Uncategorized

Adri Wislawawan : Buah Simalakama Tambang Pasir di Batam

BUAH SIMALAKAMA TAMBANG PASIR DI BATAM

“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran Rakyat” Pasal 33 UUD 1945
Oleh : Adri Wislawawan (Pengurus HMI Cabang Batam)

 

Berbicara mengenai Kota Batam akan menjadi sangat kompleks untuk kita bahas, mau mulai dari mana? Kota Industri, Surga para pencari kerja (dulu), Kota Madani, Kota para mafia, Pertumbuhan Ekonomi yang tinggi, Dualisme Pemerintahan, Pulau Perbatasan, Kota seribu ruko, Kota wisata malam, dan masih banyak lagi variabel-variabel lain yang semuanya sangat seksi untuk kita bahas bersama mulai pada seminar atau dialog di hotel-hotel sampai diskusi ringan di kantin kampus atau warung-warung kopi. Namun mari kita fokus kepada satu hal, dimana perihal ini menjadi menarik karena merupakan hal yang ilegal tetapi ‘dipelihara’ untuk tumbuh, perihal itu adalah mengenai tambang pasir di wilayah Kota Batam.

Kenapa tambang pasir di Kota Batam menjadi masalah? perlu ditegaskan kembali bahwa sesuai Rancangan Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Batam tahun 2008-2028 (yang tak kunjung disahkan pemerintah pusat) tak ada kawasan penambangan pasir di Batam alias tidak ada izin yang dikeluarkan untuk penambangan pasir di Kota Batam. Jika RTRW Batam belum kuat dasar hukumnya dan masih juga tambang pasir itu beroperasi, maka mari kita merujuk kepada UU Nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan minerba serta UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pelanggaran terhadap kedua UU baik tentang perizinan maupun tentang dampak lingkungan hidup terancam pidana sampai 10 Tahun penjara dan denda bermilyar-milyar rupiah. sederhananya, ditinjau dari dasar hukum manapun tambang pasir di wilayah Kota Batam itu ILEGAL. Permasalahan mengenai tambang pasir di wilayah Kota ini bukanlah merupakan barang baru, lingkaran setan tambang pasir di Kota ini sudah terjadi sejak lama dan penanganannya pun tarik ulur seperti main layangan. Dimulai pada Tahun 2010, dimana Walikota saat itu Bapak Ahmad Dahlan menutup semua tambang pasir di Kota Batam, sempat heboh lagi di Tahun 2013 dan 2014, bahkan sudah sampai kepada penetapan tersangka, tetapi hingga saat ini masih saja tambang pasir itu beroperasi. Jika aturan daerah dan UU sudah jelas-jelas melarang, lalu kenapa penertibannya selalu setengah hati? Jargon Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) Kota Batam pun yang mengatakan “Keep Batam Clean and Green” terlihat keren hanya karena memakai Bahasa Inggris, tapi Nol besar dalam implementasinya. Mereka gerebek, angkut, lepas dan biarkan lagi tambang pasir itu terus beroperasi, terkesan hanya menggugurkan kewajiban dan untuk melengkapi dokumentasi LPJ kedinasan.

Sebagai kota Industri dengan pertumbuhan properti yang sangat tinggi, tidak perlu melihat data dari Pemerintah Kota Batam tentang berapa Izin Membangun Bangunan (IMB) atau Hak Pengelolaan Lahan (PL) dari BP Batam yang dikeluarkan setiap bulannya, secara kasat mata masyarakat disuguhkan dengan pembangunan properti tanpa henti hampir di setiap sudut Kota ini. Tentu pembangunan gedung-gedung dan perumahan tersebut membutuhkan pasir sebagai salah satu materialnya, jika diberikan solusi untuk mengambil pasir dari luar Kota Batam tentu harga jual pasir tersebut akan menjadi 2-3 kali lipat dari pasir ilegal yang ditambang di Kota Batam, hal ini akan mempengaruhi harga jual properti dan tentu akan semakin mempersulit masyarakat.

