Kolom Pembaca

PANCASILA TETAP MENJADI KEBUTUHAN PRIMER BAGI BANGSA INDONESIA

PANCASILA TETAP MENJADI KEBUTUHAN PRIMER BAGI BANGSA INDONESIA

Oleh : William Hendri, SH.,MH.

(Ketua PD Gerakan Alam Pikir Indonesia – Provinsi Kepulauan Riau)

Munculnya permasalahan yang mendera bangsa Indonesia saat ini, memperlihatkan telah tergerusnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Maka dengan ini, perlu diungkap berbagai permasalahan di negeri tercinta ini yang menunjukkan pentingnya penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila. Mengutip pidatonya presiden ketiga Republik Indonesia bapak B.J. Habibie pada tanggal 1 Juni 2011, bahwa “salah satu penyebab mengapa Pancasila seolah “lenyap” dari kehidupan kita adalah dikarenakan situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik, regional maupun global. Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 1945 telah mengalami perubahan yang amat nyata pada saat ini, dan akan terus berubah pada masa yang akan datang. Beberapa perubahan yang kita alami antara lain: (1) terjadinya proses globalisasi dalam segala aspeknya; (2) perkembangan gagasan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diimbangi dengan kewajiban asasi manusia (KAM); dan (3) lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi kekuatan yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, tapi juga yang rentan terhadap “manipulasi” informasi dengan segala dampaknya”. Kemudian beberapa permasalahan pokok yang dapat mengikis nilai-nilai Pancasila dan semestinya harus diselesaikan serta menjadi tugas kita, diantaranya :

Pertama, Masalah Kesadaran Perpajakan. APBN 2016, sebesar 74,6 % penerimaan negara berasal dari pajak dan uang dari pajak menjadi tulang punggung pembiayaan pembangunan. Masalah yang muncul adalah masih banyak Wajib Pajak Perorangan maupun badan yang masih belum sadar dalam memenuhi kewajiban terhadap pembayaran pajak tetapi ikut menikmati fasilitas yang disediakan oleh pemerintah.

Kedua, Masalah Korupsi. Transparency Internasional (TI) merilis situasi korupsi di 188 negara untuk tahun 2015. Berdasarkan data dari TI tersebut, Indonesia masih menduduki peringkat 88 dalam urutan negara paling korup di dunia. Sebenarnya, perilaku koruptif ini hanya dilakukan oleh segelintir pejabat publik saja. Tetapi seperti kata peribahasa, “karena nila setitik rusak susu sebelanga”.

Ketiga, Masalah Lingkungan. Citra Indonesia sebagai paru-paru dunia mulai luntur seiring banyaknya kasus pembakaran hutan di berbagai tempat, perambahan hutan menjadi lahan pertanian, bahkan beralihnya hutan menjadi perkebunan. Kemudian permasalahan sampah, pembangunan tidak memperhatikan ANDAL dan AMDAL, polusi yang diakibatkan pabrik dan kendaraan yang semakin banyak. Ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap kelestarian lingkungan masih perlu ditingkatkan. Peningkatan kesadaran lingkungan tersebut juga merupakan perhatian pada kesadaran pada penerapan nilai-nilai Pancasila.

Keempat, Masalah Disintegrasi Bangsa.. Reformasi disamping berdampak positif, namun ia juga berdampak negatif, antara lain memudarnya rasa kesatuan dan persatuan bangsa. Acapkali mengemuka dalam wacana publik bahwa ada segelintir elit politik di daerah yang memiliki pemahaman sempit tentang otonomi daerah. Memahami otonomi daerah sebagai bentuk keleluasaan pemerintah daerah untuk membentuk kerajaan-kerajaan kecil. Implikasinya menghendaki daerahnya diistimewakan dengan berbagai alasan. Kemudian fenomena primordialisme pun muncul dalam kehidupan masyarakat. Sering dilihat di media massa yang memberitakan elemen masyarakat tertentu memaksakan kehendaknya dengan cara kekerasan kepada elemen masyarakat lainnya. Laporan hasil survei Badan Pusat Statistik di 181 Kabupaten/Kota, 34 Provinsi dengan melibatkan 12.056 responden sebanyak 89,4 % menyatakan penyebab permasalahan dan konflik sosial yang terjadi tersebut dikarenakan kurangnya pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Pancasila (Dailami, 2014:3).

