensinya cukuplah tinggi. Lantas apa yang keliru dalam pengelolaan Zakat dan pengelolaan kemiskinan? Inilah yang coba akan penulis kemukakan dalam diskusi terbatas kali ini.

Kewajiban berzakat (maal/harta)

Agama Islam merupakan satu-satunya agama yang  memiliki konsep utuh dan menyeluruh. Hal ini terbukti bahwa persoalan apapun yang dihadapi oleh umat manusia, Islam memiliki solusinya. Mulai dari kehidupan politik, ekonomi, hukum bahkan dalam hal pemerintahan sekalipun. Hal ini sebagaimana Firman Allah SWT dalam QS Al Maaidah;3 “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu”. Jika demikian lantas kenapa hingga hari ini masih ada pemeluk Islam yang belum sejahtera atau dengan istilah lain-nya dalam kondisi kekurangan atau miskin?  Berbicara tentang kemiskinan memang tidak mudah, mulai dari definisi tentang miskin itu sendiri yang berbeda-beda hingga kepada faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan. Terlepas dari itu semua, penulis mencoba mengajak kepada kita semua untuk bersama-sama memikirkan upaya-upaya yang mungkin bisa kita lakukan untuk menolong saudara-saudara kita (khususnya yang seiman) untuk terbebas dari kemiskinan.

Apa itu kemiskinan?

Kemiskinan berasal kata dari miskin. Sedangkan miskin didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat baik secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Oleh karena itu bentuk kemiskinan tidak hanya uni-dimensi tetapi mencakup juga kemiskinan insani dan kemiskinan martabat (Lubis, 2004). Kemiskinan adalah profil kehidupan masyarakat yang menggambarkan ketidakmampuannya untuk hidup layak dan berpartisipasi dalam pembangunan yang sedang dan terus berjalan. Kemiskinan tersebut akan menghambat perkembangan dirinya, mempersulit masyarakat secara luas, dengan sendirinya menghambat pembangunan (Pasandaran, 1994).

Rasulallah SAW sendiri mendefinisikan kemiskinan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra (Shahih Muslim No.1722): “Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Orang miskin itu bukanlah orang yang berkeliling meminta-minta kepada manusia, lalu ia diberikan sesuap, dua suap, sebuah dan dua buah kurma. Para sahabat bertanya: Kalau begitu, siapakah orang miskin itu, wahai Rasulullah? Rasulullah saw. bersabda: Orang yang tidak menemukan harta yang mencukupinya tapi orang-orang tidak tahu (karena kesabarannya, ia menyembunyikan keadaannya dan tidak meminta-minta kepada orang lain), lalu diberi sedekah tanpa meminta sesuatu pun kepada manusia”.

Dari definisi tersebut diatas tergambar bahwa kondisi “miskin” akan dapat menghambat perkembangan diri orang tersebut dan bahkan menghambat perkembangan masyarakat secara luas dan berujung pada penghambatan terhadap pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Jikapun demikian maka sudah dapatlah kita bayangkan bahwa keterpurukan bangsa ini dalam membangun adalah lebih disebabkan karena adanya kelompok masyarakat “miskin” yang belum dapat terpenuhi segala hak-hak dasarnya.  Baik miskin ekonomi, miskin budaya maupun miskin politik/ketidakmampuan menahan nafsu berkuasa. Lantas kemana penduduk Islam yang “lebih mampu” berada?

Pada kesempatan kali ini penulis tidak akan membahas dan masuk keranah budaya maupun politik, tetapi penulis akan masuk untuk membahas kemiskinan ekonomi. Mudahan-mudahan dilain waktu penulis diberi kesempatan untuk mengulas kedua dimensi tersebut.

