Kolom Pembaca

Tradisi Open House

Menurut arti dasar open house berasal dari dua kata, open berarti buka dan house berarti rumah. Jadi secara garis besar open house dapat diartikan sebagai silaturahmi terbuka yang dilakukan pejabat, tokoh agama, tokoh masyarakat atau elit politik pada saat hari raya untuk menerima dan menyampaikan ucapan selamat hari raya Idul Fitri kepada masyarakat umum secara langsung (face to face). Open house disaat lebaran idulfitri sepertinya sudah menjadi kebiasaan dimasyarakat. Tradisi ini bukanlah ajaran islam, tetapi tradisi sungkeman yang dilakukan dengan kemasan masyarakat moderen.

Tradisi open house dulu sering dilakukan oleh penguasa orde baru, yang merupakan simbol simbol raja jawa. Dan tradisi ini sangat feodalistik tetapi tetap dipertahankan hingga hari ini. Tradisi open house yang diadakan penguasa dengan harapan masyarakat datang mohon maaf tentu saja terasa janggal. Sebab dalam praksis sosial sering kita lihat kebijakan penguasa menjadikan masyarakat korbannya. Kemudian pelayanan publik dimasyarakat juga sangat tidak maksimal dirasakan publik. Sehingga momentum idulfitri ini seharusnya yang datang kepada rakyat adalah penguasa itu sendiri.

Sehingga bisa mencairkan hubungan penguasa dengan masyarakat. Sebab secara idealnya, yang memilih dan memberi legitimasi penguasa didalam demokrasi elektoral adalah masyarakat. Tetapi sudah menjadi watak penguasa yg egosentrisme, mereka membangun pencitraan semu kepada rakyatnya. Tetapi yg agak ironis bisa terlihat dari para abdi birokrat yg berbondong-bondong datang ke rumah penguasa, dari pejabat strata rendah sampai strata tinggi. Seperti patron-Klien atau ibarat kawulo-Gusti. Ironinya penguasa membangun pencitraan semunya lewat open house. Erving Goffman dalam Rishalah Dramaturgi sering melihat pencitraan dimasyarakat dengan dua panggung, yaitu panggung depan dengan panggung belakang. Kita tidak menginginkan open house ini hanya panggung depan penguasa untuk membangun pencitraan semu yang sangat feodalistik.

 Open house mestinya dimaknai oleh penguasa untuk datang blusukan ke panggung-panggung masyarakat. Seperti misalnya datang kerumah tokoh masyarakat atau tokoh agama, kemudian disitu telah berkumpul masyarakat dan berlebaran dengan masyarakat. Disitulah terlihat penguasa atau pemimpin sangat merakyat. Akhirnya demokrasi yg credonya rakyat berdaulat bisa terealisasi. Karena dalam konteks agama kita sering mendengar Khalifatul Ardhi atau Wakil Tuhan dimuka bumi ini. Jadi pemimpin sejatinya selalu terdepan untuk memberikan keteladanan kepada masyarakat.

Dalam tradisi didaerah kita sering mendengar seloroh H. Agus Salim, jadi pemimpin harus menderita atau biar rakyat terkecukupi kebutuhannya dan makan dengan kenyang dan baru pemimpin belakangan. Tradisi open house dengan mengampu pada penguasa justru menimbulkan efek sosial, yaitu memandulkan kekritisan publik terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa. Sehingga peran civil society untuk mengkritik penyimpangan penguasa semakin kabur. Sudah seharusnyalah pejabat atau pemimpin politik yang berkuasa memohon maaf dengan kerendahan hati blusukan kedalam masyarakat, kemudian yang lebih penting lagi adalah kembali pada filosopis pemerintahan yaitu keberadaannya dari sang pemimpin untuk presensi atau kehadirannya dalam pelayanan publik yang maksimal dimasyarakat.

Itulah yang sangat urgen saat ini, karena tradisi feodalisme itu hanyalah seremonial dan tidak merubah wajah kekuasaan yang sangat koruptif dan oligharkis. Dan yang menjadi pertanyaan publik dari mana biaya dalam budaya open house atau budaya sungkeman tersebut. Jangan-jangan menggunakan APBD, yang dikondisikan oleh oknum birokrat yang menjadi bawahannya. Karena perintah dari patronnya, sehingga klien atau pengikutnya akan ambil dari dana anggaran pemerintahan. Sehingga ini melanggar azaz azaz pemerintahan yang baik. Karena cara-cara yang dilakukan oknum penguasa tersebut, memberikan contoh korupsi anggaran kepada bawahannya. Kemudian sering juga kita mendengar para penguasa didaerah meminta sponsor kepada pengusaha untuk acara open house ini. Padahal itu termasuk kategori korupsi juga yaitu Gratifikasi.

Untuk itulah acara-acara open house perlu juga diawasi oleh penegak hukum, agar proses feodal tersebut tidak ada penyelewengan. Karena penguasa politik didaerah yang meminta kepada pengusaha tentu saja dipatuhi, karena suda jamak terjadi kaawin kepentingan antara penguasa dan pengusaha dengan berbagai momentum tentunya. Tentu saja makna idulfitri akan kehilangan makna dan menghadapi kemiskinan rohani.

mudah-mudahan open house yang diselalu dilakukan oleh para pemimpin politik, bisa dirubah, disesuaikan dengan kondisi dimasyarakat. Seperti yang dilakukan oleh bupati purwakarta yang turun langsung kemasyarakat, blusukan. Dengan menggunakan baju kedaerahan menyapa masyarakatnya, dan dengan open house ke rakyat bisa langsung melihat kondisi rakyatnya didaerah. Jadi tidak ada alasan lagi untuk melakukan perubahan sosial yang lebih kearah bermanfaat untuk masyarakat, terkhusus tradisi open house yang harusnya mengalami makna sosial baru yang lebih produktif dan kohesifitas ditengah-tengah masyarakat. tidak sedikit kita menyaksikan para pejabat atau elit politik tertentu berlomba-lomba dalam menggelar open house.

Kejadian ini dapat melahirkan beragam makna yang saling kontradiktif sehingga makna subtansi ingin membangun ukhuwah Islamiyah dalam bingkai Idul Fitri menjadi kabur. Terlepas dari tujuan diadakan kegiatan open house tergantung pada niat orang yang menggelar open house dan perspektif setiap masyarakat dari mana menilainya. Jangan sampai silaturahmi hanya sebatas simbol kepedulian dan ajang pencitraan untuk memenuhi agenda tahunan dalam rangka memeriahkan hari raya Idul Fitri.

 

Oleh : Suyito, M.Si
Sosiolog Stisipol Tanjungpinang

Tags
Show More
Kepriwebsite

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close