Kelima, Masalah Dekadensi Moral. Fenomena materialisme, pragmatisme, dan hedonisme yang semakin menggejala saat ini telah mengikis moralitas dan akhlak masyarakat, khususnya generasi muda. Fenomena ini terekspresikan dan tersosialisasikan lewat tayangan berbagai media massa. Tontonan yang disuguhkan dalam media televisi dewasa ini sangat banyak mengandung unsur kekerasan, pengkhianatan, pergaulan bebas dan unsur tidak bermoral lainnya. Sungguh ironis, tayangan yang memperlihatkan perilaku kurang terpuji justru menjadi tontonan yang paling disenangi. Hasilnya sudah dapat ditebak, perilaku menyimpang di kalangan remaja semakin meningkat. Memang hal ini menjadi tanggung jawab kita bersama, namun perlu kita pertanyakan sejauhmanakah kinerja dari Komisi Penyiaran Indonesia dan Badan Sensor yang semestinya menyaring semua tayangan dengan saringan yang berpedoman pada nilai-nilai Pancasila.

Keenam, Masalah Narkoba. Permasalahan narkoba telah menjadi bahaya laten bagi bangsa Indonesia. Narkoba merupakan penjajahan jenis baru dimana keberadaannya akan menghancurkan pondasi bangsa, mulai pelemahan kemampuan fisik dan pelemahan psikis terutama pada generasi muda bangsa. Jika kita berpikir sederhana, apabila generasi muda saat ini sudah terjangkit luas dengan candu narkoba, maka dapat kita bayangkan bagaimana dan siapa yang akan memimpin bangsa ini untuk generasi akan datang, apakah mereka generasi narkoba atau siapa? Berdasarkan data yang dirilis Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) pada tahun 2013, POLRI mengklaim telah menangani 32.470 kasus narkoba, baik narkoba yang berjenis narkotika, narkoba berjenis psikotropika maupun narkoba jenis bahan berbahaya lainnya. Angka ini meningkat sebanyak 5.909 kasus dari tahun sebelumnya. Pasalnya, pada tahun 2012, kasus narkoba yang ditangani oleh POLRI hanya sebanyak 26.561 kasus narkoba. Masalah Narkoba sudah menjadi kewajiban antara pemerintah dan aparatnya bersama dengan masyarakat secara luas dalam pemberantasannya, narkoba harus menjadi “common enemy” atau musuh bersama.

Ketujuh, Masalah Penegakan Hukum yang Berkeadilan. Salah satu tujuan dari gerakan reformasi adalah mereformasi sistem hukum dan sekaligus meningkatkan kualitas penegakan hukum. Memang banyak faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas penegakan hukum, tetapi faktor dominan dalam penegakan hukum adalah faktor manusianya. Konkretnya penegakan hukum ditentukan oleh kesadaran hukum masyarakat dan profesionalitas aparatur penegak hukum. Inilah salah satu urgensi penanaman nilai-nilai Pancasila terhadap masyarakat, yaitu peningkatan kesadaran hukum.

Kedelapan, Masalah Terorisme. Salah satu masalah besar yang dihadapi Indonesia saat ini adalah terorisme. Beberapa pelaku teroris sudah ditangkap dan dipenjarakan berdasarkan hukum yang berlaku. Para teroris tersebut melakukan kekerasan kepada orang lain dengan melawan hukum dan mengatasnamakan agama. Mengapa mereka mudah terpengaruh paham ekstrimisme dan radikalisme? Sejumlah tokoh berasumsi, lahirnya terorisme disebabkan oleh himpitan ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan, pemahaman keagamaan yang kurang komprehensif mengakibatkan mereka mudah dipengaruhi. Agama yang sejatinya menuntun manusia berperilaku santun dan penuh kasih sayang, di tangan teroris, agama mengejawantah menjadi keyakinan yang bengis tanpa belas kasihan terhadap sesama.

Mengapa nilai-nilai Pancasila masih dibutuhkan dalam hal penghayatan dan pengamalannya bagi bangsa Indonesia? Apabila kita berpikir jernih dan jujur terhadap diri sendiri, nilai-nilai Pancasila masih sangat diperlukan, disamping sebagai alat pemersatu bangsa, nilai-nilai Pancasila di dalam dunia pendidikan juga memiliki tujuan penting sebagai pembentuk karakter manusia yang profesional dan bermoral. Hal tersebut dikarenakan perubahan dan infiltrasi budaya asing yang bertubi-tubi mendatangi masyarakat Indonesia bukan hanya terjadi dalam masalah pengetahuan dan teknologi, melainkan juga berbagai aliran (mainstream) dalam berbagai kehidupan bangsa. Oleh karena itu, penghayatan nilai-nilai Pancasila diterapkan agar masyarakat tidak tercerabut dari akar budaya yang menjadi identitas suatu bangsa dan sekaligus menjadi pembeda antara satu bangsa dan bangsa lainnya. Selain itu, dekadensi moral yang terus melanda bangsa Indonesia yang ditandai dengan mulai mengendurnya ketaatan masyarakat terhadap norma-norma sosial yang hidup dimasyarakat, menunjukkan pentingnya penanaman nilai-nilai ideologi melalui penghayatn dan pengamalan Pancasila. Dalam kehidupan politik, para elit politik (eksekutif dan legislatif) mulai meninggalkan dan mengabaikan budaya politik yang santun, kurang menghormati fatsoen politik dan kering dari jiwa kenegarawanan. Bahkan, banyak politikus yang terjerat masalah korupsi yang sangat merugikan keuangan negara. Selain itu, penyalahgunaan narkoba yang melibatkan generasi dari berbagai lapisan menggerus nilai-nilai moral anak bangsa. Korupsi sangat merugikan keuangan negara yang dananya berasal dari pajak masyarakat. Oleh karena terjadi penyalahgunaan atau penyelewengan keuangan negara tersebut, maka target pembangunan yang semestinya dapat dicapai dengan dana tersebut menjadi terbengkalai.