Saat ini umat Islam telah menjalankan salah satu ibadah yang ditunggu-tunggu selama 11 bulan. Bulan yang dimana didalamnya terdapat seribu kebaikan. Lazimnya menjelang berakhirnya bulan tersebut (Ramadhan), setiap kita (muslim) diwajibkan membayar zakat fitrah. Suatu kewajiban yang harus dijalankan oleh umat islam agar segala amalan yang dilakukan selama bulan Ramadhan di terima oleh Allah SWT. Adapun besaran dari zakat fitrah adalah 2,5 Kg dari bahan makanan pokok yang biasa sehari-hari dikonsumsi. Jika mengacu pada data BPS tahun 2014, jumlah penduduk muslim Kepulauan Riau sebanyak 1.332.201 jiwa, maka jumlah zakat yang terkumpul adalah sebesar Rp 49.957.537.500. Perhitungan  tersebut didasarkan pada surat edaran Kementrian Agama Kota Tanjungpinang dengan asumsi harga beras untuk tahun 2016 pada harga terendah sebesar Rp10.000,-/kg dan harga tertinggi beras  Rp27.000,-/kg sehingga diambil angka moderat yaitu sebesar Rp15.000,-/kg.

Jika saja potensi zakat fitrah tersebut dioptimalkan dan benar-benar dikelola dengan baik maka besar potensinya untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang kurang mampu (tentu setelah dikurangi dengan penyaluran bagi kaum fakir miskin). Sisa penyaluran tersebutlah yang nantinya harus digunakan untuk mendorong pertumbuhan perekonomian masyarakat dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya produktif. Potensi zakat (fitrah) tersebut akan semakin berlipat ganda manakala umat muslim sadar bahwa zakat maal harus dikeluarkan bagi yang sudah memenuhi nishab dan haul-nya. Dan bahkan potensi tersebut kembali akan berlipat jika ditambah dengan zakat profesi.

 Ketiga dimensi zakat itulah yang sejogjanya menjadi perhatian seriius bukan hanya pemerintah, tetapi pengelola zakat yang ada di daerah seperti BAZDA, LAZIS, Dompet Dhuafa dan lain sebagainya. Koordinasi, mapping dan pembagian wilayah kerja adalah kunci kesuksesan dalam pengelolaan zakat mengingat Indonesia tidak memiliki lembaga tunggal pengelola zakat.

Siapakah penerima zakat menurut Islam

Penerima zakat atau dalam istilah lainya adalah Mustahik merupakan orang atau badan yang berhak menerima zakat atau infak/sedekah. Adapun terdapat 8 (delapan) kelompok yang berhak menerima Zakat. Hal ini berdasarkan Alqur’an Surat At-Taubah : 60; “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Secara lebih detail kedelapan asnaf tersebutadalah: 1). orang fakir yaitu orang yang Amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2). orang miskin ialah orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3). Pengurus zakat merupakan orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4). Muallaf adalah orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5). memerdekakan budak. Yang termasuk memerdekan budak mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6). orang yang berhutang, yaitu orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7). Berjuang dijalan Allah (sabilillah), yaitu orang yang berjuang untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Diantara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8). orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat, namun mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.

Demikian besar arti penting zakat bagi kemaslahatan umat maka sepeninggal Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar As-shidiq sebagai khalifah yang pertama bersikap keras terhadap umat yang tidak mau membayar zakat maal. Sikap keras ini bahkan sempat menimbulkan perbedaan pandangan dengan sabahat Nabi lainya. Namun dengan keyakinan penuh bahwa zakat adalah perintah Allah SWT yang kedudukanya setara dengan sholat, maka Abu Bakar dengan sekuat tenaga memerangi orang-orang  muslim yang tidak mau membayar zakat.

Semoga dengan penuh kesadaran, kita sebagai umat Islam (mayoritas) dapat menunaikan salah satu kewajiban (rukun) Islamm yaitu membayar zakat bukan hanya zakat fitrah tetapi zakat-zakat lainya seperti zakat maal dan zakat profesi. Sungguh zakat itu adalah memperlancar aliran rizki.

 

Ditulis Oleh:

A.Suradji Muhammad
Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Tanjungpinang dan Dosen FISIP UMRAH

Tags
Show More
Kepriwebsite

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close