Kolom Pembaca

MISKINNYA BUDAYA MALU DAN PERASAAN BERSALAH

Di Dunia Internasional pengunduran diri seorang pejabat merupakan hal yang biasa dan lumrah, karena bentuk dari tanggungjawab moral seorang pemimpin, karena merasa gagal dalam melaksanakan tugasnya. Misalnya, PM Korea Chung Hong-Wong mundur karena insiden tenggelamnya Kapal Ferry Sewoul, Walikota Bucharest di Rumania karena puluhan orang tewas akibat kebakaran disebuah Klub Malam, PM Jepang Yukio Hatoyama karena tidak mampu memenuhi janji kampanye untuk menutup Pangkalan Militer AS di Okinawa, kemudian Menteri Pendidikan Jerman Annette Schavan melakukan pelanggaran akademis yaitu Plagiarisme.

Mereka dengan penuh dengan kesadarannya mengundurkan diri karena amanah atau tanggungjawab moral yang dipikulnya telah gagal dijalankannya. Ini merupakan suatu bentuk budaya yang perlu dipraktekkan juga di Negara ini. Agar revolusi mental bisa berjalan di Negara ini, salah satunya pejabat Negeri ini harus bisa memberikan keteladanan dan contoh di Negeri ini. Kalau dalam memerintah ternyata gagal dalam mewujudkan visi misinya saat kampanye, kemudian perilaku politik penguasa yang sarat dengan korupsi, kolusi dan Nepotisme, Public harus harus aktif mengkiritik atau melakukan control sosial, pejabat itu harusnya secara sadar merasa bersalah dan punya rasa malu akhirnya mengundurkan diri secara terhormat.

Ini harusnya bisa diterapkan di Negara kita tercinta ini, agar budaya malu dan punya perasaan bersalah menjadi sebuah kebiasaan yang berulang-ulang, akhirnya pejabat public tidak semena-mena lagi dalam memimpin di negeri ini, khususnya juga di Daerah. Pejabat public yang sewenang-wenang atau abuse of power terhadap rakyat yang dipimpinnya akan merasa malu dan perasaan bersalah, ini perlu dibiasakan di Daerah. Jangan sampai egosentrisme mempertahankan kekuasaan membutakan seorang pemimpin akan tanggungjawab moralnya di Masyarakat. Menurut professor Mao Shoulong dari Universitas Renmin di Beijing, seorang pejabat public harus memikul tanggungjawab melalui empat aspek, pertama, tanggungjawab moral seperti jatuhnya banyak korban atau menyebabkan penderitaan pada rakyatnya. Kedua, tanggungjawab politik terhadap partai yang berkuasa dan pemerintah. Ketiga, tanggungjawab demokrasi kepada rakyatnya dan konstituen yang memilihnya. Keempat, tanggungjawab hokum yang menetapkan terjadi atau tidak kelalaian dan pelanggaran hukum dalam menjalankan tugas.

Setiap pejabat atau penguasa di negeri ini harus mampu mengemban penuh tugas dan tanggungjawab dan menjalankan pemerintahan ini sesuai dengan azaz-azaz pemerintahan yang baik. Jika dalam perjalanan kepemimpinannya, ternyata tidak pernah turun kelapangan melihat kondisi sosial dimasyarakat, seperti banyaknya penyakit busung lapar, ditemukannya gizi buruk pada bayi, masih seringnya banjir yang mengakibatkan korban berjatuhan, menurut Guttman dan Thomson dalam Sheppard jalan mengundurkan diri dinilai lebih baik, karena itu merupakan tanggungjawab moral dan institusional kepada rakyat yang dipimpinnya.

Kemudian yang masih actual dinegeri ini adalah banyaknya oknum kepala daerah dan oknum wakil rakyat yang tertangkap karena kasus korupsi oleh komisi pemberantasan korupsi.  kepala daerah dan wakil rakyat  yang tertangkap tersebut tidak langsung serta merta mengundurkan diri akibat dari perbuatannya yang melanggar hukum tersebut. Tetapi pejabat yang tertangkap tersebut selalu punya alasan-alasan untuk membela diri, akibatnya tidak punya rasa malu dan perasaan bersalah. Apalagi penegakkan hukum kita saat ini penuh noda dan aib,masih banyaknya mafia hukum yang berkeliaran di Lembaga Peradilan, sehingga suap-menyuap yang melibatkan oknum-oknum dilembaga peradilan masih terus berpangsung hingga saat ini. Yang paling teranyar di Tahun 2016 ini adalah kasus penyuapan yang mengindikasikan keterlibatan oknum Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Jakarta.

Dalam sebuah operasi Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Kamis (31/3), KPK menangkap dan menetapkan tiga tersangka dari unsur BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan unsur swasta yang sedang berperkara dengan Jaksa pada kejati Jakarta. Kemudian juga kasus Bansos (Bantuan Sosial) di Sumatera Utara yang melibatkan penguasa disana dan tertangkapnya Oknum pengacara dan oknum hakim dipengadilan. Ini menyimpulkan bahwa revolusi mental yang digaungkan oleh Presiden kita ternyata bukanlah sebuah Mantra yang diucapkan langsung bisa terwujud di negeri ini. Karena dinegeri tercinta ini pejabatnya tidak punya budaya malu (Shame Culture) dan budaya yang didasari rasa bersalah (Guilt Culture).

Pejabat yang tidak punya budaya malu dan budaya yang didasari rasa bersalah akan merusak system pemerintahan saat ini, kepemimpinannya tidak mendapat legitimasi lagi dimasyarakat, akibat perbuatannya. Karena dibentengi oleh gengsi, reputasi, kehormatan dan harga dirinya. Menurut  Kees Berten (2002) bahaya terbesar yang dimiliki oleh masyarakat kita akibat tidak punya rasa malu dan perasaan bersalah, apabila kecacatan atau aib mereka diketahui orang lain, saat itulah mereka kehilangan muka dan harga diri jatuh. Untuk itulah negeri ini harus membiasakan dan membudayakan Shame Culture dan Guilt Culture, agar budaya undur diri di negeri ini karena tanggungjawab moral tidak langka. Kemudian  revolusi mental yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo tidak lagi menjadi mantra.

 

Oleh : SUYITO, S.Sos, M.Si Dosen Stisipol Raja Haji Tanjungpinang

Tags
Show More
Kepriwebsite

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close