Kolom Pembaca

SYAHWAT POLITIK DI DAERAH

Teringat dengan ceramah politik oleh almarhum professor Talizi dikampus, beliau ketemu dengan mantan mahasiswanya yang pernah jadi mantan bupati, beliau mengatakan sukses terhadap mantan mahasiswanya. Tetapi mantan mahasiswa  beliau yang jadi mantan  bupati justru curhat tentang awal pencalonannya jadi seorang bupati disalah satu daerah. Awal mau jadi bupati saja harus utang uang kemana-mana, setelah terpilih justru focus kembalikan utang, kemudian persiapan kembali untuk mempertahankan kekuasaan itu dalam pilkada selanjutnya. Kalau kita telaah cerita diatas ternyata syahwat politik untuk berkuasa kembali sangat menggebu-gebu, untuk memperpanjang kekuasaannya.

Dalam hal ini tentu saja modal besar harus disiapkan, karena hampir disetiap daerah saat pilkada, ternyata politik uang selalu menjadi variable dominan untuk memenangkan kompetisi politik dalam pemilihan umum tersebut. Terkait hal tersebut diatas banyak oknum bupati dan oknum walikota yang melakukan yang mengumpulkan modal politik untuk persiapan pencalonan kembali, dan sering terdengar rumor bahwa para oknum walikota dan oknum bupati melakukan korupsi APBD demi untuk melancarkan proses pencalonannya. Karena itu public harus bisa cermat dan kritis dalam menyoroti itu, karena syahwat politik oknum walikota dan bupati tersebut perlu diwaspadai.

Public yang kritis harus melihat modus-modus yang dilakukan para oknum penguasa yang tetap ingin memperpanjang syahwat kekuasaannya. Ini bisa dilihat dalam setiap satuan kerja perangkat daerah yang disingkat SKPD. Public harus control terhadap penggunaan anggaran disetiap daerah, jangan sampai bocor hanya untuk memenuhi syahwat politik penguasa. Karena kalau itu terjadi tentu saja akan merugikan masyarakat.

Dalam prakteknya penguasa yang bekerja dilapangan apakah serius atau hanya pencitraan saja, itu juga merupakan modus penguasa untuk melakukan kampanye politik secara terselubung. Kecuali penguasa tersebut bekerja dengan serius tanpa pencitraan, tentu saja kita harus berikan apresiasi. Selanjutnya yang perlu dicermati juga terhadap pembangunan infrastruktur,seperti bangunan-bangunan yang tidak ada gunanya, sehingga terjadi pemborosan dan terkesan asal-asalan, sehingga ada peluang untuk lakukan korupsi untuk modal politik menuju pertarungan ditingkat daerah.

Kemudian yang perlu dicermati juga adalah pada saat rotasi jabatan, sering kita lihat penguasa memilih orang-orang terdekatnya untuk duduk pada jabatan-jabatan strategis, padahal sangat minus kompetensi dan kapabilitasnya. Disitulah kita lihat kental nuansa kolusi dan nepotisme. Sering juga terdengar rumor bahwa mereka yang duduk diposisi strategis harus bisa memberikan upeti kepada penguasa demi modal politik untuk mempertahankan syahwat politiknya saat pilkada berlangsung. Kemudian juga disetiap daerah sering terjadi kebocoran anggaran daerah disektor pembangunan infrastruktur, karena proyek-proyeknya dilelang, sering terdengar rumor pihak penguasa lewat tangan orang kepercayaannya melakukan intervensi terhadap panitia lelang untuk memenangkan proyek tersebut.

Kemudian sering juga kita lihat kooptasi politik penguasa dengan dalih merangkul semua elit partai politik dan pihak swasta, dengan jargon membangun daerah, tetapi dibalik itu rupanya mereka kawin kepentingan demi segepok rupiah untuk modal politik lagi. Jadi kooptasi politik didaerah merupakan biang korupsi berjamaah, antara pihak penguasa, para elit politik dan pihak pengusaha. Perlu adanya lembaga-lembaga independent seperti LSM dan lembaga advokasi lainnya untuk bisa mengontrol  korupsi berjamaah tersebut. Tetapi sangat miris juga kita lihat bahwa lembaga independent juga kawen kepentingan dengan pihak penguasa dan menikmati kue kekuasaan tersebut. Pihak penegak hukum seharusnya cepat tanggap atas laporan adanya korupsi berjamaah oleh pihak penguasa dan krooni-kroninya, karena penguasa yang korup lebih baik dijebloskan ke jeruji besi atau hotel prodeo dari pada berkuasa lama dan merugikan masyarakat secara keseluruhan.

Tetapi dilema juga sering terjadi dengan oknum penegak hukum yang kurang tegas didaerah, bahkan sudah ada laporan yang masuk pun tidak diproses secara hokum dan menjadikannya tersangka. Karena oknum penegak hukum sering kawin kepentingan juga dengan para penguasa, dengan menjadikannya penguasa sebagai ATM atau donator untuk kepentingan oknum penegak hokum tersebut. Untuk itulah solusinya adalah perlunya presensi atau keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi didaerah untuk mencegah semakin besarnya syahwat politik penguasa didaerah. Tetapi tentu saja harus punya payung hukumnya kalau KPK atau komisi pemberantasan korupsi hadir didaerah. Seandainya wacana KPK ada didaerah tentu saja harus bersinergi dengan lembaga hokum lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan dalam menangani kasus-kasus korupsi didaerah, sehingga darurat korupsi didaerah bisa dikurangi. Semoga.

 

OLEH: SUYITO, M.Si

Tags
Show More
Kepriwebsite

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close