Opini
PENGUASA ATAU PEMIMPIN
Perhelatan politik dengan rezim pilkada saat ini sudah banyak menumbuhkan para calon-calon yang akan maju dan bertarung memperebutkan jabatan-jabatan politik. Jabatan politik seperti walikota/bupati/ataupun gubernur, sampai hari ini sedang berlangsung tahap demi tahap menuju kepemilihan tersebut. Masyarakat politik hari-hari diberikan suguhan program-program yang menarik dan prestis sehingga panggung depan politik saat melakukan kampanye sangat kurang mendidik, dan terutama dalam melakukan komunikasi politik terhadap konstituennya.
Pada hakekatnya perhelatan politik tersebut merupakan ajang mencari pemimpin yang berkualitas dan mempunyai visi yang kuat dalam realitas politik dimasyarakat. tetapi hakekat perhelatan politik seringkali dicederai dengan munculnya para penguasa yang belakangan ini bukan saja mengaburkan komitmen untuk membangun visi yang kuat dan terpercaya ditengah masyarakat, tetapi justru yang paling banyak adalah pencitraan dan janji politik yang tidak pernah direalisasikan saat kampanye dengan Jargon “Demi Kepentingan Rakyat”. jargon politik tersebut saat kampanye menjadi sebuah Hyper-Reality menurut Jean Baudrillard, karena melakukan simulasi politik yang berlebihan yang jarang dikontrol. Apakah bisa dan mampu melakukan janji tersebut dimasyarakat saat terpilih, jadi wajar saja saat para kandidat melakukan kampanye selalu mengucapkan” saya akan”.
Simulasi politik pilkada dengan wacana politik yang hiperealiti ternyata menjadi jargon politik dimanapun pilkada berlangsung, yang terkadang setelah terpilih miskin realitasnya dan banyak obral janji dan terkesan sebagai pemimpin murahan. Sosok pemimpin yang diharapkan oleh masyarakat hanya tinggal kenangan dan mimpi.
Tetapi yang lahir setiap event atau seleksi dalam demokrasi electoral adalah seorang penguasa dengan para kroninya, kelompoknya dan yang tragis adalah kepentingan politik dan ekonomi menjadi tujuan yang utamanya. Itulah yang terjadi hari ini kita mengharapkan pemimpin yang lahir dalam setiap event pilkada atau demokrasi electoral yang kuat dan mengakar dalam visi, ternyata masyarakat juga masih silau dengan money politik yang mampu membius setiap kali melakukan simulasi politik dengan segudang wacana-wacana mensejahterkan masyarakat tetapi ternyata hiperealitas juga dalam praxisnya.
Masyarakat politik hari ini sudah apatis dan tidak mau tahu lagi siapa yang terpilih, karena realitas politiknya selalu yang terpilih tidak melahirkan sosok pemimpin tetapi seorang penguasa yang rakus dan sangat nepotisme. Dengan kondisi seperti ini peran civil society atau masyarakat sipil yang punya peran mengangkat isyu-isyu demokrasi, harus cerdas dan proaktif memberikan pendidikan politik tentang makna penguasa dan pemimpin yang terkadang membingungkan bagi masyarakat.
Ditulis oleh Suyito (Staff Pengajar Sosiologi Stisipol Raja Haji)