Penanaman nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan Pancasila bagi masyarakat terutama generasi muda di Indonesia telah mengalami dinamika yang panjang. Pada masa awal kemerdekaan, pembudayaan nilai-nilai tersebut dilakukan dalam bentuk pidato-pidato para tokoh bangsa dalam rapat-rapat akbar yang disiarkan melalui radio dan surat kabar. Kemudian, pada 1 Juli 1947, diterbitkan sebuah buku yang berisi Pidato Bung Karno tentang Lahirnya Pancasila.

Perubahan yang signifikan dalam metode pembudayaan/pendidikanPancasila adalah setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada 1960, diterbitkan buku oleh Departemen P dan K, dengan judul Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia (Civics). Selain itu, terbit pula buku yang berjudul Penetapan Tudjuh Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi, pada tahun 1961 yang dibubuhi kata pengantar dari Presiden Republik Indonesia.

Tidak lama sejak lahirnya Ketetapan MPR RI, Nomor II/MPR/1978, tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) atau Ekaprasetia Pancakarsa, P-4 tersebut kemudian menjadi salah satu sumber pokok materi Pendidikan Pancasila. Selanjutnya diperkuat dengan Tap MPR RI Nomor II/MPR/1988 tentang GBHN yang mencantumkan bahwa “Pendidikan Pancasila” termasuk Pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

Seiring dengan terjadinya peristiwa reformasi pada 1998, lahirlah Ketetapan MPR, Nomor XVIII/MPR/1998, tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa), sejak itu Penataran P-4 tidak lagi dilaksanakan. Pencabutan TAP MPR ini sebenarnya sangat disayangkan, karena pasca pencabutan TAP MPR tersebut, Pendidikan Pancasila bagi masyarakat Indonesia seakan menjadi hal yang sekunder, walau dalam beberapa Undang-undang seperti pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 35 jo. Pasal 2 yang pada intinya penyelenggaraan pendidikan tinggi mesti berdasarkan Pancasila dan Pancasila menjadi mata kuliah wajib pada setiap perguruan tinggi. Walau pendidikan Pancasila menjadi mata kuliah wajib, namun penerapan pada rentang waktunya masih dirasa kurang jika dibandingkan pada pola P-4 yang lebih dikenal dengan sebutan Penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Penghapusan P-4 terjadi dikarenakan euphoria reformasi sebagai akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa Orde Baru yang mengatasnamakan Pancasila.

Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada munculnya ‘amnesia nasional’ tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai “grundnorm” (norma dasar) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama, dan afiliasi politik.

Namun saat ini jika kita mau berkata jujur, manfaat P-4 ternyata lebih banyak nilai positif, dengan melihat dan membandingkan pada generasi yang tidak pernah mengalami pembelajaran pada Penataran P-4, baik pada tingkat SMP, SMA maupun Perguruan Tinggi. Dengan ini, jika kita kutip kembali pidato presiden ketiga Republik Indonesia bapak B.J. Habibie pada tanggal 1 Juni 2011 bahwa “pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan tententu, merupakan kesalahan mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu. Pancasila juga bukan representasi sekelompok orang, golongan atau orde tertentu. Pancasila adalah dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang bernama Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai perjalanannya. Rezim pemerintahan akan berganti setiap waktu dan akan pergi menjadi masa lalu, akan tetapi dasar negara akan tetap ada dan tak akan menyertai kepergian sebuah era pemerintahan”.

Penerapan sistem pola penataran P-4 atau yang sejenisnya masih sangat relevan jika dibelakukan kembali kepada masyarakat terutama pada generasi muda melalui jenjang pendidikan tingkat dasar hingga pada tingkat pendidikan tinggi, juga pembinaan pada organisasi kemasyarakatan serta kepemudaan maupun juga pembinaan pada seluruh elemen pemerintahan baik pada lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

 

Tags
Show More
Kepriwebsite

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close