Tambang pasir ini juga sebenarnya menyerap tenaga kerja tempatan dimana mayoritas para penambang adalah warga sekitar lokasi penambangan, begitu juga dengan para sopir-sopir truk pengangkut pasir. Meskipun sebenarnya tambang pasir di Kota ini sering memakan korban jiwa pekerjanya, tetapi buruh tambang yang bekerja disana seperti tidak ada pilihan lain lagi selain terus bekerja untuk menafkahi keluarganya. Jika tambang pasir di Kota ini semuanya tegas ditutup maka mau dikemanakan buruh tambang yang selama ini bekerja disana? tentu jika tidak ada solusi, hanya akan menambah jumlah pengangguran di Kota Industri ini, ironis.

Yang paling parah sebenarnya adalah dampaknya terhadap lingkungan, terutama laut dan segala ekosistemnya. Penduduk Kota Batam di daerah pesisir yang berprofesi sebagai nelayanlah yang paling dirugikan, sudahlah pendapatan terbatas tak bisa melaut pula karena laut sekitar pantai menjadi merah tanah karena buangan tambang pasir yang terus beroperasi. Belum lagi daerah resapan air yang semakin berkurang. Hanya butuh logika sederhana sebenarnya untuk menunggu tenggelamnya Pulau Batam ini, dengan luas daratan yang terbatas, bukit-bukit dan hutan Lindung banyak dialih fungsikan untuk pembangunan properti, pemukiman, industri dan lain-lain, tambang pasir juga tidak pernah berhenti beroperasi, maka tidak heran Banjir menjadi masalah klasik dan yang akan menghentikan semua keserakahan ini jika bukan Walikota adalah air laut yang meninggi (baca : tenggelam).

Pangkal masalahnya sebenarnya ada pada pembuat sekaligus pelaksana aturan itu sendiri, mau setegas apapun walikota, jika tambang pasir darat yang ada di Kota Batam ini dikuasai atau dibekingi oknum-oknum yang ada di Parpol, DPRD, Pemko bahkan aparat hukum, maka mari kita sekarat berjamaah saja menunggu Batam menjadi Atlantisnya Indonesia. Meskipun Ilegal, ternyata untuk membuka sebuah kawasan tambang pasir, perlu mengurus kemana-mana, tentu dengan warga pemilik lahan, oknum kuat di legislatif atau eksekutif Kota ini, bahkan mencari perlindunganpun sampai kepada aparat hukum. Pengusaha toko bangunanpun yang menjadi penadah pasir-pasir ilegal tersebut harus memberikan setoran-setoran yang dalam istilah mereka ‘bagi-bagi rezeki’ agar usaha mereka aman jaya untuk terus beroperasi.

LUCU, seharusnya mereka yang menjadi penegak hukum kok malah yang paling getol melanggar hukum yang mereka buat sendiri? Jika disinggung sedikit masalah ini, alasan mereka selalu saja bahwa sulit untuk menyelesaikannya. Pertanyaannnya adalah buat apa anda dipilih oleh masyarakat jika yang anda layani adalah keserakahan pribadi-pribadi.

Maka penanganan Tambang Pasir Ilegal di Kota Batam bak buah simalakama, tidak ditutup dan dibiarkan terus beroperasi akan merusak alam dan lingkungan, jika ditutuppun akan membuat masyarakat sulit mendapatkan pasir.

Jadilah amanah UUD 1945 pasal 33 tidak dijaga di Kota Batam, karena bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Mafia dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran si buncit berdasi. Dalam penanganan tambang pasir ini diperlukan ketegasan tanpa nego-nego dan tanpa tawar menawar dari pimpinan Kota ini, tutup ya tutup, izinkan ya izinkan, berikan solusi terbaik untuk para stakeholder terkait, sebab untuk mengambil kebijakanlah anda dipilih, bukan untuk menyerah kepada para preman berdasi. Kota ini sudah terlalu banyak masalah pak, kami tidak mau hidup diantara tingginya gedung-gedung yang dibangun dari pasir haram itu, tentu kami juga tidak mau berenang-renang dalam beraktifitas karena Pulau ini tenggelam. Tidak percaya tambang pasir ilegal itu masih beroperasi dan merugikan masyarakat pesisir? main-mainlah ke Nongsa.

Show More
Kepriwebsite

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close