Kolom Pembaca

PEMIMPIN POLITIK YANG TIDAK PRO RAKYAT

Corak pemilu terjadi di daerah-daerah hari ini, terbaru dengan pilkada serentak masih menyisakan tanda Tanya, karena jargon politik masih juga meninggalkan kebiasaan lama yaitu dari politisi ke politisi bukan dari rakyat untuk rakyat. hal ini bisa dilihat dari system politik belum mengakomodir kepentingan rakyat. semua ditentukan oleh penguasa dan dewan perwakilan rakyat. rakyat masih belum menjadi subjek politik, tetapi masih dominan dijadikan objek politik. Aturan Undang-Undang dibuat sepenuhnya oleh wakil rakyat bersama pemerintah. Tetapi para wakil rakyat masih begitu besar kepentingan dan motif politik, sehingga setiap membuat regulasi selalu untungkan para politisi dan penguasa. Input dari kepentingan rakyat tidak bisa diakomodir untuk dijadikan referensi dalam membuat aturan tersebut.

 Kemudian kalau kita lihat design aturan mengikat dalam pilkada serentak, masih minimnya aturan tersebut menjelaskan tentang syarat jadi calon pemimpin. Syarat atau aturan  mengatur syarat pencalonan pemimpin hanya administrative saja. Bahkan dalam proses seleksi di partai politik masih memakai wani piro, sehingga walaupun dalam realitas sosial masyarakat sudah banyak mendukungnya, tetapi kalau tidak punya uang jangan harap bisa diusung oleh patai politik menjadi calon pemimpin.

Hingga sebagaian besar calon pemimpin politik bukan representative didukung oleh rakyat, tetapi hanya dari ambisi dari orang punya duit dan kepentingan partai politik. Mekanisme seleksi partai politik hanya dijadikan formalitas dan gugur kewajiban saja, tetapi pada akhir sudah ada calon yang diusung. Jadi pertanyaan, untuk apa ada seleksi partai politik menjaring calon pemimpin, kalau dalam putusan terakhir tidak objektif. Inilah realitas terjadi hari ini, akhirnya seleksi kepemimpinan alternative seperti calon independent mendapat tempat dihati masyarakat. Walaupun dalam persyaratan ternyata cukup berat.

 Kembali lagi persoalan dukungan partai politik kepada calon diusung sebagian besar orang-orang ambisius dan rekam jejak kurang baik. Bahkan hampir semua calon penguasa itu harus banyak mengumpulkan uang, entah dari mana sumber dan donatur. Rakyat tidak dilibatkan dalam proses akuntabilitas sumber uang calon pemimpin tersebut. Kemudian track record calon pemimpin politik tidak digali dimasyarakat, apakah dulunya kecanduan narkoba, oknum pengusaha tambang ingkar bayar pajak. Semua harus dibuka dimasyarakat, biar bisa tahu dan tidak salah memilih pemimpin. Track record calon pemimpin dimasyarakat juga, sebab secara  ideal  dengan diketahui oleh public maka semakin dewasa dalam menentukan pilihan tersebut.

Dari sisi regulasi dalam rezim pemilu masih belum mengatur tentang syarat calon pemimpin politik harus berkualitas dan bisa diterima masyarakat. Rakyat tetap saja dijadikan objek politik calon pemimpin,bukan subjek politik dalam menentukan. Rakyat hanya jadi stempel sah pemimpin politik untuk naik ditampuk kekuasaan. Setelah itu rakyat ditinggalkan, itulah realita terjadi hari ini. Sejujurnya saja, rakyat masih dijadikan objek politik. Hal ini bisa dilihat, menjelang pemilu ataupun pilkada, baru ada “gerakan” mencari simpati rakyat.

Berbagai cara. Mulai dari mengobral janji-janji gombal hingga bagi-bagi sembako gratis dan bahkan secara diam-diam bagi-bagi uang. Demi siapa? Demi kepentingan politisi. Semua janji-janjinya seolah-olah demi rakyat. Yang sembako murahlah, yang pendidikan gratislah, yang kesehatan gratislah, yang perbaikan infra strukturlah, yang inilah yang itulah. Kenyataannya, sesudah menang dan terpilih, maka yang terjadi adalah mereka ingin berkuasa, mendapatkan proyek, memperkaya diri sendiri dan ingin berkuasa terus. Indikasi pemimpin yang tidak pro rakyat bisa dilihat dalam pengelolaan APBD, anggaran rutin lebih besar daripada anggaran pembangunan,kebijakan untuk kelompok para elitis, bukan untuk masyarakat, program-program pembangunan tidak menyentuh kebutuhan masyarakat, kualitas pelayanan public yang masih kurang dirasakan masyarakat, pendidikan dan kesehatan tidak merata dan mahal, kemudian masih banyaknya fungli, dan sebagainya.

Harapan masyarakat untuk dapat calon pemimpin yang pro rakyat hanya mimpi saja. Apalagi demokrasi tidak dikawal dengan sehat dalam praktek saat pemilu. Penguatan demokrasi pemilukada langsung berpotensi untuk tidak menciptakan pematangan dan pemantapan berdemokrasi. Sehingga harapan akan terbangunnya sebuah demokratisasi  yang mapan dan cerdas tidak dapat terlaksan, karena meninggalkan dimensi kepentingan masyarakat secara utuh.  Memang secara ideal demokrasi tidak menutup kemungkinan pemilukada langsung akan terpilih pemimpin berkulaitas dan pro rakyat dalam setiap kebijakan. Tapi dalam praktek dimasyarakat tidak bisa dipungkiri masih miskin kualitas. Inilah sebab dari rakyat sering dijadikan objek politik, kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin politik sudah semakin pudar. Seleksi kepemimpinan didaerah lewat mekanisme pemilukada langsung hanya mengantarkan pemimpin dilevel daerah saja, tetapi kurang laku dipentas nasional.

Dalam buku Jean Ziegler, Les Nouveaux Maitres du Monde (2002). Dalam bab tentang korupsi, Ziegler bercerita tentang Swedia, Finlandia, Norwegia, dan Denmark, di mana para pejabat tinggi berjalan kaki, naik sepeda, atau menggunakan kendaraan umum ke kantor. Di negara ini masih terbiasa kita lihat dari pemimpin tertinggi sampai dilevel daerah masih juga pakai mobil patwal dengan sirenenya. Padahal menurut H. Agus Salim pemimpin harus menderita, pemimpin harus ditengah-tengah masyarakat untuk selalu menyelesaikan masalah dimasyarakat.

Bukan hanya menerima laporan dari bawahan yang asal bapak senang. Sehingga kurang bisa handal dan pengalaman mengurus masyarakatnya. Berdasarkan berbagai fakta diatas , maka bisa ditarik kesimpulan bahwa desain pemilukada masih bersifat dari politisi untuk politisi untuk  duduk dikursi kekuasaan didaerah dan masih menjadikan rakyat sebagai objek politisi. Corak  pemilukada  belum dari rakyat untuk rakyat karena rakyat belum menjadi subjek politik yang bisa menentukan desain politik yang pro rakyat. Dengan demikian, rakyat yang berbondong-bondong ke TPS hanya merupakan korban daripada tipu-tipu politik yang lebih menguntungkan para pemimpin  politisi daripada rakyat. -Pemilukada hanya menghasilkan pemimpin politisi yang tidak pro rakyat, bukan pemimpin dalam arti yang sesungguhnya.

 

OLEH : SUYITO, M.Si DOSEN SOSIOLOGI STISIPOL RAJA HAJI

Tags
Show More
Kepriwebsite

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close